Share

6.

Hasan sama sekali tak menjawab pertanyaanku, aku yang panik pun semakin bertambah berkali-kali lipat paniknya. Jelas saja! Bagaimana mungkin tidak panik jika dengan tiba-tibanya ayah Nando menghubungi Hasan dan menyuruh kami berdua menuju ke rumahnya. 

Di tambah lagi tadi percakapan keduanya mengkaitkan bapakku. Anak mana yang tidak khawatir jika orang tuanya ikut di seret dalam hal yang tidak di ketahui apa maksudnya. 

"Hasan, katakan padaku, sebenarnya ada apa?" aku mencoba peruntungan dengan bertanya sekali lagi pada Hasan. Siapa tau pria ini mau menjawabnya demi rasa penasaranku.

Ku lihat Hasan berdecak kesal, entah pada siapa, namun ku yakini jika ia kesal karena aku yang terus bertanya mengenai hal itu.

"Bapakmu kenapa centil sekali sih, pakai acara menelpon ayahku segala." kata Hasan yang ku tafsirkan sebagai gerutuan.

"A-apa?" kagetku dengan suara terbata. 

"Mana bertanya mengenai keberadaanmu lagi, bahkan paman Ridwan mengatakan jika sejak kemarin malam kau tidak pulang." jelas Hasan membuatku sangat kalut.

"Ah, sial!" umpatnya memukul bagian sisi mobil.

Meskipun pelan namun tetap saja membuatku berjengit kaget. Aku tau Hasan tengah panik bercampur marah saat ini. 

Tapi, tunggu dulu! Kenapa aku harus panik dan takut. Bukankah ini saatnya waktu yang tepat bagiku untuk mengatakan sekaligus mengakui yang sebenarnya di antara kami berdua selama dua tahun terkahir ini. 

Ya, benar, inilah saatnya!

Tanpa sadar aku melengkungkan senyum membayangkannya, tapi dalam sekejap senyumku hilang ketika aku teringat akan bayangan wajah bapak. Bagaimana dengan dirinya nanti, apa reaksinya nanti saat mendengar segala pengakuan kebenaran dariku? 

Tentunya bapak pasti akan terluka, ya Tuhan! Aku tidak memikirkan sampai ke situ. 

Aku melirik Hasan sekilas, wajah pria itu masih sama seperti biasanya. Bahkan kini malah semakin bertambah mengerikan akibat di liputi kemarahan. 

Tanpa sadar dan tanpa dapat ku tahan aku menangis sembari membuang pandangan ke arah luar. Di satu sisi aku ingin keluar dari belenggu ikatan gila yang menyakitkan ini, tapi di sisi lain aku memikirkan perasaan bapak. Kecewa itu pasti ada, dan aku tidak ingin dia merasa kecewa pada putrinya ini.

Putrinya yang kini penuh dosa dan dusta, yang tak pantas mendapatkan pengampunan dari siapapun. 

*******

Aku hanya mampu menundukkan kepala di bawah pengawasan kedua pria paruh baya yang kini menatap tajam serta penuh kecurigaan pada kami. Sedangkan Hasan, jangan di tanya lagi. Pria berengsek itu sama sekali tidak ada takutnya, bahkan dengan santainya Hasan malah balik membalas tatapan mata para kedua orang tua itu.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi. Coba jelaskan pada ayah?" kata ayah Nando pada Hasan. Tidak, lebih tepatnya pada kami berdua meskipun tatapan matanya hanya tertuju pada putranya.

Butuh waktu beberapa menit bagi Hasan untuk menjawabnya, hingga sebuah kata maaf meluncur keluar dengan lancar.

"Maafkan aku ayah, paman."

Deg! 

Jantungku berdetak kencang, was-was menunggu ucapan selanjutnya yang akan Hasan keluarkan.  

Tanganku gemetaran hingga tanpa sadar ke sepuluh jari-jemariku meremas pakaianku sendiri, sebagai pengalihan dari rasa cemasku yang tak urung berkurang. 

"Apa maksudnya dengan permintaan maafmu barusan?" tanya ayah Nando lagi yang semakin di buat bingung oleh Hasan. 

Dari ekor mataku aku melihat Hasan melirik ku sesaat, namun entah apa maksud dari lirikan matanya aku pun tak mengerti. 

Semoga saja bukan hal yang buruk. racauku dalam hati.

"Itu—" 

"Hasan mengantarku ayah," sahutku menyela Hasan yang ingin bicara. "Aku meminta Hasan untuk mengantarku ke rumah milik salah satu temanku setelah kami berdua pergi dari acara pesta." ucapku yang terpaksa berbohong.

Maafkan aku bapak, ayah Nando. Aku terpaksa berbohong menutupi segala kebenaran tentang kenyataan ini, aku terpaksa menutupi tingkah buruk pria ini demi kebaikan semuanya.

Hasan mencondongkan tubuhnya sedikit mendekat ke arahku. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan suara berbisik padaku. 

Aku tak menghiraukannya, dan kembali mengajak bicara kedua orang tua itu. Aku meyakinkan bapak dan ayah Nando jika yang ku katakan ini benar. 

"Terus kenapa kamu berbohong pada ayah saat menelponmu tadi pagi?" tanya ayah Nando pada Hasan lagi. 

Lagi-lagi aku menyela Hasan yang sudah membuka mulutnya ingin bicara. "Itu aku yang menyuruhnya mengatakan begitu ayah, karena aku pikir kalian akan cemas dan khawatir bila aku tidak bersama Hasan. Maksudnya, aku merasa aman dan nyaman ketika bersama Hasan, aku merasa terlindungi sebab tak akan ada yang berani macam-macam." 

Ku lihat ayah Nando dan bapak saling pandang. Duh, apakah alasanku tidak masuk akal? pikirku panik membatin dalam hati. 

Ku lirik Hasan yang diam dengan ekspresi serta raut wajah yang tak bisa terbaca. 

Huffh! Aku jadi bingung sendiri. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status