Mata Luna mengerjap beberapa kali. Tubuh gadis itu terasa sangat remuk. Perlahan, di kala matanya sudah terbuka lebar—tatapannya mengendar ke sekitar—di mana dirinya berada di sebuah kamar hotel yang megah.
Luna termenung diam melihat kamar hotel megah itu. Sebuah kamar yang tak akan pernah mungkin bisa dia datangi seumur hidupnya. Gadis itu dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana. Tidak akan mungkin, dia mampu berada di hotel semegah ini.
Dalam hitungan detik, ingatan Luna langsung teringat tentang kejadian tadi malam. Raut wajah gadis itu berubah menegang dan terkejut. Rasa takut menghantamnya menembus hingga ke jantungnya—menimbulkan kesesakan.
Bulir air mata Luna berlinang jatuh membasahi pipinya. Dia tidak pernah mengira kalau dirinya akan melepas keperawanannya pada sosok pria asing yang tak pernah dia kenal dalam hidupnya. Luna meremas selimutnya terisak sesenggukan.
Perlahan, Luna memberanikan diri untuk menoleh ke samping di kala dia sudah berhasil menenangkan dirinya sendiri. Tatapannya menatap ranjang kosong yang ada di sampingnya. Pria yang membelinya sudah pergi. Namun, ke mana pria itu pergi? Apa pria itu langsung pergi begitu saja? Jika iya, maka setidaknya dia lega bisa terlepas dari pria yang membelinya.
“Nona?” Suara seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar.
Luna sedikit terkejut melihat pelayan datang. Gadis itu segera menarik selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Meskipun pelayan yang datang adalah perempuan, tapi tetap dia sangatlah malu.
“I-iya?” Luna menjawab gugup sang pelayan.
“Nona, Tuan Draco Riordan meminta Anda untuk membersihkan tubuh Anda. Beliau sedang berada di luar sebentar. Beliau akan kembali masuk ke sini. Beliau minta saat sudah masuk ke kamar, Anda sudah siap,” jawab sang pelayan memberi tahu.
Luna menggigit bibir bawahnya. “T-Tuan Draco Riordan?”
“Iya, Nona. Tuan Draco Riordan adalah nama panjang dari Tuan Riordan, yang tadi malam bersama dengan Anda,” jawab sang pelayan sopan. “Nona, bersiaplah. Tuan Riordan tidak suka menunggu lama.”
Luna terdiam sebentar dengan wajah bingung dan takut. “T-tapi, a-aku hanya menemani Tuan Riordan satu malam saja.”
Sang pelayan menjadi gelisah dan cemas mendengar jawaban Luna. “Nona, saya mohon turuti saja permintaan Tuan Riordan. Jangan membantah. Tuan Riordan membenci orang-orang yang membantahnya.”
“T-Tapi—”
“Nona, saya mohon lakukan yang Tuan Draco Riordan inginkan. Beliau akan sangat marah, jika Anda tidak patuh padanya,” jawab sang pelayan sopan. “Baiklah, saya harus pergi. Segera bersihkan tubuh Anda, Nona.” Pelayan itu mengingatkan Luna—lalu melangkah pergi meninggalkan gadis itu.
Diamnya Luna menunjukkan bahwa gadis itu sangat bingung. Dia tak mengerti kenapa pria yang membelinya memintanya untuk bersiap-siap? Bukankah kesepakatan bahwa pria yang membelinya hanya untuk satu malam saja? Luna ingin sekali langsung pergi, karena tugasnya sudah selesai. Akan tetapi, dia tidak akan mungkin bisa pergi begitu saja.
Luna menyeka air matanya. Menangis sekeras apa pun tidak akan mengubah kehidupannya. Akhirnya, gadis itu perlahan mulai bangkit berdiri, dan melangkah sangat pelan menuju kamar mandi. Dia merasakan sakit luar biasa pada organ intimnya. Namun, dia berusaha menahan rasa sakit itu dengan susah payah.
Tak selang lama, ketika Luna selesai mandi, gadis itu mengganti pakaiannya dengan dress yang sudah disiapkan. Dress berwarna kuning dengan model tali spaghetti itu membalut tubuhnya dengan sangat indah.
Pintu kamar terbuka. Luna mengalihkan pandangannya ke arah pintu—menatap pria yang membelinya kini menghampirinya. Gadis itu menelan salivanya susah payah. Tadi malam lampu sedikit gelap, meski wajah pria itu tetap terlihat tampan dikegelapan, tetap saja sekarang jauh lebih terlihat.
Ya, Luna tak mengira kalau pria yang membelinya memiliki paras yang sangat tampan dan gagah. Di balik aura dingin dan ketegasan, tapi pria itu memiliki fisik sempurna layaknya pahatan patung Dewa Yunani.
“T-Tuan…” Luna menunduk tak berani menatap Draco.
Draco menatap dingin Luna. “Angkat wajahmu jika sedang berbicara denganku.”
Luna meneguk ludahnya berat.
“Angkat wajahmu.” Nada bicara Draco satu oktaf lebih tinggi di sini.
Luna bergetar ketakutan, dan mulai memberanikan diri menatap Draco.
Draco melangkah mendekat, mengikis jarak di antaranya dan Luna. “Dress ini cocok di tubuhmu.” Pria itu menarik dagu Luna, menatap iris mata indah gadis itu.
Luna salah tingkah dan semakin takut di kala wajah Draco, begitu dekat dengan wajahnya. Bahkan bibir mereka pun sangat dekat. Hanya satu kali gerakan yang ditimbulkan oleh Luna—sudah pasti bibirnya akan menempel di bibir Draco.
“T-Tuan, k-kau ingin mengajakku pergi ke mana?” tanya Luna memberanikan diri, dengan tatapan rapuh. Luna sudah lelah. Dia ingin sekali pergi dari semua penderitaan ini. Andai saja bisa, lebih baik dia tak lagi hidup di dunia ini.
Draco membelai kasar pipi Luna. “Ke suatu tempat, yang pasti orang di sini tidak akan bisa menemukanmu.”
Bahu Luna bergetar ketakutan. “T-tapi, k-kau hanya membeliku untuk satu malam saja. K-kau tidak bisa membawaku pergi ke manapun.”
Ini sudah benar-benar gila! Dalam peraturan, siapa pun pria yang membeli keperawanan Luna, maka itu artinya hanya untuk satu malam. Selain itu, pria yang membelinya dilarang untuk membawanya pergi. Luna tahu ini, karena dia mendengar percakapan bibinya dengan penyelenggara acara terkutuk itu.
Draco tersenyum miring mendengar jawaban dari Luna. “Sayangnya, aturan itu tidak berlaku untukku, Luna.”
Luna terperanjat terkejut. “A-apa maksudmu?”
Draco membelai bibir Luna dan berbisik serak, “Kau cukup patuhi apa yang aku minta. Jika tidak, maka kau tidak akan pernah mendapatkan bagian uangmu.”
“Aku tidak membutuhkan uang!” sentak Luna mulai berani, di balik tatapan takut.
Kening Draco mengerut. “Jika kau tidak membutuhkan uang, kenapa kau harus menjual dirimu? Bukankah itu sama saja, kau dengan pelacur?”
Mata Luna berkaca-kaca mendapatkan penghinaan dari Draco. “A-aku bukan pelacur! Sudahku katakan, aku bukan pelacur!”
Luna seperti masuk ke dalam jurang api. Gadis itu tidak akan pernah mungkin melakukan tindakan serendah itu. Meski lahir dari keluarga sederhana, tapi Luna lebih baik mati kelaparan dari pada menjual keperawanannya.
Draco tetap melukiskan senyuman di wajahnya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga Luna dan berbisik tajam, “Persetan dengan semua alasanmu. Kau tetap harus patuh padaku. Aku membenci orang yang berani melawanku, Luna.”
Raut wajah Luna semakin memucat ketakutan mendengar ancaman tak main-main, dari Draco Riordan. Apakah dirinya berada di mimpi buruk? Jika, iya dia ingin segera terbangun dari mimpi buruknya ini.
***
New York, USA.
Pesawat mendarat di sebuah landasan yang sepi. Tidak ada pesawat lain. Itu disebabkan landasan ini khusus untuk pesawat pribadi yang mendarat, sedangkan pesawat komersial tidak diperbolehkan untuk mendarat di sana.
Bibir dan mata Luna melebar di kala dirinya sudah berpindah kota. Sepanjang perjalanan di dalam pesawat, hatinya dilingkupi rasa cemas luar biasa. Sejak tadi, gadis itu tidak bisa berkutik, karena melarikan diri adalah hal yang tak mungkin.
“Sampai kapan kau terus duduk?! Kita sudah sampai! Turun sekarang!” seru Draco memberikan perintah.
Luna menggigit bibir bawahnya. “T-Tuan, kita di mana?”
“Jangan banyak bertanya, Luna!” seru Draco tak suka dibantah.
Napas Luna seakan sesak. “A-aku tidak tahu cara melepas tali ini di tubuhku,” ucapnya pelan seraya meremas seat-belt yang terpasang di tubuhnya.
Draco mengembuskan napas kesal mendengar jawaban Luna. Tadi pun di kala naik pesawat—gadis itu tidak tahu cara memakai seat-belt. Sekarang cara melepas pun tidak tahu. Kesabaran Draco benar-benar diuji oleh gadis itu.
Draco menundukkan kepalanya, melepaskan seat-belt yang terpasang di tubuh Luna. Detik selanjutnya, dia menggenggam tangan Luna—melangkah turun dari pesawat. Tampak raut wajah Luna berubah terkejut di kala Draco menggenggam tangannya.
Kaki Luna lemas ketika Draco menarik paksa tangannya. Keseimbangan tubuh gadis itu benar-benar tidak terjaga. Dia nyaris terjatuh di undakan tangga turun pesawat. Untungnya, Draco menangkap tubuh mungil gadis itu. Jika tidak, sudah pasti Luna akan tersungkur jatuh.
Draco berdecak menatap jengkel Luna yang tidak hati-hati. Dia hendak ingin memarahi gadis itu, tapi karena Luna menunduk di dadanya—membuatnya mengurungkan niat untuk marah.
Luna bagaikan kucing kecil yang meminta perlindungan di kala meringkuk di pelukannya. Itu yang membuat Draco tak jadi marah. Detik selanjutnya, pria itu menggendong Luna dengan gaya bridal—dan melangkah masuk ke dalam mobil.
Luna memekik terkejut ketika Draco menggendongnya. Aroma parfume maskulin di tubuh pria itu membuat sekujur tubuhnya seakan berdesir. Keterkejutannya hanya sebentar saja. Gadis itu memutuskan patuh di dalam pelukan Draco.
***
Sebuah penthouse mewah di Kawasan Manhattan membuat Luna terperanjat penuh kekaguman. Gadis itu masuk ke dalam penthouse itu bersama dengan Draco. Tatanan mewah dan desain elegan membuat Luna tak henti berdecak kagum.
Luna baru pertama kali menginjakkan kakinya di sebuah penthouse mewah. Dia belum pernah berada di sebuah rumah semewah yang dia datangi. Gadis itu yakin seribu persen bahwa barang-barang di penthouse ini berharga sangat fantastis.
“Tuan…” Pelayan menyapa sopan Luna dan Draco yang baru saja tiba.
“Antar Luna ke kamarnya,” ucap Draco dingin dan datar.
Pelayan mengangguk sopan dan menatap Luna. “Nona, mari saya antar ke kamar Anda.”
Luna menggigit bibir bawahnya bingung. Gadis itu bingung luar biasa. Akan tetapi, dia sadar bahwa dirinya tidak bisa berkutik sedikit pun. Hal yang bisa dia lakukan adalah pasrah. Dia terjebak di dalam jurang api. Luna menurut mengikuti sang pelayan menuju kamar, sedangkan Draco memilih untuk menuju ruang kerjanya.
“Nona, ini kamar Anda.” Pelayan menunjukkan kamar Luna.
Luna mengendarkan pandangannya, menatap kamarnya yang sangat indah dan megah. Desain kamar itu memiliki sentuhan yang luar biasa menakjubkan. Sungguh, bibir Luna sampai menganga akibat keterkejutannya.
“I-ini kamarku?” tanya Luna pelan dan hati-hati memastikan pada sang pelayan.
Pelayan mengangguk. “Benar, Nona. Ini kamar Anda.”
Luna menggigit bibir bawahnya. Gadis itu sama sekali tidak mengira akan mendapatkan kamar sebagus ini. Begitu banyak pertanyaan muncul di kepalanya, tapi dia bingung harus bertanya pada siapa.
“Saya permisi, Nona.” Pelayan itu hendak ingin pergi, tetapi Luna segera mencegahnya.
“Tunggu,” cegah Luna seraya menatap sang pelayan dengan penuh permohonan.
Sang pelayan menatap Luna. “Iya, Nona? Apa Anda membutuhkan bantuan?”
Luna meneguk salivanya. “I-iya, a-aku membutuhkan bantuan. Bisakah kau membantuku?” tanyanya pelan dengan nada bergetar ketakutan.
Sang pelayan menatap Luna dengan tatapan sopan. “Hal apa yang Anda butuhkan, Nona? Jika saya bisa, pasti saya akan membantu Anda.”
Luna membalas tatapan sang pelayan. “A-aku ingin pergi dari sini. Bisakah kau menyelamatkanku? A-aku mohon, selamatkan aku. Aku ingin pergi dari sini.”
Sang pelayan terdiam mendengar permintaan Luna. “Nona, Anda datang ke sini bersama dengan Tuan Riordan. Tentu saya tidak mungkin bisa membantu Anda pergi sendiri. Saya bisa mendapatkan masalah. Jika Anda ingin pergi, Anda bicarakan ini pada Tuan Riordan. Saya permisi, Nona.” Pelayan itu segera pergi dari hadapan Luna.
Luna mendesah gelisah ketika sang pelayan pergi. Gadis itu duduk di pinggir ranjang dengan wajah yang terselimuti kekhawatiran serta rasa takut yang menggrogoti dirinya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Luna seraya meremas-remas kedua tangan yang saling menaut.
***
Asap rokok mengepul ke udara. Aroma khas tembakau dan alkohol begitu kental di ruangan di mana Draco berada. Pria tampan itu berdiri sambil melihat gedung-gedung pencakar langit dari balik ruang kerja di penthouse-nya.
Aura wajah dingin dengan sorot mata tajam, menunjukkan perasaan benci yang tidak bisa mengurai. Kebencian dan rasa marah dalam dirinya, seolah bagaikan bara api yang menyulut sekujur tubuhnya.
“Tuan…” Nigel—Asisten pribadi Draco—melangkah menghampiri Draco.
“Ada apa?” Draco tetap memunggungi sang asisten. Tatapannya fokus melihat dari balik jendela.
Nigel menatap Draco sopan. “Tuan, maaf jika saya lancang, tapi sampai kapan Anda membiarkan Nona Luna berada di sini? Maksud saya, kapan Anda membebaskan beliau?” tanyanya sopan.
Sampai detik ini, Nigel tak mengerti dengan keinginan Tuannya. Padahal di acara pelelangan itu sudah jelas, bahwa Draco hanya bisa bersama dengan Luna di satu malam saja. Tidak lebih dari itu. Namun malah Tuannya itu menentang segala aturan.
“Luna akan berada di sini, karena aku masih menginginkannya,” jawab Draco dingin dan tegas.
Nigel menatap Draco dengan tatapan serius dan sopan. “Tuan, tapi pihak penyelenggara tidak mengizinkan Anda membawa Nona Luna pergi. Mereka memang menerima tambahan uang satu juta dollar yang Anda tawarkan, tapi mereka hanya memberikan waktu satu minggu pada Anda. Jika lebih dari itu, maka mereka akan mengajukan tuntutan.”
Draco tersenyum sinis mendengar nasihat dari asistennya. “Mereka tidak akan berani menuntutku! Jika mereka berani, maka aku akan membuat mereka membusuk di dalam penjara. Jangan bangunkan singa yang sedang tidur pulas!”
Nigel menunduk di kala mendapatkan jawaban seperti itu dari Tuannya. Dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Karena kalau sudah Tuannya mengambil keputusan, maka itu adalah final yang tak bisa diganggu gugat sama sekali.
Draco melangkah menghampiri Nigel dengan aura wajah yang menunjukkan ketegasannya. “Aku akan membuang Luna, ketika aku sudah bosan dengannya! Sekarang kau tidak perlu lagi menanyakan sampai kapan aku mengurung Luna di sini. Kau mengerti apa yang aku katakan, Nigel?!”
Nigel menelan salivanya susah payah. “I-iya, Tuan. S-saya mengerti.”
“Pergilah! Jangan ganggu aku!” usir Draco meminta Nigel pergi.
Nigel segera pamit undur diri dari hadapan tuannya itu.
Draco menatap lurus ke depan, dengan sorot mata tajam dan tegas seraya melukiskan senyuman tipis. “Gadis itu masih sangat menarik di mataku. Aku tidak mungkin membuang mainan yang masih bagus untuk digunakan.”
Luna tidak bisa tidur pulas. Setiap malam yang dirasakannya adalah perasaan takut yang mengrogotinya. Tidak pernah dia sangka pria yang berhasil membelinya di pelelangan, malah membawanya pergi meninggalkan kota. Padahal kesepakatan yang dia ketahui adalah pria itu hanya Luna temani pada satu malam saja. Namun, kenapa malah pria itu membawanya sampai berpindah kota? Saat pagi menyapa, Luna masih tetap berdiam diri di kamar. Perutnya sudah bunyi akibat merasakan lapar. Gadis itu terlalu takut untuk keluar kamar. Itu yang membuatnya memutuskan tetap berada di dalam kamar, meskipun perut sudah terasa lapar. “Nona?” Pelayan melangkah menghampiri Luna yang duduk di ranjang sambil memeluk lutut. Bahu Luna bergetar ketakutan melihat pelayan muncul di hadapannya. “P-pergilah. Jangan menggangguku.” Sang pelayan menatap Luna cemas, penuh rasa khawatir. “Nona, apa Anda tidak ingin makan?” Luna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin makan. Tolong, kau keluarlah.” “Nona, tapi—” “Aku mohon
Suara berat menyentak membuat terkejut Luna. Bahu gadis itu bergetar ketakutan. Wajahnya memucat akibat rasa takut menyelimuti dirinya. Sang pemilik suara berat itu sangat dia hafal. Membuat debar jantungnya berpacu semakin keras bahkan seolah ingin berhenti berdetak. Napas Luna seakan menjadi sesak. Bulu kuduknya mulai merinding di kala sosok pria itu melangkah mendekat menghampirinya—dan kini berdiri di belakangnya. Beberapa kali Luna meneguk salivanya susah payah. “Kau ingin ke mana, Luna?” bisik pria itu serak di telinga Luna. Luna tidak berani menjawab. Organ dalam tubuhnya seakan ingin mati. Kakinya pun seolah lumpuh tidak bisa berkutik sama sekali. Embusan napas pria itu kini menerpa kulit lehernya—membuat bulu kuduknya menjadi merinding. “Ingin melarikan diri, hm?” bisik pria itu lagi seraya meremas pelan pinggang Luna. “Jawab aku, Luna. Jangan hanya diam!” Dengan sengaja, pria itu menggigit daun telinga Luna—hingga membuat gadis itu merintih kesakitan. “T-Tuan … a-aku ti
Sinar matahari menembus ke sela-sela jendela, menyentuh pipi mulus Luna. Perlahan, mata gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat ketika matanya sudah terbuka sempurna—tatapannya mengendar ke dalam kamarnya.Seketika raut wajah Luna berubah melihat banyak pakaian berserakan sembarangan di atas lantai kamar. Tunggu! Detik di mana Luna melihat pakaiannya berceceran—kepingan ingatannya teringat tentang kejadian tadi malam.Luna menelan salivanya susah payah. Kepingan memori layaknya puzzle yang terpecah yang telah mulai tersusun di otaknya. Gadis itu mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Kejadian panas yang membuatnya gemetar.Luna memberanikan diri menurunkan pandangannya melihat—ke bawah di mana tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Tenggorokan gadis itu seolah tercekat di kala tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.Ingatan Luna masih bekerja sangat baik. Gadis itu mengingat bagaimana Draco menyentuh tubuhnya. Demi Tuhan! Ingin sekali Luna berlari sekencang mungkin, tap
“Katakan di mana keponakanku?!” Delcy menatap garang sosok pria berusia hampir empat puluh tahun. Pria yang berkuasa memiliki pelelangan di pasar gelap. Seperti jual beli manusia ataupun pembelian barang-barang selundupan.Ead mengembuskan napas kasar. “Tuan Draco Riordan tidak mau memberikan keponakanmu. Sudahlah, lagi pula kau juga mendapatkan uang tambahan, kan? Tunggu saja sampai Tuan Riordan bosan pada keponakanmu, baru kau menjual keponakanmu lagi pada pria lain.”Delcy tak terima mendengar ucapan Ead. “Keponakanku itu sangat cantik! Jika dia hanya melayani satu pria saja, penghasilannya tidak akan terlalu banyak! Aku tidak mau tahu, Tuan Riordan harus mengembalikan keponakanku!”Ead tersenyum samar. “Kau tidak mengenal siapa Tuan Riordan.”“Persetan dengan statusnya! Perjanjiannya adalah setelah dia mencicipi keperawanan keponakanku, dia harus menyerahkan keponakanku di hari kedua! Kenapa malah dia mengklaim keponakanku menjadi miliknya?!” seru Delcy tak terima. Wanita itu terk
Luna tidak sama sekali mengira bibinya akan berani mendatangi kantor Draco. Sungguh, membayangkan bibinya mengamuk, membuat jantungnya berpacu semakin cepat akibat rasa takut yang melanda hebat.Luna yang berniat untuk melarikan diri, membuatnya mengurungkan niatnya. Tentu, hal yang dia takutkan adalah bibinya tega menjualnya lagi. Dia tidak pernah ingin menjadi seorang pelacur rendah yang tak memiliki harga diri. Luna sangat takut jika sampai dirinya bertemu dengan bibinya lagi. Ya, sekarang dia menyadari bahwa dirinya akan semakin berada dalam bahaya. Sekarang dia memang berada dalam dua pilihan. Tetap berada di sisi Draco, atau di luar sana tapi tidak aman karena bibinya akan mengincarnya.Hati kecil Luna berkata memintanya untuk tetap tinggal di penthouse Draco. Entah, sampai kapan. Hal yang pasti berada di dalam penthouse Draco masih jauh lebih aman. Di luar sana, Luna pastinya berada dalam bahaya. “Nona Luna?” sapa sang pelayan menghampiri Luna yang duduk melamun di taman b
Aroma makanan tercium di indra penciuman Luna, membuat gadis itu yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali dan terbangun dalam tidurnya.“Selamat pagi, Nona. Maaf membangunkan Anda.” Pelayan menyapa Luna yang baru saja membuka mata.Luna mengerjapkan mata beberapa kali menatap sang pelayan. “Ah, iya tidak apa-apa. Jam berapa sekarang?”“Jam sembilan pagi, Nona,” jawab sang pelayan yang sontak membuat Luna terkejut.“Jam sembilan pagi?” Luna langsung duduk, akibat keterkejutannya.Sang pelayan mengangguk sopan. “Benar, Nona. Ini sudah jam sembilan pagi.” Luna menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Gadis itu terperanjat terkejut mendengar perkataan sang pelayan yang mengatakan ini sudah jam sembilan pagi. Detik itu juga, Luna mengalihkan pandangannya menatap jam dinding—benar bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi. Astaga! Luna kesiangan. Gadis itu tidak mengira kalau akan bangun seterlambat ini. Tapi tunggu … tiba-t
Dua minggu sudah Luna tinggal di penthouse megah milik Draco Riordan. Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepala Luna, ingin dia ajukan pada Draco. Akan tetapi, dia tidak bisa memberi tahu pada Draco tentang apa yang ada di dalam isi kepalanya.Rasa takut Luna membuatnya mengurungkan niatnya, mengajukan pertanyaan pada Draco. Sosok Luna yang sekarang hanya bisa patuh akan apa yang diinginkan dan dikatakan oleh Draco.Sekarang Luna sudah jarang mendapatkan amukan dari Draco. Gadis itu bagaikan kucing kecil yang patuh dan penurut. Ini cara yang ampuh agar terbebas dari amukan Draco. Karena memang sekarang Luna telah terpenjara di sangkar emas—yang tak akan mungkin bisa membebaskan dirinya.“Luna.” Draco melangkah menghampiri Luna yang tengah duduk di ruang kolam renang. Gadis itu sedikit jenuh. Dia memutuskan untuk duduk bersantai di ruang kolam renang. “Ya?” Luna mengalihkan pandangannya, menatap Draco yang menghampirinya.Draco mendekat menghampiri Luna. “Gantilah pakaianmu, aku in
Kata-kata Elina bagaikan batu keras yang menghantam tubuh Luna. Lidahnya seolah kelu tidak bisa merangkai kata. Air mata sudah mengumpul di belakang bola mata gadis itu—menahan kuat agar air matanya tidaklah keluar. “Aku bukan simpanan,” ucap Luna pelan memberanikan diri. Harga dirinya benar-benar telah direndahkan oleh Elina.Elina membelai kasar pipi Luna. “Gadis sepertimu janganlah bermimpi menjadi yang utama. Draco tidak mungkin menjadikan gadis rendah sepertimu menjadi istrinya.”“Luna?” Draco sudah selesai menelepon, menginterupsi percakapan Luna dan Elina. Tepat pria itu datang—Elina menjauh dari Luna. Ya, Draco tidak mendengar apa yang Elina katakan. Sebab, ketika dia datang—Elina menyudahi ucapannya.Luna yang melihat Draco di hadapannya langsung memeluk pria itu, menunjukkan meminta perlindungan. Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan apa pun. Luna tak bisa berkata-kata di kala kesedihan melingkupinya.Draco merasa ada yang aneh dari Luna. Apalagi tiba-tiba dia mendapatkan