Share

BAB 3- Bertanya Pada Roni

“Dia bilang, kamu itu nggak pandai berdandan. Dia males lama-lama di rumah, soalnya setiap dia pulang ngeliat bininya layu. Katanya, lebih segar mandangin muka aku. Kalau aku, awal pagi dan sore udah dandan Say, udah rapi. Sementara kamu, dari dia bangun tidur sampai dia pulang kerja, katanya ngeliat kamu selalu dalam keadaan acak-acakan. Nggak berbedak, nggak bergincu, pucet, nggak ada cahaya sama sekali di muka kamu. Makanya sejak dia berhubungan sama aku, setiap abis Maghrib dan Isya dia pasti keluar kan? Itu dia datang ke rumah aku Say. Cuma mau ketemu sama aku. Dia bilang muka aku nyenengin.”

Tanganku mengepal. Sungguh sangat geram dan sakit hati ini. Mataku mulai terasa panas, tapi belum ada air mata yang jatuh. Aku tak mau anak-anakku melihat ibunya menangis.

Dan Bang Roni, bisa-bisanya dia bilang seperti itu. Kok tega dia menjatuhkan harga diriku di hadapan perempuan lain. Membuka aibku, menceritakan keburukanku. Padahal selama ini, tak pernah sekalipun aku menceritakan segala kekurangannya, bahkan pada orang tuanya sendiri.

Dia bilang aku tak berbedak, memangnya dia pernah membelikanku bedak? Aku pucat tak bergincu, apa dia tahu kalau aku hanya punya sebatang lipstik yang kubeli setahun lalu? Dan itu pun dengan uangku sendiri. Dia ingin istrinya cantik mempesona, tapi tak pernah memberi modal untuk membeli alat make up. Memberi uang untuk makan sehari-hari aja susah. Kalau bukan karena aku yang nombok belanja lauk pakai uang hasil jualan online ku, dia nggak akan bisa makan teratur setiap hari.

Bayangkan saja, dia memberi uang lima puluh ribu, dan setelah itu berhari-hari tak pernah lagi memberiku uang. Memangnya dia pikir cukup? Seperti itu menuntut aku untuk cantik dan membandingkan dengan perempuan yang berduit dari hasil makan uang orang tuanya?

Dia membandingkan aku dengan perempuan yang tak pernah masak di rumah, yang kerjaannya hanya berjoget-joget depan kamera ponsel dan kemudian meng-uploadnya di sosial media, yang setiap selesai mandi langsung sibuk dengan dirinya sendiri sampai tak mengurus anak. Dan lucunya lagi, aku yang mengasuh anak-anaknya, memberi mereka makan dengan suapan tanganku.

Dia membandingkan aku dengan perempuan seperti itu? Tak salah lagi, mereka memang pasangan yang bejat.

“Oh, jadi dia izin keluar tiap adzan Maghrib dan Isya itu pergi ke rumah kamu?”

“Iya Say, kan Ayah Hilda kalau adzan pergi shalat ke masjid. Jadi itulah kesempatan kami untuk ketemu. Waktu yang sebentar itu kami manfaatkan.”

“Untuk ciuman?” sinisku.

“Ya gitulah. Kan aku udah bilang .” katanya jujur tanpa malu-malu ataupun menutupi.

Astaghfirullah... Perempuan seperti apa dia? Teganya mengkhianati suami dengan hal keji seperti itu? Kasihan suaminya, turun dari rumah pergi ke masjid mau menangguk pahala, ternyata bininya di rumah naikkan laki-laki.

Dan Bang Roni juga sama saja jahat. Padahal Bang Sarip, suami Riya itu baik dan percaya padanya. Tapi hati yang tertutup nafsu membuatnya tega menikam dari belakang. Tak berpikir kah dia, kalau hal seperti itu terjadi padanya? Misal kalau dia sedang pergi keluar, aku menaikkan laki-laki ke rumah?

“Oh, Jadi kalian ketemu setiap suamimu ke masjid?”

“Iya, begitu Ayah Hilda turun dari rumah, aku chat dia biar datang ke rumah. Jadi nanti malam kalau dia turun pas lagi adzan, kamu nggak usah heran ya Say. Biarin aja, dia lagi ketemuan sama aku tuh.” Riya cekikikan, membuat kepalaku mendadak pening.

“Say, aku lanjut masak dulu ya. Sebentar lagi Bang Roni datang bawa lauk buat dimasak untuk acara di TPQ nanti malam. Kalau aku belum selesai masak punya kamu, nanti dia curiga.”

Aku memberi alasan. Padahal sebenarnya aku benar-benar sudah muak mendengar kejujuran Riya. Pertahananku sedang diujung tanduk, dan aku perlu jeda waktu untuk membangunnya kembali. Bagaimanapun, aku tak rela telah diperlakukan seperti ini. Dan akan kubuat mereka menyesal telah berkhianat di belakangku.

“Ya udah, nanti kalau sempat aku main ke rumah kamu Say, tunggu dia nggak ada. Biar enak ceritanya.”

“Iya. Aku tunggu.” Kataku, dan langsung mematikan sambungan telepon.

Aku sempat terdiam termenung beberapa saat. Berharap kalau ini semua hanya mimpi. Tak kusangka, pernikahanku selama hampir 13 tahun dengan segala memori indah, ternoda oleh perbuatan suamiku yang begitu kupercaya. Sungguh aku sama sekali tak menyangka kalau Bang Roni akan melakukan perbuatan rendah dan tercela seperti ini. Selama ini aku berpikir dia adalah lelaki paling setia di dunia.

Tunggu saja, akan kutanyakan padanya sore ini.

***

“Sayank kenapa? Kok mukanya kayak sedih gitu?”

Aku mengerling ke arah Bang Roni yang kini sedang membantuku mencetak nasi dengan menggunakan mangkok kecil. Sementara aku yang sedang membungkus lauk pakai plastik, tanpa sadar melamun sejak tadi. Pikiranku ke mana-mana. Benar-benar tak tentu rasa.

“Nggak. Nggak kenapa-napa...” aku membetulkan posisi dudukku yang sejak tadi membungkuk. Pinggangku pegal dan tengkuk mulai berat.

“Jangan bohong....”

“Siapa yang sedang berbohong sekarang?” tembakku.

“Maksudnya?”

“Aku boleh nanya?”

“Boleh.” Bang Roni mengangguk ragu. Sepertinya ia mulai was-was.

“Tapi jawab jujur ya.”

“Iya.”

Aku membuang napas sebentar.

“Sayank masih sayang nggak sama aku?”

Dahi Bang Roni berkerut. “Ya sayanglah.”

“Yakin???”

“Iyalah. Emangnya kenapa?”

“Sekarang aku nanya, selain aku, siapa lagi yang disayang?”

“Anak-anaknya.”

“Bukan. Maksudku, apa ada perempuan lain?”

“Nggak ada.” Bang Roni menggeleng, tapi dari ekspresi wajahnya, aku dapat melihat dengan jelas kalau ia sekarang sedang berbohong.

“Masa? Kenapa kenyataannya nggak begitu?”

“Sayank kenapa sih kalau ngomong berbelit-belit? Tinggal ngomong langsung ke inti apa susahnya?” Bang Roni ngedumel. Aku tahu ia mulai panik.

“Oke, aku mau tanya, Sayank sekarang lagi selingkuh sama siapa?”

“Hahh?? Maksudnya??!”

“Jawab jujur, Sayank sekarang lagi dekat kan dengan seseorang?”

“Siapa?” tanyanya, dia berlagak bodoh sekarang.

“Ya jawab makanya. Sayank sekarang lagi dekat dengan siapa?”

“Dekat gimana?”

“Sayank selingkuh kan?”

“Enggak.”

“Nggak usah bohong! Aku tahu!”

“Emang siapa? Sayank dengar dari mana?”

“Jawab aja. Yang jelas aku tahu. Aku beri kesempatan untuk bilang terus terang. Jangan sampai aku sendiri yang mengatakannya.”

“Aku nggak tahu. Emang siapa sih?”

“Ya mana aku tahu. Sayank yang selingkuh. Pasti Sayank lebih tahu siapa yang jadi selingkuhan Sayank. Yang jelas, aku tahu siapa orangnya dan apa yang udah kalian perbuat. Jadi mendingan jujur sekarang.”

“Iya. Tapi siapa? Ada yang bilang ke Sayank?”

“Sayank ini laki-laki atau bukan, sih? Kalau iya, berani dikit jadi orang. Jawab yang jujur. Sayank selingkuh sama siapa? Aku tahu, tapi aku menunggu Sayank yang bilang sendiri. Aku mau dengar langsung dari mulut Sayank.” Tegasku.

“Nggak ada, aku nggak selingkuh.”

Ya Allah, dia masih saja mengelak. Benar-benar pengecut.

“Kalau chat sampai video call, dan ketemu diam-diam di belakang, apa namanya kalau bukan selingkuh? Ingat-ingat, siapa yang udah Sayank datangi diam-diam belakangan ini dan Sayank cium bibirnya?”

Bang Roni tampak terkejut mendengar kalimat terakhirku barusan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status