"Ibu yang cerita sama Mas, Ibu bilang, banyak tetangga yang bilang ke ibu, kalau kamu jualan produk kecantikan, dan jualanmu laris manis." ujar Arif menyandarkan punggungnya di kursi.
"Tapi, Mas … itu uang untuk aku tabung," ucap Yana.
"Lagipula, uang yang Mas kasih tidak cukup, untuk keperluan kami …."
Arif menggebrak meja, tatapannya tajam.
"Bagaimana mau cukup, kalau kamu sering makan diluar!" ujar Arif sembari menunjuk wajah Yana.
"Kamu tau, kan? Aku kerja jauh. Demi menafkahi kamu sama Dila. Tapi kamu malah enak-enakan makan diluar." Arif menggemelutuk giginya. Menatap tajam ke arah Yana, Arif merasa kesal karena Bu Nani bercerita kalau Yana suka membawa Dila makan di warung.
"Mas, aku membawa Dila makan kewarung waktu itu, karena Dila mau ayam goreng. Sementara aku belum belanja. Ibu tidak mengizinkan aku menggoreng ayam yang kamu beli." Yana bangkit dari duduknya dan membalas tatapan tajam Arif.
"Jangan menjelek-jelekkan ibuku, Ya!" Arif kembali menunjuk wajah Yana dengan telunjuknya.
"Tapi, Mas … aku nggak bohong," ucap Yana menatap ke arah Arif.
"Ibu sendiri yang cerita ke aku, kalau kamu tidak mau memasak ayam yang aku ungkep waktu itu. Kamu itu pemalas, makanya lebih suka makan di warung, ketimbang masak di rumah." Arif melipat kedua tangannya didada.
"Itu nggak benar, Mas … ibu memfitnah aku," ucap Yana menatap Arif dengan linangan air mata.
"Owh, jadi maksud kamu, ibuku itu pembohong? Tukang fitnah?" Arif mendekati Yana dan menarik rambutnya.
"Aww, sakit, Mas!" Yana meringis menahan tangis.
"Jangan pernah menuduh ibuku yang bukan-bukan. Aku lebih mengenal ibuku dari pada kamu, paham!" Arif melepas cengkraman tangannya di rambut yana, lalu pergi ke luar rumah dengan membawa sepeda motornya.
Yana bersimpuh menangis pilu. Tak pernah terpikirkan sedikitpun kalau pernikahannya dengan Arif, sang kekasih tercinta akan menderita seperti yang dirasakannya saat ini, bukan kebahagiaan seperti yang pernah dirasakannya diawal-awal pernikahan dahulu.
Yana memandang kepergian Arif dengan tatapan kosong. Pernikahan yang dilaluinya selama 3 tahun begitu membuatnya menderita. Yana tidak menyangka, Arif begitu temperamen. Percaya pada ucapan dan pengaduan-pengaduan dari para tetangga dan ibunya.
Yana membuka laci meja rias. Memandang Poto pernikahannya.
Flashback on
ELYANA NABITUL IZZA
Yana bersorak gembira bersama teman-temannya karena hari ini mereka telah lulus Sekolah Menengah Atas.
Yana adalah seorang siswa yang selalu menjadi juara umum di sekolahnya. Walaupun wajahnya tidak cantik, tapi teman-teman begitu banyak yang mengincar Yana. Karena ingin bisa belajar dan pintar seperti Yana.
Yana bukanlah berlatar belakang orang berada. Bapaknya, Pak Bejo, hanya seorang petani dan tinggal di desa.
Yana sekolah tinggal di kost-kosan kecil dengan harga yang murah.
"Assalamualaikum." Yana mengucap salam.
"Waalaikumsalam," jawab kedua orang tua Yana bersamaan.
"Gimana nduk, kamu lulus?" tanya Ibunya pada Yana.
"Alhamdulillah, Bu. Aku lulus. Masih dengan nilai yang bagus juga." Jawab Yana dengan wajah berbinar.
"Alhamdulillah, berkat do'a Ibu dan Bapak, lho nduk." Ujar ibunya lagi.
"Bu, Pak. Yana boleh kuliah, kan?" tanya Yana dengan hati-hati kepada kedua orang tuanya.
"Mau kuliah pakai apa? Wong mau namatin kamu SMU aja bapak ngos-ngosan." Jawab Bapak Yana
"Tapi, Pak … Yana kan dapat beasiswa siswa berprestasi." Yana menatap bapaknya dengan wajah memelas.
"Beasiswa itu cuma untuk biaya semestermu, lalu uang jajan, uang bensin, mau dapat dari mana?" Bapaknya berdiri dan bersidekap dada.
"Yana bisa sambil kerja, Pak. Yana pengen kuliah." Yana tidak dapat menahan kesedihannya. Air matanya lolos dari pelupuk matanya.
"Hallah, kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga kamu jadi babu suamimu. Gak usah mimpi!" ujar Bapaknya berlalu meninggalkan Yana dan ibunya.
"Wes, Nduk, Ndak usah banyak kemauan. Dah, istirahat sana!" Ibunya pun berlalu meninggalkan Yana.
**********
2 bulan telah berlalu. Yana mengubur impiannya untuk menjadi guru, orang tuanya melarang keras Yana untuk kuliah.
Yana hanya pasrah, karena tidak berani melawan kedua orang tuanya.
Pagi itu, Yana mengantar adik bungsunya ke sekolah. Di perjalanan, Yana bertemu dengan Mbak Asri, Kepala Taman Kanak-kanak.
"Eh, Yana. Udah tamat SMU, ya? Kuliah di mana?" Tanya Mbak Asri kepada Yana
"Iya, Mbak. Tapi nggak kuliah." jawab Yana malu-malu.
"Lho, kenapa nggak kuliah? Setau mbak, kamu orangnya pintar dan cerdas." Mbak Asri menatap Yana dengan penuh tanya.
"Gak ada uang buat kuliah, Mbak." Yana berbicara sambil menundukkan kepalanya. Yana malu bukan karena benar-benar tidak ada uang untuk kuliah. Karena sebenarnya orang tua Yana termasuk orang berada. Karena memiliki banyak kebun sawit dan karet yang hasil panennya melimpah. Tapi bapaknya selalu berkata, bahwa mereka orang tidak mampu.
"Kamu mau, nggak, ngajar di sekolah Mbak? Tapi ya, syaratnya harus sambil kuliah. Tapi kan, kamu kuliah nggak mengusik uang orang tuamu. Kamu kuliah pake uang gajimu sendiri." Mbak Asri tersenyum manis kepada Yana.
"Maksudnya gimana, Mbak?" tanya Yana bingung.
"Kamu ngajar di sekolah Mbak, nanti dapat gaji, nah uangnya kamu pake buat kuliah. Kamu kuliah di Universitas Terbuka aja. Supaya gak ganggu waktu ngajar." Mbak Asri tersenyum dan menepuk pundak Yana
"Nanti, aku bicarakan sama Bapak dulu, Mbak," jawab Yana tersenyum.
"Mbak tunggu kabarnya, ya!" ujar Mbak Asri. Lalu pamit berangkat ke sekolahnya.
Setiba di rumahnya. Yana menceritakan yang dibucarakannya bersama Asri kepada bapaknya.
"Jadi, maksudmu, kamu mau ngajar ikut Si Asri itu?" Hardik Bapaknya.
"Iya, Pak!" jawab Yana mantap.
"Bapak nggak setuju. Kamu tau sendiri, kan. Bapak paling nggak suka sama Si Asri itu. Orangnya sok pintar, sok baik, sok segalanya. Bahkan semua jabatan dia ambil. Udah jadi Kadus, kok masih juga mendirikan sekolah dan jadi kepala sekolah," ujar Pak Bejo panjang lebar.
"Pak, Mbak Asri itu orang baik, dia memang merangkap semua jabatan. Tapi itu karena memang kemampuan dia." Yana berdiri, menatap Bapaknya dengan kesal.
"Tuh … tuh … kamu baru sehari ketemu dia aja, udah berani melawan bapak. Apalagi kalau sampai setiap hari? Bisa-bisa bapak kamu bunuh!" Pak Bejo menunjuk muka Yana dengan wajah yang memerah.
"Mbak Asri nggak seperti yang bapak pikir!" ucap Yana seraya beranjak pergi dari hadapan Bapaknya.
Yana mengusap air matanya. Lalu mengambil ponsel dari saku celananya, dan mengirim pesan via aplikasi hijau kepada Asri.
[Assalamualaikum, Mbak. Maaf, saya tidak bisa memenuhi ajakan Mbak untuk ngajar di sekolah Mbak.]
[Waalaikumsalam, kalau Mbak boleh tau, alasannya apa, Yana?]
[Bapak nggak ngizinin aku, Mbak]
[Owh, iya, Mbak mengerti. Gak apa-apa. Semoga Yana segera mendapat pekerjaan yang lebih baik]
[Aamiin … makasih Mbak]
[Sama-sama]
Semenjak tidak diizinkan kuliah dan mengajar oleh Bapaknya, Yana memilih bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah rumah makan di kota Jambi. Yana hanya mampu bertahan selama 3 bulan. Karena terkadang, di restoran tersebut, Yana bukan hanya mengerjakan tugasnya, tapi juga pekerjaan lain kalau pengunjung sedang ramainya.Akhirnya, Yana memutuskan untuk balik kampung, tinggal bersama mbahnya di tanah Jawa. Karena tinggal di desa bersama Bapak dan ibunya, Yana juga tidak betah. Entah mengapa, bapaknya suka menjelek-jelekkan orang-orang yang Yana kagumi di desa. Menurut Bapaknya, orang-orang itu cuma sok, sok baik dan sok segalanya.Hari itu, Yana membulatkan tekadnya untuk kembali ke tanah kelahirannya. Tanah Jawa."Kamu baik-baik di sana. Bantu mbahmu menggarap sawah. Paling tidak, kamu bantu masak." Pesan kedua orang tua Yana ketika melepas kepergian Yana kembali ke tanah Jawa."Nggeh, Pak … Buk!" Yana menyalami kedua orang tuanya.Perjalanan menuju rumah Mbah Yana memakan waktu selam
"Bapak maunya kita langsung menikah, Mas … supaya keluargaku nggak bolak-balik lamaran dan nikahan," jawab Yana ragu-ragu."Ya, bagus dong! Berarti kita secepatnya bisa Halal!" Arif menggenggam tangan Yana dengan senyum terkembang."Tapi, aku belum mengenal orang tuamu, Mas. Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?" Yana kembali menundukkan kepalanya."Sayang, aku tidak perduli bagaimana tanggapan orang tuaku, yang penting, kita bisa menikah!" Arif mengangkat dagu Yana dan meyakinkannya.Hari yang ditunggu pun tiba, Arif membawa Ibunya ke rumah Si Mbah untuk melamar Yana.Ibunya Arif, Bu Wongso, turun dari mobil, dan memandang rumah Mbah Yana yang sederhana."Rif, kamu gak salah, bawa ibu kesini?" Bu Wongso menyikut lengan Arif."Nggak salah, Bu. Ini rumah Mbah Marijan, mbahnya Yana. Calon istriku," ucap Arif tersenyum kepada ibunya."Kamu itu, ya, ibu pikir kamu bakalan nikah sama anak ningrat atau anak pejabat, eh … taunya sama orang susah, rumahnya aja jelek begini," Bu Wongso cemb
"Terima kasih, Pak! " Jawab Arif tersenyum bangga.Di perjalanan pulang kerja, Arif membeli buah tangan untuk Istrinya.Arif bersiul bahagia dikarenakan, di kantor sedang ada kenaikan jabatan bagi karyawan yang disiplin, rajin, dan bisa menyelesaikan laporan dengan baik."Assalamualaikum." Arif mengucap salam."Wassalamu'alaikum, Mas … sudah pulang?" Yana menyambut Arif di depan pintu. Lalu mengambil tas kerja Arif dan mencium punggung tangan suaminya dengan takzim."Aku mau cerita sesuatu," ujar Arif menuntun Yana ke dalam kamar."Ada apa, Mas?" Yana tampak bingung dengan sikap Arif."Kamu tau, Sayang? Laporan yang kamu kerjakan, diterima bos. Dan katanya laporan mas sangat rapi. Besok adalah penetapan karyawan yang akan di naikkan jabatannya di kantor. Mas berharap, mas bisa naik jabatan." ujar Arif tersenyum dan memeluk istrinya."Benarkah, Mas? Aamiin … semoga mas naik jabatan," ujar Yana antusias "Mas belikan ini, buat kamu!" Arif memberikan sebuah paper bag kepada Yana."Apa in
"Bu, aku istrinya Mas Arif, lalu apa permasalahannya jika Arif berbuat baik padaku? Bukankah memang kewajiban suami berbuat baik pada Istrinya?" tanya Yana menatap mertuanya. "Tapi, aku ini ibunya! Aku yang melahirkan dia, membesarkan dia, dan menyekolahkan dia sampai sukses seperti itu. Kamu hanya orang asing, yang datang dengan seenaknya merebut Arif dariku!" ujar Bu Wongso. "Aku tidak pernah merebut Mas Arif dari Ibu! Kalau memang pemikiran ibu seperti itu, lalu mengapa ibu mengizinkan Mas Arif untuk menikahi ku?" Yana sudah tidak tahan, Yana mengurungkan niatnya untuk masuk kamar dan berdiri menatap mertuanya. "Itu karena Arif memohon padaku. Tapi yang harus kamu tau, aku tidak pernah merestui pernikahan kalian!" Bu Wongso berlalu begitu saja meninggalkan Yana. Yana masuk ke dalam kamar. Dila sepertinya mengantuk karena terlalu lama menangis. "Kamu yang sabar ya, Sayang … semoga nenekmu cepat mendapat hidayah," gumam Yana di dalam hati. Yana membelai wajah mungil Dila. Hanya
Fitnah lagi Yana kembali menekuni jualan Onlinenya, kali ini dengan cara yang berbeda. Yana meminta kurir untuk tidak lagi mengantar paket Yana Ke rumah mertuanya, karena Yana sendiri yang akan menjemput ke kantor Jasa pengiriman. [Mas, mulai sekarang, jangan antar paket kerumah lagi, ya. Saya akan menjemput paketnya ke kantor sendiri,] [Kenapa, Mbak? pelayanan kami kurang bagus, ya?] [Bagus kok, saya cuma pengen jemput ke kantor aja] [Oke deh, kalau ada paket Mbak Yana, akan saya chat,] Yana bernapas lega. Ibu mertuanya tidak akan bisa lagi mengusik bisnisnya. Disisi lain, Bu Wongso merasa heran karena tidak ada lagi tamu yang datang kerumah untuk mengambil paket. "Sukurin tuh Yana, bangkrut juga akhirnya." gumam Bu Wongso di dalam hati. Sore itu, Bu Wongso menghadiri acara arisan RT tempat tinggalnya. Bu Wongso melihat ibu-ibu tetangganya berwajah glowing. "Wah, ibu-ibu wajahnya udah pada glowing aja, perawatan mahal, ya?" tanya Bu Wongso kepada ibu-ibu yang hadir di sana.
Pulang kerumah Mbah Yana meminta tukang ojek untuk mengantarkannya ke terminal kota, Yana Naik Bis menuju Kota Pati. Sepanjang perjalanan, Yana larut dalam lamunan. Tidak menyangka sama sekali, Arif kembali berbuat kasar, setelah kemaren meminta maaf padanya. Yana sampai di halaman rumah yang sederhana dan asri, Yana tercenung sesaat. Sudah 2 tahun Yana tidak kemari, tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Yana melangkahkan mendekati rumah tersebut. "Assalamualaikum," ucap Yana memberi salam. "Walaaikumsalam," jawaban dari dalam rumah yang sudah bisa Yana tebak, siapa pemilik suara itu. Terdengar langkah tertatih dari dalam, membuka daun pintu, dan terkejut melihat kehadiran Yana. "Yana, Cucuku ...." Si Mbah menjatuhkan sayuran yang berada ditangannya. "Mbah ...." Yana memeluk Si Mbah dengan deraian air mata. "Ya Allah Gusti, bagaimana kabarmu, Nduk?" Si Mbah mencium pipi Yana berkali-kali. "Alhamdulillah, Baik, Mbah." Yana mengusap air matanya yang jatuh. Dila terbangun
DijemputPagi itu, Yana membantu Si Mbah menyusun keranjang sayuran. Sejujurnya, Yana merasa sedih, karena tidak bisa membalas Budi kebaikan Si Mbah selama Yana tinggal di sana sebelum menikah."Nduk, biar Mbah aja yang nyusun sayurannya. Kamu temani Dila main aja." Ujar Si Mbah mengelus punggung Yana."Nggak apa-apa, Mbah. Yana rindu dengan pekerjaan ini," ujar Yana sembari tangannya terus menyusun sayuran.Terdengar suara pintu di ketuk."Assalamualaikum,""Waalaikumsalam," jawab Yana dan Si Mbah berbarengan. Yana membuka pintu, dan sangat kaget, karena Arif telah berdiri di depan pintu dengan wajah lelah."Alhamdulillah, kamu ada di sini, Dek!" ujar Arif sembari memeluk Yana dengan erat. Yana hanya tercenung. Tidak merespon pelukan Arif."Papa ... Papa ... " Dila berjalan menyongsong Arif dengan sumringah."Anak papa, Sayang ... Papa kangen," ujar Arif memeluk dan mencium Dila bertubi-tubi."Dek, pulang yuk, maafkan Mas, Mas khilaf. Mas janji, nggak akan mengulanginya lagi," ujar A
Akal bulusYana menatap wajah gusar Arif. Arif mendekati Yana dengan tubuh lemas."Dek, Ibu sakit, Sekarang di rawat dirumah sakit." Ujar Arif dengan suara yang bergetar. Kekhawatiran tergambar jelas dari raut wajahnya."Lalu?" Yana mendengkus kesal. Yana yakin, kalau itu hanyalah akal-akalan ibu mertuanya agar Arif segera pulang."Lalu? Kamu kok malah nanya gitu sih, Dek?" Arif membelalakkan matanya."Trus, Yana harus bilang apa, Mas?" Ujar Yana masih menampakkan wajah kesalnya."Kita pulang sekarang, ya … kasian ibu, nggak ada yang menjaganya di rumah sakit." Arif meraih tangan Yana agar turun dari dipan."Nggak, Mas! Kamu aja yang pulang. Aku tetap di sini," Yana menepis kasar tangan Arif."Dek, tidak bisakah kamu mengesampingkan egomu?" Arif menatap Yana dengan tajam."Suasana sedang tidak tepat untuk mendengarkan pembelaan darimu!" Lanjut Arif. Masih dengan tatapan tajam."Pembelaan?" Yana mencebikkan bibirnya, lalu kembali memunggungi Arif.Arif megusap wajahnya dengan kasar. Ba