“Dia bilang, kamu itu nggak pandai berdandan. Dia males lama-lama di rumah, soalnya setiap dia pulang ngeliat bininya layu. Katanya, lebih segar mandangin muka aku. Kalau aku, awal pagi dan sore udah dandan Say, udah rapi. Sementara kamu, dari dia bangun tidur sampai dia pulang kerja, katanya ngeliat kamu selalu dalam keadaan acak-acakan. Nggak berbedak, nggak bergincu, pucet, nggak ada cahaya sama sekali di muka kamu. Makanya sejak dia berhubungan sama aku, setiap abis Maghrib dan Isya dia pasti keluar kan? Itu dia datang ke rumah aku Say. Cuma mau ketemu sama aku. Dia bilang muka aku nyenengin.”
Tanganku mengepal. Sungguh sangat geram dan sakit hati ini. Mataku mulai terasa panas, tapi belum ada air mata yang jatuh. Aku tak mau anak-anakku melihat ibunya menangis.Dan Bang Roni, bisa-bisanya dia bilang seperti itu. Kok tega dia menjatuhkan harga diriku di hadapan perempuan lain. Membuka aibku, menceritakan keburukanku. Padahal selama ini, tak pernah sekalipun aku menceritakan segala kekurangannya, bahkan pada orang tuanya sendiri.Dia bilang aku tak berbedak, memangnya dia pernah membelikanku bedak? Aku pucat tak bergincu, apa dia tahu kalau aku hanya punya sebatang lipstik yang kubeli setahun lalu? Dan itu pun dengan uangku sendiri. Dia ingin istrinya cantik mempesona, tapi tak pernah memberi modal untuk membeli alat make up. Memberi uang untuk makan sehari-hari aja susah. Kalau bukan karena aku yang nombok belanja lauk pakai uang hasil jualan online ku, dia nggak akan bisa makan teratur setiap hari.Bayangkan saja, dia memberi uang lima puluh ribu, dan setelah itu berhari-hari tak pernah lagi memberiku uang. Memangnya dia pikir cukup? Seperti itu menuntut aku untuk cantik dan membandingkan dengan perempuan yang berduit dari hasil makan uang orang tuanya?Dia membandingkan aku dengan perempuan yang tak pernah masak di rumah, yang kerjaannya hanya berjoget-joget depan kamera ponsel dan kemudian meng-uploadnya di sosial media, yang setiap selesai mandi langsung sibuk dengan dirinya sendiri sampai tak mengurus anak. Dan lucunya lagi, aku yang mengasuh anak-anaknya, memberi mereka makan dengan suapan tanganku.Dia membandingkan aku dengan perempuan seperti itu? Tak salah lagi, mereka memang pasangan yang bejat.“Oh, jadi dia izin keluar tiap adzan Maghrib dan Isya itu pergi ke rumah kamu?”“Iya Say, kan Ayah Hilda kalau adzan pergi shalat ke masjid. Jadi itulah kesempatan kami untuk ketemu. Waktu yang sebentar itu kami manfaatkan.”“Untuk ciuman?” sinisku.“Ya gitulah. Kan aku udah bilang .” katanya jujur tanpa malu-malu ataupun menutupi.Astaghfirullah... Perempuan seperti apa dia? Teganya mengkhianati suami dengan hal keji seperti itu? Kasihan suaminya, turun dari rumah pergi ke masjid mau menangguk pahala, ternyata bininya di rumah naikkan laki-laki.Dan Bang Roni juga sama saja jahat. Padahal Bang Sarip, suami Riya itu baik dan percaya padanya. Tapi hati yang tertutup nafsu membuatnya tega menikam dari belakang. Tak berpikir kah dia, kalau hal seperti itu terjadi padanya? Misal kalau dia sedang pergi keluar, aku menaikkan laki-laki ke rumah?“Oh, Jadi kalian ketemu setiap suamimu ke masjid?”“Iya, begitu Ayah Hilda turun dari rumah, aku chat dia biar datang ke rumah. Jadi nanti malam kalau dia turun pas lagi adzan, kamu nggak usah heran ya Say. Biarin aja, dia lagi ketemuan sama aku tuh.” Riya cekikikan, membuat kepalaku mendadak pening.“Say, aku lanjut masak dulu ya. Sebentar lagi Bang Roni datang bawa lauk buat dimasak untuk acara di TPQ nanti malam. Kalau aku belum selesai masak punya kamu, nanti dia curiga.”Aku memberi alasan. Padahal sebenarnya aku benar-benar sudah muak mendengar kejujuran Riya. Pertahananku sedang diujung tanduk, dan aku perlu jeda waktu untuk membangunnya kembali. Bagaimanapun, aku tak rela telah diperlakukan seperti ini. Dan akan kubuat mereka menyesal telah berkhianat di belakangku.“Ya udah, nanti kalau sempat aku main ke rumah kamu Say, tunggu dia nggak ada. Biar enak ceritanya.”“Iya. Aku tunggu.” Kataku, dan langsung mematikan sambungan telepon.Aku sempat terdiam termenung beberapa saat. Berharap kalau ini semua hanya mimpi. Tak kusangka, pernikahanku selama hampir 13 tahun dengan segala memori indah, ternoda oleh perbuatan suamiku yang begitu kupercaya. Sungguh aku sama sekali tak menyangka kalau Bang Roni akan melakukan perbuatan rendah dan tercela seperti ini. Selama ini aku berpikir dia adalah lelaki paling setia di dunia.Tunggu saja, akan kutanyakan padanya sore ini.***“Sayank kenapa? Kok mukanya kayak sedih gitu?”Aku mengerling ke arah Bang Roni yang kini sedang membantuku mencetak nasi dengan menggunakan mangkok kecil. Sementara aku yang sedang membungkus lauk pakai plastik, tanpa sadar melamun sejak tadi. Pikiranku ke mana-mana. Benar-benar tak tentu rasa.“Nggak. Nggak kenapa-napa...” aku membetulkan posisi dudukku yang sejak tadi membungkuk. Pinggangku pegal dan tengkuk mulai berat.“Jangan bohong....”“Siapa yang sedang berbohong sekarang?” tembakku.“Maksudnya?”“Aku boleh nanya?”“Boleh.” Bang Roni mengangguk ragu. Sepertinya ia mulai was-was.“Tapi jawab jujur ya.”“Iya.”Aku membuang napas sebentar.“Sayank masih sayang nggak sama aku?”Dahi Bang Roni berkerut. “Ya sayanglah.”“Yakin???”“Iyalah. Emangnya kenapa?”“Sekarang aku nanya, selain aku, siapa lagi yang disayang?”“Anak-anaknya.”“Bukan. Maksudku, apa ada perempuan lain?”“Nggak ada.” Bang Roni menggeleng, tapi dari ekspresi wajahnya, aku dapat melihat dengan jelas kalau ia sekarang sedang berbohong.“Masa? Kenapa kenyataannya nggak begitu?”“Sayank kenapa sih kalau ngomong berbelit-belit? Tinggal ngomong langsung ke inti apa susahnya?” Bang Roni ngedumel. Aku tahu ia mulai panik.“Oke, aku mau tanya, Sayank sekarang lagi selingkuh sama siapa?”“Hahh?? Maksudnya??!”“Jawab jujur, Sayank sekarang lagi dekat kan dengan seseorang?”“Siapa?” tanyanya, dia berlagak bodoh sekarang.“Ya jawab makanya. Sayank sekarang lagi dekat dengan siapa?”“Dekat gimana?”“Sayank selingkuh kan?”“Enggak.”“Nggak usah bohong! Aku tahu!”“Emang siapa? Sayank dengar dari mana?”“Jawab aja. Yang jelas aku tahu. Aku beri kesempatan untuk bilang terus terang. Jangan sampai aku sendiri yang mengatakannya.”“Aku nggak tahu. Emang siapa sih?”“Ya mana aku tahu. Sayank yang selingkuh. Pasti Sayank lebih tahu siapa yang jadi selingkuhan Sayank. Yang jelas, aku tahu siapa orangnya dan apa yang udah kalian perbuat. Jadi mendingan jujur sekarang.”“Iya. Tapi siapa? Ada yang bilang ke Sayank?”“Sayank ini laki-laki atau bukan, sih? Kalau iya, berani dikit jadi orang. Jawab yang jujur. Sayank selingkuh sama siapa? Aku tahu, tapi aku menunggu Sayank yang bilang sendiri. Aku mau dengar langsung dari mulut Sayank.” Tegasku.“Nggak ada, aku nggak selingkuh.”Ya Allah, dia masih saja mengelak. Benar-benar pengecut.“Kalau chat sampai video call, dan ketemu diam-diam di belakang, apa namanya kalau bukan selingkuh? Ingat-ingat, siapa yang udah Sayank datangi diam-diam belakangan ini dan Sayank cium bibirnya?”Bang Roni tampak terkejut mendengar kalimat terakhirku barusan.“Nggak ada. Siapa yang aku datangi? Emang Sayank curiganya sama siapa?” “Ya sebut aja siapa perempuan yang sedang Sayank dekatin.”“Detrin?” ia menyebut nama perempuan yang pernah ia kenal lewat chat dan dulu ia ceritakan padaku. Ia pasti sengaja menyebut nama yang tak ada hubungannya sama sekali. “Nggak tahu. Tapi bukan. Dia orang dekat kok.” Sindirku, kupikir ia akan sadar kalau yang dimaksud adalah Riya.“Siapa ya?” tanyanya berlagak pilon. Sambil memandang ke langit-langit rumah, seolah jawabannya ada di sana.“Sayank akrab sama dia, suka bercanda dan godain dia.”“Siapa? Riya?”DHESSS... Akhirnya ia sebut juga nama itu. “Oh jadi Riya orangnya?”“Nggak. Bukan. Aku nggak ngerti apa maksud Sayank. Katanya yang suka bergurau dengan aku, orang dekat. Aku Cuma asal sebut aja nama Riya.”Aku mengurut pelipis. Tidak bisa seperti ini! Selagi aku tak punya bukti akurat yang bisa membuatnya mati kutu dan mengaku sendiri, selagi itu pula ia akan mati-matian menutupi sampai akhir
“Nasi kotaknya udah diantarkan?” tanyaku pada Bang Roni yang baru saja datang dengan motornya. Dia bilang habis dari warung membeli rokok. Sementara aku baru saja selesai mengaji sehabis shalat Maghrib tadi. Dengan tasbih di tangan, aku sedang menunggu adzan Isya.“Udah. Sayank yakin nih nggak mau ikut acara di TPQ? Ini kan acara Maulid di tempat anak-anak kita ngaji.”“Nggak. Aku di rumah aja. Capek, kepalaku pening.” Kataku sambil menaikkan bawahan mukena yang tadi sempat melorot. “Sayank pergi emangnya?” tanyaku, karena kulihat ia seperti hendak mengganti baju.“Pergi dong. Nggak enak kan kalau orang tua nggak ada yang datang sama sekali? Nanti anak-anak sedih.”“Tumben...”“Kok tumben?”“Iya, selama ini Sayank nggak pernah mau kalau disuruh datang ke acara seperti itu. Biarpun kubilang untuk kepentingan anak-anak. Selalu saja ada alasannya. Tapi sekarang, kok kayak semangat sekali? Bahkan tanpa disuruh. Udah ada janjian kah sama seseorang?” sindirku sinis. Aku tahu, kalau
Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian. Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku. Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riy
Kepalaku pusing bukan kepalang. Sakit hatiku terasa memuncak. Kini, tak ada lagi alasan bagiku untuk meragukan kata-kata Riya. Semua benar adanya. Bang Roni main gila di belakangku.Ku tutup layar laptopku. Aku tak mampu lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang baru kuterima beberapa hari yang lalu itu. Otakku sudah tak bisa berpikir. Penuh akan pikiran tentang ini. Aku memilih untuk tidur siang demi mendinginkan hati. Tapi semakin aku mencoba untuk memejamkan mata, semakin aku tak bisa tidur karena menangis.Tapi sungguh, aku menangis bukan karena takut kehilangan Bang Roni. Aku menangis karena sedih telah dibohongi dan dibodoh-bodohi oleh dua orang yang begitu sangat kupercaya. Seandainya mereka memang saling menyukai, kenapa tak bilang langsung di depanku? Pasti akan aku ikhlaskan.Aku memang mencintai suamiku, tapi aku bukanlah orang bodoh yang hanya menggantungkan diri pada satu orang. Aku masih bisa mencari laki-laki yang seribu kali lebih baik darinya di lua
“Eh Say, jangan ngelamun!”Suara Riya mengagetkanku. Entah sejak kapan ia datang. Aku yang sedang termenung di kursi teras sampai tak menyadari kedatangannya.“Eh, tumben ke sini?” tanyaku dengan sedikit senyum, berusaha untuk tetap terlihat ramah. Padahal rasanya aku ingin mencakar wajah memuakkan perempuan itu.“Kan aku bilang, nanti mau ke sini buat cerita. Roni nggak ada kan?” tanya Riya sambil celingukan.“Nggak ada, aman.” Riya duduk di sampingku. Ia terlihat tak sabar untuk memuntahkan segala cerita busuknya.“Jadi gini Say, kamu tahu nggak kalau suami kamu tuh tergila-gila sama aku. Dia bucin banget. Roni bilang, sejak dekat sama aku dia nggak mau lagi ngelirik cewek lain. Dia Cuma mau fokus ke aku. Makanya, biarin aja dia berhubungan sama aku. Daripada dia selingkuh dengan cewek lain di luar sana, kan mending sama aku. Aku nggak mungkinlah merebut dia, karena aku udah punya suami. Kalau cewek lain, pasti nanti kamu dibikin cerai. Aku tuh bukan
Aku menangis tanpa suara. Sakit sekali rasanya. Rasa marahku seakan sudah sampai batas. Bang Roni benar-benar sudah tak bisa diselamatkan lagi.Padahal sebelum ia pergi, aku sudah memberi pilihan dan kesempatan padanya untuk mengakhirinya hubungan dengan Riya. Meski secara tersirat, seharusnya dia mengerti. Tapi kini aku mengetahui kalau ia masih saja menggoda Riya lewat chat.Kepalaku sakit berdenyut karena membaca chat mesra mereka yang masuk di ponselku. Bayangkan saja, mereka chat an sejak jam 9 malam tadi sampai kini hampir jam 2 pagi.Bang Roni sempat meneleponku, meminta izin untuk pulang larut malam, karena katanya ia sedang lembur tempat Mas Indra. Ternyata itu hanya alasan, agar ia bisa lebih leluasa chat an dengan Riya.[ Sayank tahu nggak, kalau sebenarnya Sayank itu jodoh aku, tapi untuk di akhirat nanti ]Itu adalah salah satu kalimat godaan yang dilontarkan Bang Roni untuk Riya, membuat hatiku sedih bukan kepalang.
“Jadi dia sendiri yang mengaku dan cerita ke Sayank? Dia ceritakan semua, tentang apa yang kulakukan, sampai sedetail itu?” tanya Bang Roni.“Menurutmu?! Kau dengar sendiri kan? Kalau dia nggak punya perasaan sama sekali padamu. Dia Cuma butuh kau untuk menyalurkan nafsunya. Makanya dia ceritakan semua padaku, mengadukan semua kelakuanmu. Karena setelah dia bosan denganmu, dia tinggal pergi melenggang mencari selingkuhan baru. Aku heran dan nggak habis pikir, kok bisa-bisanya kau mempertaruhkan masa depan rumah tangga kita, anak-anak kita, hanya demi seorang perempuan yang lebih murahan dari pada lon**? Lebih jahat dari pada pencuri? Ke mana akalmu Roni? Seharusnya kau pakai akal sehat, pakai logika! Jangan nafsu aja yang kau kedepankan!”BRAKKK...!!!Bang Roni meninju meja kecil yang ia buat untukku tadi. Untung saja tak ada laptop di atasnya, karena meja itu terbelah menjadi dua. “Dan satu lagi, kau bilang sekarang tak lagi bahagia hidup denganku, apalagi seja
Ponsel Bang Roni kini aku yang pegang. Dia sudah menyerahkan semua padaku dan menunggu apa pun itu instruksi dariku. Semua rencana sudah kusematkan di dalam kepala. Mulai hari ini, aku yang akan mempermainkan perasaan mereka.[ Ayank, kok tumben nggak ada nge-chat? ][ Yank, telfon sebentar dong. Pengen dengar suaranya ][ Ayank marah atau lagi sibuk? ]Berkali-kali chat masuk dari Riya sengaja tak ku balas. Tapi aku sengaja membukanya agar ia melihat dan merasa dicuekin. Sementara dari awal pagi, aku sudah menyuruh Bang Roni untuk pergi bekerja, tentunya tanpa membawa ponsel. Kini aku yang pegang kendali. Sejak kejadian semalam, aku sudah buat perjanjian dengan Bang Roni agar ia tak protes dengan apa pun yang akan aku lakukan. Dan tentu saja, ia mau tak mau harus setuju.“Kau jangan mengatakan apa pun pada Riya. Jangan bilang kalau aku sudah mengatakan semuanya padamu. Anggap saja tak terjadi apa-apa malam ini. HP kamu aku yang pegang, dan aku yang ak