Share

6

Tepat lima hari yang lalu, saat Naya berusaha menghubungi Tian tapi tidak bisa ternyata ada alasannya. Laki-laki itu memang tengah sibuk mengerjakan sesuatu, entah itu masalah bisnis properti miliknya atau berusaha menghindari pertanyaan dari ibunya tentang Naya.

Bahkan Tian sekarang harus mengganti ponselnya dan mematikan ponsel yang biasa ia pakai. Ia sudah memulai rencana hindar-menghindar dari orang tuanya setelah kembali dari mengantar Naya.

Bagaimana dengan kliennya?

Ia tak perlu khawatir karena semua kliennya ia beri nomor yang langsung terhubung dengan perusahaan. Ia tetap bisa update mengenai klien yang tak bisa di bilang sedikit itu.

Lima hari yang lalu juga, ketika ia ingin pergi untuk mengunjungi Naya di desa, sebuah kejutan menyapanya.

Ia bertemu Kian.

Sebenarnya bukan itu kejutannya, karena mereka memang sudah mengenal satu sama lain. Kejutan yang sesungguhnya adalah apa yang di katakan oleh Kian.

"Kak Tian!"

Suara riang itu terdengar ketika Tian sedang memasukkan beberapa barang kedalam bagasi mobil. Tian menoleh dan langsung tersenyum mendapati seorang laki-laki yang melangkah ke arahnya dengan bersemangat.

"Wah, siapa ini? Kau sudah kembali dari luar negeri? Kenapa kau menjadi tampan seperti ini?" Tian mengulurkan tangannya untuk memeluk seseorang yang sudah seperti adiknya itu.

"Memangnya sejak kapan aku jelek?"

Tian memutar bola matanya malas. "Lalu apa yang kau lakukan disini? Apa kau sangat rindu padaku sampai-sampai langsung kemari?"

Tawa renyah keluar dari mulut Kian. "Ya, Kak Tian bisa menganggapnya begitu, tapi aku kemari dengan alasan lain. Kudengar dia tinggal bersamamu?"

"Dia? Naya?" Tanya Tian memastikan.

Senyuman Kian yang tadinya seperti anak kecil tiba-tiba melembut. Iya, benar yang ia tanyakan gadis itu. Ia sudah menunggu gadis yang ia suka cukup lama. Ditambah lagi ia harus pergi ke luar negeri saat umur lima belas tahun tanpa ada kesempatan untuk berbicara padanya lagi.

"Iyap. Dia ada disini? Apakah juga ada perkembangan?" Kian memelankan suaranya saat mengucapkan pertanyaannya yang terakhir.

Tian tahu apa maksud pertanyaan terakhir Kian. Semburat sedih nampak di wajah Tian. Ia lalu menggeleng dan menepuk bahu Kian pelan.

"Oh, begitu ya...Aku sedikit menyesal tidak sempat berkenalan lagi sebelum ke luar negeri. Terima kasih untuk tetap memberi tahu kabarnya dari sini," kata Kian sedikit kecewa.

"Ah, sudahlah aku senang membantu. Apa tujuanmu kemari langsung kenalan dengan Naya? Bukankah itu aneh jika tiba-tiba seseorang mendatanginya dan meminta kenalan?" Kekeh Tian sedikit mencairkan suasana.

"Oh, bukan kenalan biasa. Bukankah Bibi sudah memberi tahu mu bahwa kita akan bertunangan?"

Detik itu juga Tian langsung bungkam. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi atau menjawab laki-laki di hadapannya itu.

Haruskah dia bahagia karena pada akhirnya Kian bisa meraih kembali Naya?

Lalu bagaimana dengan adiknya itu?

Ia sudah berjanji untuk tidak membiarkan pertunangan ini terjadi bagaimanapun caranya.

***

Hari itu semua berakhir dengan Tian yang mendudukan diri di ruang kerjanya. Ia urung untuk mengunjungi Naya di desa. Pikirannya penuh dengan macam-macam hal, terlebih setelah Kian datang menemuinya.

Laki-laki yang usianya hampir menginjak kepala tiga itu tengah memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah yang berasal dari rencananya sendiri.

Ia tidak tahu bahwa pertunangan ini akan melibatkan Kian. Ibunya bahkan tidak memberi tahu apapun padanya mengenai Kian. Kenapa harus ada rahasia seperti ini?

Apakah ibunya mencoba sesuatu untuk 'mengembalikan' Naya tanpa sepengetahuannya?

Pasalnya Tian sangat menolak untuk melakukan hal 'itu'. Gambaran Naya yang berumur sembilan tahun selalu terbayang di kepalanya.

Bagaimana wajah ketakutan gadis kecil itu ketika informasi yang terlalu banyak dan cepat menghantam kepalanya. Penderitaan dan teriakan selalu Naya tunjukkan di umurnya yang ke sembilan ketika ibunya pernah mencoba untuk 'mengembalikan' sesuatu yang hilang dari gadis itu. Tian masih mengingat dengan jelas semuanya.

Tian sendiri lebih senang jika Naya yang menemukan sisi lain dari dirinya sendiri, daripada harus di paksa dengan banyaknya informasi dari masa lalunya. Jeritan itu akan terdengar lagi, dan Tian sudah pasti tidak akan tega.

"Memikirkan sesuatu?" Yera datang dengan secangkir kopi. Kekasih Tian itu lalu menggeser kursi mendekati meja kerja Tian.

"Terima kasih. Banyak sekali yang ku pikirkan. Kenapa ini menjadi rumit?"

Yera mengusap lengan Tian lembut. "Ingin bercerita?"

Mengalirlah semua cerita Tian dimulai dari Kian yang menemuinya dan kekhawatirannya sekarang untuk menghadapi adik perempuannya, hingga prediksi mengenai rencana ibunya.

"Maksudku...aku senang. Yah, aku senang mereka bisa bersama lagi. Tapi, aku takut jika pertunangan ini juga untuk 'mengembalikan' Naya. Tidak ada perkembangan yang berarti mengenai ingatannya," Tian mengusap wajahnya kasar.

"Kau tahu Tian, Ibu mu tidak sekejam itu. Mungkin yang beliau maksud adalah 'mengembalikan' nya dengan perlahan, dan itu lewat perantara Kian," ujar Yera.

"Tapi kurasa itu tidak akan berhasil. Memang benar mereka dekat sebelumnya, tapi itu sudah lama sekali dan kelihatannya tidak ada kenangan berarti selain hal mengerikan itu. Kau tahu yang ku maksud kan?"

"Iya. Aku tidak akan pernah lupa dengan kejadian mengerikan yang kau ceritakan," Yera memandangi bekas luka yang menetap di kening Tian.

"Kau tahu? Aku sebenarnya mencoba hal yang sama dengan Ibu. Kupikir akan sangat kasihan jika ia belum mengingatnya setelah dewasa. Tidak bisa mengingat orang yang sangat kita sayangi itu sangatlah menyakitkan," Tian memutar-mutar cangkirnya. Pikirannya sekarang persis dengan cangkir yang ia putar. Beputar tak tentu arah.

"Apakah alasan Naya kau titipkan di desa itu untuk hal ini?"

"Iya. Semua jawaban yang ia perlukan ada disana. Tempat terbentuknya kenangan berharga yang ia miliki. Aku sudah memberi tahu Paman mengenai kondisinya, jadi itulah mengapa ia berpura-pura tidak mengenalnya. Aku ingin ia menemukan apa yang selama ini menghilang dari dirinya sendiri."

***

Kian memandang lurus jalanan yang penuh dengan kendaraan. Sial sekali ia terjebak macet setelah pulang dari rumah Tian. Pikirannya melayang memikirkan perkataan Tian tadi sore. Kakak Naya itu mengatakan bahwa adiknya itu sedang berada di kota lain karena pekerjaan.

Tapi, kenapa Tian tidak memberi tahu di mana?

Laki-laki itu malah pamit undur diri karena memiliki pekerjaan menumpuk yang harus di lakukan. Kenapa Tian tidak menyebutkan nama kota di mana Naya berada di menit terakhir?

Memangnya menyebutkan nama suatu kota membutuhkan ber jam-jam?

Kian menghela napasnya. Di hadapannya terdapat barisan mobil yang sedari tadi tidak berpindah satu inci pun.

"Kenapa hari ini macet sekali, sih?"

Manik biru nya melihat ke arah ponsel yang terletak di kursi penumpang yang ada di sampingnya. "Apakah aku harus menghubungi nya? Aku mendapatkan id dan nomornya kemarin dari bibi,"

Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya ia mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel miliknya. Ia memencet ikon aplikasi chatting dan mencari nama Naya di sana.

Tiba-tiba saja ia merasa gugup saat memandang foto profil yang di kenakan Naya. Gadis itu nampak cantik dengan senyum lebarnya. Ia tidak pernah berubah.

"Ehm, baiklah kau bisa Kian. Sebelum kemacetan ini berakhir kau harus bisa menghubungi Naya,"

Panggilan pun dimulai. Kian fokus pada layar ponselnya, ada tiga bulatan kecil yang  selalu kembali berbaris selama yang di hubungi belum mengangkatnya.

Dan...

'Pemilik ponsel ini sedang sibuk. Jadi jangan menelponnya.'

Tunggu. Kenapa yang mengangkat ponsel Naya adalah laki-laki? Terdengar sedikit keributan juga di ujung sana.

"Ehm, bukankah ini ponsel milik Naya? Anda siapa? Tolong berikan ponsel ini pada pemiliknya. Saya ada perlu,"

'Tidak, dia tidak mau bicara.'

'Gavin! Berikan, matikan ponselnya!'

Kali ini terdengar suara perempuan yang terdengar samar. Itu pasti Naya, tapi tunggu apa dia bilang Gavin?

"Gavin? Apa itu kau?" Kian terkejut mendengar nama itu lagi setelah sekian lamanya. Nama yang ia benci.

'Iya, itu aku.'

"Berikan kepada Naya sekarang atau aku akan-"

'Tidak akan. Selamat tinggal,'

Panggilan pun di putus sepihak. Kian menggeram marah. Ia mencoba menghubungi Naya lagi. Akan tetapi, usahanya sia-sia karena kontaknya telah di blokir. Ia mencoba menghubunginya lewat nomor telpon biasa tapi juga tidak bisa.

Baik kontak di aplikasi chat maupun nomor ponselnya sudah benar-benar ter blokir dari ponsel Naya.

"Agh! Gavin brengsek!! Kenapa bisa dia bersamanya? Bagaimana mereka bisa saling bertemu?"

Kian meluapkan emosinya dengan memukul kemudi mobilnya. Hanya dengan mendengar nama Gavin saja darahnya bisa mendidih. Bagaimana bisa seorang Gavin yang sudah lama tidak hadir dalam kehidupannya tiba-tiba muncul? Dan di kehidupan gadis itu juga?!

Suara klakson mobil yang tidak sabaran terdengar dari belakang. Mobil di depan Kian sudah mulai melaju. Laki-laki itu membuang napasnya kasar, dan dengan hati yang tak tenang ia melajukan mobilnya.

Sekarang yang ada di pikiran Kian adalah cara agar Naya tidak mengingat Gavin lagi. Ia tidak akan membiarkan gadis itu mengingat Gavin. Tidak akan pernah.

Tapi, bagaimana jika Naya sudah mengingatnya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status