Share

Penyiksaan di Kantor

Kala mengetuk karena ingin meminta laporan dari Justin. Ini saja sudah satu kebaikan yang dia lakukan. Di mana lagi mendapat atasan yang turun tangan langsung untuk mendapatkan laporan dari bawahannya? Seharusnya, Justin tahu diri. Dia tidak sehebat itu sampai berfikir perusahaan sangat membutuhkannya.

Beberapa hari Kala lembur demi mengecek hasil kerja Justin. Dan, dia lebih banyak kecewa dengan keputusan yang pernah pria itu ambil.

Justin menyeringai di dalam otak liciknya. Melihat Melinda tersiksa, menjadi pemandangan luar biasa untuknya. Tetapi, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Tangan satunya meninju tembok kencang. Sedang satu lagi, menjambak rambut Melinda keras.

Melinda juga mendengar itu dan jadi gugup. Bahkan, ia tidak sengaja memuntahkan air yang sempat masuk ke mulutnya.

"Aahhk ... sialan!" pekiknya tanpa sadar.

Kala merasa ada seseorang yang berbicara kasar. Tapi, dia tidak jelas mendengar isi perkataannya.

"Pak Justin, tolong buka pintunya!" peringat Kala dengan suara tegas.

Melinda semakin ketar-ketir. Itu Pak Kala!

Bagaimana ini? Dia inginnya menyudahi kegiatan menyiksa itu. Tapi, Justin tidak pernah mau mengalah padanya.

"Abaikan dia!"

Benar, kan? Dia bahkan menyuruh Melinda tidak memperdulikan Kala.

Kala menarik nafas dalam. Dia sebenarnya kesal karena Justin membuatnya tidak bisa tidur selama dua hari.

Rasa lelah teramat ditambah dengan sikap buruk Justin, sungguh seakan sedang melatih kesabaran anak muda itu.

"Pak. Saya tahu Anda di dalam. Jadi, tolong buka pintunya. Ada yang ingin saya bicarakan." Suara Kala semakin lantang.

Semua orang yang ada di lantai itu jadi menoleh kearahnya. Kala tersenyum tipis lantas berdehem agar yang lain tetap bekerja seperti biasa. Kebetulan dia gak suka berbuat keributan. Meski sejatinya, dia layak untuk itu.

Justin menarik rambut Melinda sampai kepalanya mendongak. Tetesan cairan yang tersisa masih memenuhi bibir hingga meleleh ke dagu.

"Telan!" desis Justin yang diangguki Melinda.

Tidak sampai di sana, Justin menekan rahang Melinda. Karena kalap, Melinda menelan langsung segera. Dia bergidik merasa pahit, tapi Justin tidak peduli. Dia akan selalu melakukan hal yang disukai, termasuk perbuatan tidak bermoral kepada karyawannya.Terutama, orang yang lebih mendukung Kala. Bukan dirinya.

"Jangan pernah kau ucapkan nama lelaki itu dengan bibirmu ini!" Telunjuknya melap sisa-sisa cairan yang masih ada. Justin kembali merapikan setelannya. Untuk Melinda, Justin mengkode agar wanita itu mencari tempat persembunyian. Setelah yakin, dia membuka pintu seolah tidak terjadi apapun.

Justin menepuk bahu Kala seakan akrab. Tetapi mata Kala memincing tak senang. Dia gak senang seseorang memegang tubuhnya sembarangan. Kala menderita germaphobia. Hingga selalu takut dan jijik tubuhnya terkontiminasi atau terinfeksi hal-hal yang bersifat kotor. Apalagi bau Justin saat ini tidak sedap. Kala tahu ini bau alkohol. Dan rasanya dia mengerti mengapa Justin tidak bisa bekerja dengan benar.

Kala berdehem seraya menggoyangkan bahu. Justin yang sadar segera mengangkat tangannya. Ketika yang sama, Melinda merasa ingin muntah. Dia sudah menahan sekuat mungkin namun akhirnya tak kuasa menunjang isi perut. Seakan terus bergejolak di dalam tenggorokan.

Jika dirinya memuntahkan semua di ruangan Justin, yang ada pria itu memenggal kepalanya. Akhirnya, Melinda keluar senormal mungkin. Dia mengangguk kearah Kala. Untuk Justin, Melinda tidak berani menatap sama sekali.

Kala memandang Justin dengan tatapan minta penjelasan. Tetapi Justin terkekeh.

"Ahaha, tadi Bu Melinda baru saja memberikan laporan ke saya. Maka itu, saya terlambat membukakan pintu," alibinya. Pasti tidak bisa Kala terima begitu saja kalau memang sedang membahas pekerjaan. Kenapa dia tidak dilibatkan? Kala adalah direktur di sini. Semua hal tentunya harus didasari atas persetujuannya. Bukan seolah ditutupi darinya.

Kala menggeleng, memutuskan pergi dari pria pembual itu.

Dia lebih butuh bicara dengan Melinda sembari menenangkan diri.

Walau sesaat, Kala bisa melihat pipi Melinda memar kebiruan. Dia menunggu di pantry samping toilet. Ketika Melinda keluar, Kala menghampirinya.

"Ada apa. Apa yang terjadi dengan Anda?" Matanya menyiratkan rasa cemas.

Kala tidak suka melihat wanita disakiti. Itu membuat jantungnya linu.

Melinda tidak ingin menatap balik Kala. Dia menunduk, sesekali melirik kearah lain seakan lebih penting daripada membalas pertanyaan Kala. Sungguh, dia sebenarnya tidak ingin Kala tahu. Melinda menghormati Kala sebagai atasan sebenarnya.

"Pipi Anda terluka." Suara Kala melunak. Dia tahu aroma Melinda sama dengan Justin. Namun, cara Kala memandang sikap dua orang itu tentunya berbeda.

Karena tidak mendapat jawaban, dia membongkar laci pantry. Setahunya, setiap lantai terdapat pantry juga dilengkapi kotak P3K.

Kala tersenyum. Perkiraannya tidak salah. Di kotak itu, ada obat merah dan kapas. Dia membalurkan obat merah ke kapas dan memberikan ke Melinda.

"Obati dulu dengan ini. Anda bisa bicara kepada saya saat siap," tuturnya.

Kala berniat pergi, namun Melinda bergumam, "Terima kasih, Pak. Tapi, tidak ada apa pun yang terjadi pada saya. Saya baik-baik saja. Memang, tadi sempat terjatuh sampai pipi saya lebam begini. Tapi, gakpapa, kok, Pak."

Melinda mengatakan dengan tangan meremas kapas kuat. Sedang matanya terlihat mau menangis. Jadi bagaimana bisa Kala percaya semudah itu? Apa ada orang terjatuh, lantas menyebabkan lebam bergalang jari?

Kala mengangguk. Semata karena tidak ingin membuat air mata yang berusaha Melinda tahan di depannya jadi luruh membasahi pipi.

"Baiklah. Anda bisa mempergunakan waktu lebih lama untuk berada di sini," ujar Kala sambil berbalik namun sedikit menoleh ke arah Melinda.

"Terima kasih atas kelonggaran waktunya, Pak." Melinda menundukkan wajah. Seketika, air matanya jatuh dan membuatnya melap kasar wajahnya.

"Hah!" Lelaki itu menghembuskan nafas sambil mendongak. Kala tak lagi mau bicara dengan Melinda. Ia meninggalkan begitu saja. Seakan-akan keangkuhan berada di pundaknya. Meski sebenarnya, Kala hanya tidak tega melihatnya.

Ia memutuskan ke ruangan pribadi. Membuka jas karena gerah. Lanjut mendudukan diri di kursi dengan perasaan kacau seperti tadi.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya tak mengerti. Kala akhirnya mengangkat gagang telepon. Ia ingin memanggil seseorang.

"Bima. Ke ruangan saya! Sekarang!"

Tak lama, Bima sudah ada di ruangannya lengkap dengan note dan pena. "Ada apa, Pak?"

"Bima. Bagaimana pengaturan shift untuk buruh wanita?" Kala masih biasa saja. Ia bahkan bertanya sambil mengetik pekerjaannya. Tapi jawaban, Bima membuatnya tak habis pikir.

"Para buruh tidak dipisahkan berdasarkan gender. Pria dan wanita mendapati shift yang sama. Pagi, sore dan malam!"

Kala mendelik. Tunggu, siapa yang menggantinya? Sepengetahuannya, Adikara Tjandra selalu mengutamakan buruh wanita.

"Sejak kapan itu berubah?" tanya Kala dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status