Suara gemercik air terdengar saat aku masuk ke kamar utama. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Tujuan utamaku ke sini bukan untuk menanyakan sarapan apa yang diinginkan suamiku, atau minuman apa yang harus aku hidangkan sebagai penghangat perutnya. Melainkan untuk membereskan pakaianku yang akan aku bawa ke rumah Ibu.
Aku mengambil koper, membuka lemari, lalu mengambil beberapa pakaian dari dalam sana. Seraya duduk di pinggir ranjang, aku melipat baju yang hendak aku bawa.
Sejenak tanganku berhenti bergerak, melihat pada ranjang yang menjadi saksi indahnya malam-malamku bersama pria yang kusebut suami.
Namun, kini tempat itu sudah tak indah lagi. Yang ada, hanya bayangan manusia-manusia bej-ad yang masih terekam dalam memori.
"Kamu tetap pergi?"
Aku mengangkat kepala melihat pada pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi shampo menguar menusuk indera penciumanku. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di depanku.
"Dengan cara apa lagi aku membujukmu untuk tidak pergi, Num? Sudah tidak adakah rasa cinta di hatimu untukku, hingga yang kamu lihat hanya kesalahanku, saja?"
Aku tidak menjawab. Tanganku meremas kain yang ada dalam genggaman.
"Lihat aku, Ranum." Mas Sandi mengangkat daguku dengan jari tangannya.
Kini mataku bersitatap dengan netra hitam miliknya. Aku ingin berpaling, tapi ditahannya hingga sulit bagiku untuk mengakhiri kontak mata ini.
"Jawab aku, Num. Kamu tidak mencintaiku lagi?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Cintaku hilang dalam satu malam tadi."
"Bohong," sanggah Mas Sandi. "Tidak mungkin secepat itu kamu merubah rasa cinta menjadi benci. Kamu sedang marah, Num. Kamu sedang emosi. Ayolah, jangan kekanak-kanakkan menyikapi masalah ini. Cobalah dewasa dengan bicara saling terbuka."
"Apalagi yang harus dibuka, Mas?!" Aku menyingkirkan tangan Mas Sandi, lalu berdiri menatapnya tajam. Dadaku naik turun menahan gejolak dalam dada yang kian membara.
"Semuanya sudah terbuka. Kebusukanmu, kecuranganmu, semuanya sudah Allah perlihatkan padaku. Jika kamu mengambil keputusan untuk berkhianat, kenapa aku tidak boleh mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya? Aku sakit, Mas, aku sakit!" ujarku berteriak di depan wajah suamiku.
Mas Sandi bergeming. Wajah putihnya terlihat memerah dan ditekuk. Dia mencoba mendekatiku, namun aku langsung memberikan isyarat untuk dia tidak melangkahkan kaki ke arahku.
Aku mengangkat tangan, lalu menggelengkan kepala agar dia tahu aku tidak ingin disentuhnya.
Lama kami saling diam hingga akhirnya aku keluar terlebih dahulu saat suara Shanum terdengar memanggil.
"Kenapa, Sha?" tanyaku berjalan cepat menuruni anak tangga.
"Ada Om Soni di luar, Bunda."
Soni? Sepagi ini dia datang?
Dasar bocah.
Aku pun berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Ternyata di sana sudah ada Cahaya yang tengah mengintip dari kaca.
"Ada siapa, Kak?" tanyaku yang langsung disambut senyum lebar oleh Cahaya.
"Om Oni, Nda," ujarnya menunjuk ke luar.
Segera aku membuka pintu, dan nampaklah seorang pria dengan tas ransel di punggungnya. Dia tersenyum menyapa kedua putriku satu persatu.
"Ini terlalu pagi, Son," kataku saat pria itu sudah masuk ke rumah.
"Sengaja, biar bisa lama di sini."
Aku memalingkan wajah ketika dengan sengaja adik Mas Sandi itu melihatku seraya menaik turunkan alis.
Sejak aku menikah dengan Mas Sandi, aku dan Soni tidak terlalu akrab. Dia yang petakilan dan semaunya sendiri, membuatku tidak respect sama sekali.
Dia juga tidak punya malu. Tidak bisa menghormati aku sebagai kakak iparnya, bicara sesuka hati, bahkan pernah menggodaku dengan kata-kata gombalan khas anak jaman sekarang.
"Son, tumben datang?" Mas Sandi turun dari lantai dua, lalu menghampiri kami yang masih ada di ruang tamu.
Suamiku itu sudah siap dengan setelan kerjanya. Di tangannya pun sudah ada tas yang menandakan dia memang sudah siap berangkat ke kantor.
Aku tersenyum miring melihat dia yang menurutku terlalu pagi untuk berangkat ke tempat kerja. Namun, aku tidak mau ambil pusing dengan menanyakan langsung pada pria itu.
Masa bo-doh. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun yang mungkin akan semakin menyakiti diri ini.
"Aku mau lihat keponakanku, sekaligus liburan," ujar Soni dengan tanpa beban.
"Liburan gimana, maksudmu?"
"Ya, liburan, Mas. Gak masuk kelas. Bosen, ketemu dosen mulu. Mendingan ketemu bidadari di sini. Iya, kan ... Cahaya Matahari yang menyilaukan hati," ujar Soni seraya mengusap-usap kepala Cahaya hingga anak itu nyengir ke arah omnya.
"Jangan bolos terus lah, Son. Mau sampai kapan kamu kuliah? Umur dua lima, sekolah kok, gak kelar-kelar. Gak malu, sama anak-anak seumuranmu yang sudah lulus S2, bahkan mereka sudah memiliki kehidupan yang levelnya lebih tinggi? Menikah, contohnya."
"Aaah ... aku masih mau seperti ini, Mas. Masih mau jadi beban keluarga."
Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Soni yang semakin tidak punya masa depan.
Beberapa saat mengobrol dengan Soni, Mas Sandi pamit untuk pergi ke kantor. Dia memanfaatkan keberadaan adiknya itu untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan saat dia akan pergi bekerja.
Mencium tangannya meskipun dengan hati yang terpaksa.
"Pikirkan lagi untuk pergi, Ranum. Jika kamu kekeh minta pisah dariku, aku pastikan hak asuh Shanum akan jatuh ke tanganku."
Tubuhku menegang saat Mas Sandi membisikkan kata-kata di telingaku.
Itu yang aku takutkan. Berpisah dari Shanum adalah bencana bagiku. Maka dari itu, aku menyuruh Soni datang ke sini dan bekerja untukku.
Aku ingin mendapatkan bukti sebanyak-banyaknya agar bisa melawan Mas Sandi di pengadilan. Bukan mengenai perceraian, tapi mengenai hak asuh anak yang tidak akan aku biarkan jatuh ke tangan Mas Sandi.
Mengurus Cahaya saja dia tidak bisa, apalagi harus ditambah Shanum. Pasti akan ada yang jadi korban salah satu dari mereka. Akan ada anak yang terabaikan.
"Mbak."
"Mbak Ranum Khairunnisa!"
"Berisiklah, teriak-teriak di rumah orang," kataku menyingkirkan wajah Soni yang teramat dekat di telingaku.
"Mobil Mas Sandi sudah jauh, Mbak masih aja bengong di ambang pintu. Kelihatan banget kecintaannya."
Aku berdecak kesal, lalu duduk di sofa.
Aku membujuk Cahaya dan Shanum main di ruang tengah, karena aku yang akan bicara penting dengan Soni.
"Kamu bawa apa yang aku mau, kan?" tanyaku setelah kedua putriku pergi.
"Ada, dong. Ini." Soni membuka ranselnya, lalu memperlihatkan CCTV mini yang aku mau.
Iya, sebelum pergi aku akan memasang CCTV di rumah ini. Memantau keadaan rumah dari kejauhan.
"Bagus. Nanti saat aku mengantar Shanum sekolah, kamu lakukan tugasmu dengan baik. Tenang saja, aku akan membawa Cahaya bersama denganku."
"Tenang, Mbak. Semuanya pasti beres. Lagian ribet amat, Mbak mau cerai, kok pakai beginian. Pisah mah pisah aja, ngapain harus ada bukti perselingkuhan."
Aku menatap tajam pria yang ada di depanku itu. Tapi, sayangnya dia terlalu masa bodoh dengan malah menaik turunkan alis seraya tersenyum menyebalkan.
"Ini untuk antisipasi. Son, apa kamu benar-benar bisa diandalkan?" tanyaku sedikit ragu.
Dia adik dari suamiku. Bukan tidak mungkin jika dia berada di pihak kakaknya.
"Aku memang adiknya Mas Sandi, tapi aku tidak membenarkan perbuatannya. Bukankah aku diuntungkan jika kalian bercerai?"
"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan. Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya. Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu. "Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu." "Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku." "Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap. "Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mb
"Tadi, Kakak disebut gila sama teman-teman, Bunda," adu Shanum sambil menangis. Aku mengambil alih Shanum dari Safira, lalu menenangkan anak itu. Aku memberikan pengertian pada dia untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Sebagai guru Shanum, Safira pun ikut membujuk putriku itu agar mau kembali masuk ke dalam kelas karena pelajaran akan segera dimulai. "Yuk, masuk bersama Ibu? Nanti, Ibu akan hukum anak-anak nakal yang sudah membuat Shanum sedih," ujar Safira membujuk. Awalnya Shanum menolak, dia sakit hati dengan olok-olokan teman sekelasnya pada Cahaya. Putriku malah meminta pulang dan tidak mau melanjutkan sekolah. Sebagai ibu, tentu saja aku sedih dengan ungkapan dan tanggapan mereka pada anak istimewa seperti Cahaya. Tidak hanya kali ini saja aku harus mengurut dada menahan rasa nelangsa mendengar kata-kata yang tidak enak tentang anak sambungku itu. Jika anak-anak yang bicara, aku masih maklum. Namun, jika orang dewasa atau orang tua yang bicara, aku ti
Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan
Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany
"Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula
Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or