“Siapa?” tanya Mustafa mengamati sekitar. Semua mata memandangnya tanpa berkedip.
“Siapa kamu?” Pertanyaan yang tidak langsung dijawab Mustafa dari wanita yang masih memandangnya.
“Kenapa aku harus menyebutkan nama?” balas Mustafa.
“Karena dengan menyebut nama, kita mengetahui siapa kamu.”
Mustafa mendekati wajah indah bagaikan berlian. Tatapan kecantikan luar biasa, semakin membuatnya terpana. “Siapa kamu?”
“Kau tidak menyebutkan siapa namamu. Sekarang kau menanyakan namaku?” Suara lembut seperti alunan musik indah, membuat Mustafa terus tersenyum. “Jika kau menyebutkan nama, aku mengetahui siapa kamu.” Kecerdasan Mustafa membuat sang Wanita terkekeh.
“Zivana Mastani namaku.”
“Nama yang sangat indah,” jawab Mustafa namun kembali menatap tajam lurus ke depan. Dia mendengar suara deruan langkah beberapa kuda menghampirinya.
Dia berdiri tegak mengepalkan kedua tangannya menanti sesuatu yang sudah sangat mendekat. Suara hentakan kuda mendadak terhenti. Para pengendara dengan menggunakan baju tempur prajurit menatapnya tajam. Mereka masih diam di atas kuda membuat Mustafa membalasnya dengan tatapan dingin yang menusuk. Jantung mereka terasa sakit, membuat salah satu dari mereka akhirnya menuruni kuda.
“Putri, apakah Anda baik-baik saja?” Dengan gagah pemimpin para prajurit menunduk di depan Zivana.
“Apakah kau melihatku terluka?” jawab Zivana membuat sang prajurit melirik ke arah Mustafa. “Putri, ahli ramal menginginkan Anda segera kembali,” ucapnya membuat Zivana mendekati Mustafa.
“Kau tidak menyebut namamu? Aku akan mengetahuinya nanti. Kita akan bertemu lagi di sini.”
Mustafa hanya memperlihatkan seutas senyuman. Zivana masih saja membalas tatapan Mustafa sebelum menaiki kudanya. Namun sesuatu terjadi. Udara menjadi sangat dingin. Dedaunan mulai melayang di udara. Angin memberikan goncangan kuat. Semua kuda melompat tanpa henti. Puluhan prajurit menarik tali kemudi untuk menenangkannya namun gagal.
“Apa ini?” Zivana menatap semua arah dengan kebingungan.
“Putri, sebaiknya Anda berlindung di belakangku,” ucap Pemimpin Prajurit mulai mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Angin semakin kencang membentuk bulatan tornado. Semua hewan keluar dari peraduannya. “Kalian lihat? Ramalan itu terjadi. Semua hewan bahkan akan tunduk kepadanya. Apakah mungkin itu dia?” Zivana terus menatap Mustafa yang hanya diam mengamati ujung lekukan hutan semakin menghitam.
“Suara itu, semakin jelas kudengar. Hentakan kaki binatang dengan auman. Dia memanggilku. Kenapa dia melakukan itu?” batin Mustafa kini mengangkat wajahnya, berlari kencang menerabas angin tornado yang semakin membesar. Semua mata membelalak melihatnya.
“Putri, berpeganganlah!” teriak salah satu prajurit mencegah Zivana saat ingin mengejar Mustafa namun akan terbawa angin kencang. “Putri, jangan mengejarnya. Kita akan menunggunya di sini!” Zivana menganggukkan kepala. Dia memutuskan untuk menunggu.
Mustafa melompat tinggi, masuk ke dalam bulatan angin hitam yang sudah menyambutnya. Tubuhnya sekuat baja, tidak membuat dirinya bergerak di dalam putaran angin mematikan. Kini angin itu membawanya menuju inti hutan gelap yang perlahan menurunkannya di hadapan binatang menakutkan pemangsa daging. Sorotan tajamnya, saling bertumbukan dengan netra kemerahan sang raja hutan.
“Aku tidak takut denganmu, raja hutan.” Mustafa berdiri tepat di depan singa putih sebesar bukit. Dirinya hanya setitik semut yang bisa diinjaknya kapan saja. Aumannya sekeras petir, membuat semua pohon terbelah menjadi dua. Namun Mustafa hanya diam berdiri tanpa ada rasa ketakutan.
“Baru kali ini aku melihat binatang sebesar dirinya.”
Mustafa mengepalkan kedua tangannya. Sang raja hutan mulai membuka mulut lebar. Giginya sebesar gading gajah, setajam seratus pisau, terlihat jelas ingin menelannya. Mustafa perlahan melangkah mundur saat singa itu mulai mendekatinya. Mereka kembali bertatapan. Singa mulai mengendus, menggerakkan kakinya untuk menyerang Mustafa. Empat kaki dengan kuku setajam pedang mulai melompat dengan aumannya yang menggelegar.
“Rasakan!”
Mereka melompat tinggi bersama-sama untuk saling menyerang. Dengan kuat Mustafa menusuk salah satu mata singa itu dengan jemari kuatnya.
“Apa kau mau bermain denganku?” ucap Mustafa menaiki tubuh Singa yang terus meronta hingga mencapai punggungnya.
“Rasakan ini! Hah!” Mustafa kembali melompat tinggi, menusuk mata kiri singa yang masih terbuka. “Hah!” teriaknya keras. Sekali lompatan, membuat dia berhasil melakukan itu. Sang raja hutan mengaum keras hingga tergeletak. Mustafa tersenyum menatapnya. Dia menuruni tubuh binatang raksasa yang sangat mustahil dikalahkan.
“Kau sudah kalah. Tapi aku meminta maaf. Kedua matamu itu akan sembuh. Kau akan baik-baik saja.” Senyuman tampannya kembali kaku menatap sesuatu. “Aslan? Apakah itu namamu?” ucapnya mengernyit melihat tulisan di kening singa itu yang kini membalas tatapannya. Luka akibat jemarinya hilang seketika terkena tiupan semilir angin.
“Kau terbangun?”
Mustafa menatap tubuh singa itu meluap bercampur udara menjadi cahaya menyilaukan. Kedua matanya mengernyit tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi begitu cepat. Angin kembali memutar menjadi tornado hebat, namun kali ini semakin mengecil. Angin itu memutar ujung benda berbahan emas yang sangat bercahaya tepat di atas batu hitam pekat berbeda dari sekelilingnya.
“Apa ini?” Mustafa perlahan melangkah mendekatinya. Dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua ini dialaminya dengan mendadak. Jemarinya mulai bergerak, menarik ujung benda yang ternyata sebilah pedang berkilau dengan kilatan petir menyambar keras keluar dari ujungnya.
“Argh!”
Mustafa mengangkatnya ke atas, membuat pedang itu semakin bercahaya. Hutan yang semula gelap, kini menjadi seterang matahari.
Zivana semakin tidak percaya melihat kilauan cahaya menjurus langit dari kejauhan. “Prajurit, kita akan menyusulnya!” teriaknya membuat kuda yang ditungganginya berlari kencang. Semua prajurit menyusulnya. Mereka masuk ke dalam inti hutan untuk melihat fenomena yang barusan terjadi.
“Tidak mungkin.” Zivana membelalakkan kedua mata tidak percaya Mustafa dengan gagah membawa pedang legenda. Perlahan dia menuruni kuda masih menyorotkan pandangan.
“Putri. Ahli ramal mengatakan jika pedang Legenda akan ditemukan hari ini oleh pemiliknya. Sepertinya kita sudah mengetahui kebenaran yang selama ini sangat mustahil. Dia pemiliknya,” ucap Pemimpin Prajurit tidak mendapat respon dari Zivana yang masih termangu.
Zivana terus menatap Mustafa yang kini kembali tersenyum ke arahnya. “Istana akan selamat,” batin Zivana mengarahkan salah satu tangannya ke atas. “Menunduk!” teriaknya membuat puluhan prajurit yang bersamanya menunduk di hadapan Mustafa.
Suara gemuruh semakin menggelegar. Ratusan binatang penghuni hutan keluar untuk menyambut kedatangan sosok yang sudah mereka nantikan. Sang raja hutan kembali hadir dalam bayangan menjadi wujudnya yang normal, ikut menundukkan tubuhnya. Mustafa melotot mengamati semua yang terjadi begitu saja tanpa dia mengerti.
“Kenapa kalian? Aku bukan siapa-siapa?” teriaknya masih tidak membuat mereka mengangkat wajah.
***
Kerajaan yang semula merasakan kemenangan selama dua puluh tahun, kini pertama kalinya merasakan kegelisahan.
“Kenapa ramalan itu benar-benar terjadi?” ucap seorang wanita dengan mahkotanya yang menjulang tinggi. Hatinya bergemetar, mengingat ucapan para ahli ramal. “Kau akan berlutut. Tidak mungkin aku akan melakukan itu. Ini adalah kemenangan yang sudah aku raih. Anakku sudah menjadi Sri Sultan. Dia tidak akan tergantikan. Semua ilmu itu aku pelajari dengan baik,” katanya mencengkeram gelas emas berisi minuman anggur, dan melemparnya. “Hah! Kurang ajar!”
“Prang!”
“Yang Mulia, pedang Azeam telah ditemukan!”
“Apa?”
Kedua matanya melotot tajam. Hatinya sesak. Napas terus tersendat mendengar apa yang tidak dia percaya kini terbukti nyata. Dengan cepat dia mengambil sebilah pedang dari tangan prajurit yang masih menunduk di hadapannya. “Srek!” Napas yang semula sesak kembali tenang saat tangannya berhasil memisahkan kepala prajurit dari tubuhnya karena memberikannya kabar buruk.
“Kenapa kau membunuh seseorang yang berjasa dengan membawa kabar itu?” ucap seseorang menggunakan baju kebesaran panglima tertinggi prajurit masuk ke dalam kamar.
“Carilah dia, bawalah kepalanya kepadaku!” bentaknya sembari mengangkat pedang tepat di leher sosok pria yang mengamatinya dengan tajam.
“Apa yang akan aku dapat setelah memenuhi keinginanmu, Yang Mulia?” ucapnya tersenyum sinis.
“Diriku!”
Mustafa masih saja tidak mengerti. Dia mengamati semua arah. Tidak hanya manusia menunduk di hadapannya. Semua binatang, bahkan pohon dengan batangnya yang kuat ikut menekuk hingga daunnya menyentuh tahan.“Apa ini?” ucapnya sekali lagi.Zivana perlahan mengangkat wajahnya. Mustafa menatapnya tajam. “Kau adalah penyelamat kami,” katanya pelan sembari menganggukkan kepalanya.Mustafa menggeleng keras. “Aku bukan penyelamat siapapun!” tegasnya melempar pedang legenda tepat di hadapan Zivana yang masih memasang tatapan kaku.“Tang!”Dentingan keras terdengar, saat pedang itu terkena kerasnya batu. Sontak membuat tanah bergetar. Mustafa berlari kencang meninggalkan mereka begitu saja. Zivana hanya diam menatapnya. Dia perlahan mengambil pedang yang masih memberikan kilauan cahaya di tanah, sembari menyorotkan pandangan kekaguman.“Aku pikir pedang ini hanya kebohongan mereka untuk me
"Keadaan bumi sangat mengerikan," batinnya dengan napas menderu.Jiwa Mustafa masih mengingat saat terbawa ke masa depan. Dia melihat sesuatu dengan wajah menyeramkan selain konspirasi yang terjadi di kerajaan. Ratusan sosok dengan kedua mata semerah darah menyorotkan cahaya. Salah satu dari mereka dibalut baju zirah yang semuanya telah menjadi merah, duduk di atas kereta kuda bermata putih membawa pedang tengkorak.“Pemberontakan terjadi saat kelahiran Anda, Pangeran. Seseorang merebut tahta yang seharusnya Anda miliki. Jubah Sultan Ali Ayah Pangeran beracun. Sultan meninggal saat menggendong, Anda. Rakyat menjadi menderita dengan pemimpin baru.” Perkataan Trisula semakin membuat Mustafa mengepalkan kedua tangannya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”“Rebut kembali kerajaan. Hadapi mereka yang Anda lihat. Musuh yang sangat menyeramkan. Itulah, lawan Anda yang sebenarnya, Pangeran Mustafa. Mereka akan datang setelah tiga rat
"Aku akan menemuinya."Sosok cantik yang masih terlihat muda berumur empat puluh tahun, menggunakan jubah emas dan mahkota tertinggi bergelar wanita nomor satu di kerajaan, berjalan cepat menuju penjara ruangan bawah tanah dengan pencahayaan obor. Perasaannya bergelud tidak sabar menemui seseorang yang sangat dibencinya.“Bukalah!”Prajurit dengan sigap melakukannya. Kakinya melangkah pelan memasuki ruangan berdebu sangat panas.“Apa yang kau inginkan?” tanya seorang wanita menahan perihnya rantai yang mengikat kaki dan kedua tangannya.“Aku akan tetap memimpin kerajaan ini. Anakku sangat berhak dengan kedudukannya!” teriak Sang Ratu dengan keras.“Kau bisa memenggalku dengan mudah. Kenapa kau tidak melakukannya,” ucap pelan wanita yang masih terikat dengan senyuman sinisnya.“Aku akan membuatmu menderita, saat kau melihat anakmu itu mati di depanmu,” jawab Ratu membuat sang
Sosok wanita berdiri tegak menggunakan mahkota kebanggaannya menjulang tinggi bersama jubah sutra berwarna merah. Di sebelahnya, Sri Sultan Evren anaknya yang kini memimpin kerajaan Zengini. Mereka segera menuju aula kerajaan saat mendengar kabar dari salah satu prajurit jika Mustafa sudah memasuki istana.Masih sambil terikat, Mustafa berjalan masuk ke dalam aula bersama Panglima dan beberapa prajurit.“Menunduk!” teriak Panglima Asmat. Dia adalah pengawal setia Ratu yang sekarang menggantikan Akasma.“Apa? Menunduk kepada siapa?” tanya Mustafa masih saja berdiri tegak. Sebilah pedang terangkat tinggi mengarah tepat di leher Mustafa yang masih sangat santai menerimanya. “Menunduklah,” ucap Asmat dengan pelan namun tegas.“Aku akan menunduk kepada Ratu …” Mustafa menghentikan perkataannya. Dia menginginkan sebuah nama yang keluar dari mulut Ratu sendiri. “Ratu Deriya. Sebut namaku,” jawabn
“Ah!” Aigul terkejut melihat Mustafa berdiri meraih kain yang berada di pinggir kolam. Dia menarik tubuh Aigul hingga berdiri, dengan kedua mata yang memejam. Aigul menarik napas saat Mustafa mendekapnya untuk terus melilitkan kain hingga akhirnya menutup tubuh indahnya. Iris cokelat indah milik Mustafa kini terlihat jelas saat terbuka. Mereka saling berpandangan dalam dekat. Aigul semakin bergetar. Kedua mata hitam miliknya sama sekali tidak berkedip menatap sosok tampan yang masih menyorotkan pandangannya. “Untuk apa menutupnya. Kau pasti sudah melihatnya di dalam air,” ucap Aigul terus menatap Mustafa yang masih diam membalasnya. “Apakah kau buronan?” bisik Aigul membuat Mustafa meliriknya. “Aku menutup kedua mataku. Maafkan aku, Putri Aigul,” balas Mustafa menunduk, melepaskan tangannya yang masih mendekap. Sejenak Mustafa masih menatapnya, hingga dia akhirnya melangkah untuk pergi. “Bukankah seorang laki-laki selalu mengambil kesemp
Rakyat masih saja menyambut kedatangan Mustafa. Mereka bersuka cita merayakannya. Namun tidak dengan beberapa pejabat istana yang menatap mereka dari kejauhan sambil menunggangi kuda berpelana emas. Pejabat yang sangat senang menyiksa rakyat dengan meminta pajak melebihi hasil setiap panen.“Ini sangat buruk. Kita harus melakukan sesuatu,” ucap Kepala Pejabat istana dengan tatapan dinginnya kepada pejabat bawahan lainnya.“Kita bisa memenangkannya. Kekuatan Ratu Deriya sangat hebat,” balas salah satunya.“Kau sangat tahu jika Panglima Asmat saja tidak berani turun sendiri saat menyerang bawah bukit selama bertahun-tahun. Bahkan saat dia memberanikan diri menemui Mustafa, berakhir dengan pelarian.” Kepala Pejabat berusaha menenangkan hatinya. Dia sangat paham jika perkataan Trisula tentang kekalahan Deriya setelah dua puluh tahun, akan segera terjadi.“Kita akan segera membicarakannya.” Kepala Pejabat memutar
Mustafa menarik Aigul menuju kursi, dan mendudukkannya. Dia masih diam tidak berkata apapun. Agha mendekatinya dengan membawa kain panjang bewarna merah yang dia ambil dari sandaran kursi. Kain yang biasa Aigul gunakan untuk menghiasi tubuhnya.“Agha ikat dia,” ucap Mustafa tegas sembari berdiri tegak di hadapan Aigul yang masih menatapnya dengan sedikit senyuman.“Agha, kau menunggu di sini. Jika dia berteriak, bungkam mu--.”“Dia berada di lapangan penggal. Ratu mengetahui rencanamu dari pejabat istana yang melihatmu datang menemui rakyat. Hanya dengan memenggal ibumu, kau pasti akan me-nye-rah.” Aigul mendadak membuat Mustafa menghentikan ucapannya. Kini Aigul semakin berbinar saat sosok idamannya berjalan ke arahnya dan melepaskan ikatan yang sudah dilakukan Agha.“Asal dekat denganmu, aku sudah sangat senang, Mustafa,” bisik Aigul sekali lagi yang masih tidak mendapat tanggapan dari Mustafa.&ldq
Pembebasan akhirnya berhasil dilakukan oleh Mustafa dengan bantuan rakyat, serta Burak bersama tawanan. Mereka sangat hebat melawan semua prajurit Deriya. Satu hal yang membuat Mustafa merasa lega, akhirnya sang ibu terselamatkan.“Akhirnya kau terselamatkan, Ibu,” batinnya terus menatap depan.Aslan masih saja menghentakkan kakinya diatas tanah dengan sangat cepat menyusul rakyat dan semuanya yang sudah berada di pemukiman.Mustafa yang masih berada di atas punggung Aslan, sebenarnya masih merasakan kegelisahan. Dalam perasaannya, dia sangat khawatir jika Deriya mengirimkan semua pasukannya untuk menyerang pemukiman, dan membuat semua rakyat akan kehilangan nyawa.“Aslan, kita harus cepat,” bisiknya sembari mengelus kepala Aslan yang semakin menambah kecepatan berlarinya.Rakyat bersuka cita menyambut kedatangan Mustafa bersama Aslan. Dia menepuk-nepuk Aslan, untuk mengurangi kecepatannya saat sampai di pemukiman. Mustafa s