"Yang ini, Permaisuri. Dia yang akan menggantikan pelayan lama, untuk menjadi pelayan pribadi permaisuri dan Baginda Raja." Hanya anggukan samar, lalu kembali pada posisi semula. Mungkin memang begitulah sikap seorang ningrat pada kasta rendah.
Amarta meremang di tempatnya, tak sabar ingin menggantikan temannya itu untuk bisa bekerja di kamar luas ini. apalagi saat ia sempat beradu pandang dengan wanita yang memiliki derajat paling tinggi di negeri ini.
Mendadak fokus untuk mendengarkan penjelasan Bibi menghilang, tergantikan oleh bayangan pembantaian pada penduduk satu wilayah saat itu. Mendadak pula, amarahnya kembali bergejolak.
Teringat atas kejadian tak manusiawi, yang telah perintahkan oleh sang Raja. Raja ataupun permaisuri, mereka sama saja. Sama-sama pembunuh yang harus dibunuh.
Mereka harus dibunuh!
Mereka harus dibunuh!
"Amarta, kau ini kenapa?"
Deg! Ia tersadar, dan entah sejak kapan kedua tangannya itu mengepal di samping pahanya. Meremas pakaian yang ia kenakan. Saat mendongak, Bibi sudah memicing heran memandang ke arahnya. Ia menggeleng, berusaha menghilangkan pikiran yang bisa saja membuatnya berbahaya.
"Oh, saya? Tidak apa-apa, Bi," Ia menjawab gugup, terlambat menyadari juga, empat temannya tadi telah tak berada di sini lagi.
"Kau mau bekerja, apa malah mau melamun di sini?" Tanya Bibi, membuatnya benar-benar tersadar dari kesalahan fatal. "Temanmu sudah keluar, ayo ikut!"
"Ah, iya, Bibi. Maaf." Tergesa-gesa ia melangkah menyusul Bibi yang berjalan cepat meninggalkan kamar tadi. Yang lain tadi, entah telah pergi kemana.
Hanya saja, Amarta tercengang saat terdengar langkah serentak mendekat kemari. "Tundukkan kepalamu!" Perintah Bibi membungkuk mengajarkan pada Amarta, sementara ia masih bingung ada apa. Karena belum ada siapapun yang muncul di depan mereka, selain suara langkah kaki serentak itu.
"Ada apa, Bi?"
"Dasar, anak bodoh! Cepat tundukkan kepalamu sebelum Baginda Raja lewat di sini!" Bibi membentak, mendorong punggung Amarta untuk menunduk mengikutinya.
"Oh." Terlambat menyadari, marta baru tau saat muncul sosok berbadan tinggi dengan pakaian kebesaran, serta mahkota di atas kepala itu berjalan tegas di depannya. Di belakangnya ada dua orang berseragam lengkap dengan perisai dan tombak di tangan.
Ia menenggelamkan wajah, tak ingin melihat bagaimana rupa sang Raja itu. Bukan takut, hanya saja untuk menjaga amarah yang bisa saja datang menyergap.
"Kau ini, terlalu ceroboh!" Rutuk Bibi memukul kasar pundaknya, jika perempuan lain pasti akan meringis kesakitan dengan pukulan itu. Ia hanya memejamkan mata dan menarik nafas sekilas, bukan merasakan pukulan itu, melainkan kesalahan yang baru saja dilakukan tanpa sengaja.
"Bisa-bisanya meminta menjadi pelayan pribadi Baginda, untuk hal sepele begini saja kau sangat memalukan! Ingat tidak, sudah berapa kali kau lakukan kesalahan sejak berada di istana ini, hah?" Tak hanya Bibi yang menggerutu, Marta pun merutuk dalam hati. Mengumpat pada dirinya sendiri, kenapa bisa bersikap seperti itu.
"Maafkan saya, Bi." Selanjutnya hanya itu yang bisa ia katakan.
"Maaf, maaf. Selalu saja maaf!" Tukas Bibi memang wajar, sebab ia bertanggungjawab atas semua pelayan yang ada di istana ini. Kesalahan apapun yang dilakukan para pelayan, pasti Bibi yang paling pertama mendapatkan teguran.
Kini, merek tiba di dapur luas yang telah riuh oleh puluhan pemasak. Untuk saat ini, ia tak sempat mengagumi semua yang terlihat di dapur. Malah lebih dulu menggenggam tangan Bibi, mengajaknya duduk di pojok ruangan. Marta menampakkan wajah semelas yang ia bisa.
"Bibi. Saya adalah gadis desa biasa, yang belum pernah kenal dengan kehidupan di kota raja. Apalagi di dalam istana seperti ini. Dan saya sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk Kakek yang telah merawat saya, Bibi. Jika kedatangan saya pertama kali dan membuat banyak kesalahan, karena ketidaktahuan saya, apa itu salah?"
Mencari pembenaran, ditatapnya sungguh-sungguh sepasang mata jeli di hadapan. Bibi mendengus memalingkan wajah, ingin menarik kedua tangan yang masih dalam genggaman Marta, tetapi gadis itu malah mengeratkan jemari.
"Bibi, tolong saya. Maafkan atas kesalahan saya tadi." Ia terus mendesak, sampai kapanpun hingga kata maaf terucap tulus dari mulut Bibi.
"Maaf ya, Bi?" Karena belum ada ucapan terdengar dari mulut sang Bibi, marta kembali bertanya. Membuat wanita paruh baya itu kembali mendengus kehabisan cara. Tak menyangka baru kali ini ia dapatkan ada gadis ambisius seperti Marta.
Maka Bibi pun menyerah. "Baiklah."
"Hah, Bibi memaafkan saya?" Marta malah bertanya seperti tak percaya. "Saya benar-benar dimaafkan, Bi?"
"Iya, tapi ada satu syarat."
"Apa itu? Apapun akan saya lakukan, asalkan saya dimaafkan, dan bisa tetap bekerja di sini, Bi."
"Syaratnya adalah, kau harus perbaiki sikapmu itu. Jangan ceroboh, kita ini hidup di lingkungan istana yang penuh dengan aturan, bukan di Desa yang menjalani hidup dengan seenaknya sendiri," Ucap Bibi penuh penekan.
"Iya, Bi. Saya akan berusaha, tapi bibi jangan pernah bosan membimbing saya ya, Bi. Saya ini tidak pernah merasakan hidup dengan orang tua sejak kecil." Marta malah bercurah hati, juga ingin mengambil hati Bibi agar tak lagi menaruh curiga padanya.
"Iya." Hanya itu saja yang Bibi katakan untuk menanggapi ucapan berlebihan dari Marta.
"Ya sudah, sekarang bergabunglah dengan yang lain. Membantu para pemasak itu sampai selesai. Nanti akan ada yang mengomando lagi saat acara memasak telah usai."
"Baik, Bi."
Bibi kembali, Marta berjalan ragu mendekati salah satu rombongan merajang sayur. Dengan sesekali mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Melihat takjub puluhan pemasak yang semuanya adalah pria. Perempuan di sini hanya menyiapkan bahan sayur dan bumbunya.
"Permisi," Ucap Marta mendekati lima orang perempuan yang sedang asyik mengiris sayuran hijau, sambil sesekali berkelakar ala perempuan desa pada umumnya.
"Silahkan, kau pegawai baru, ya?" Tanya salah satu.
"Benar. Kenapa banyak sekali pekerja di sini? Memangnya kita semua memasak untuk berapa orang?" Marta bertanya, mencari tau tentang rasa penasarannya itu.
"Banyak sekali. Semua yang ada di dalam istana ini, kami yang bertugas membuatkan makanan." Marta membulatkan mulut, berusaha memahami penjelasan dari rekan kerjanya.
Cukup lama ia beraktifitas yang sejujurnya membosankan itu, karena biasanya ia hanya akan memasak nasi dan lauk ala kadarnya. Atau hanya memasak singkong dan ubi, untuk makan dirinya bersama kakek tercinta. Di tempat ini, ia benar-benar mengerjakan satu hal dalam waktu yang cukup lama.
Seorang pendekar seperti Srikandi, tentu saja merasa bosan. Bahkan tidak tau sampai di mana perjalanan surya, hanya ketika pekerjaan telah usai, semua diminta kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap di tempat itu lagi.
Bukannya segera mandi seperti instruksi tadi, Marta malah duduk di teras belakang. Ia merasa bebas setelah seperti dikurung selama beberapa jam sebelumnya.
"Marta, kau sudah siap?" Tanya seseorang membuatnya kaget. Ia pikir itu suara Bibi, ternyata salah satu teman sebelah kamar.
"Kami akan kembali ke dapur sekarang. Kau menyusul, atau bagaimana?"
"Ah, iya. Aku menyusul saja." Ia berdiri, mengedarkan pandang ke halaman luas yang kini mulai gelap. Rupanya senja hampir usai, mengirim angin lembut dan awan jingga yang tak lama lagi berubah pekat.
Ini yang Marta tunggu. Bertemu dengan keluarga Raja di acara makan malam nanti. Ia menyusul cepat setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian.
Rupanya semua pekerja tadi makan lebih dulu, sebelum nantinya mengantarkan makanan ke ruang makan yang Marta belum tau dimana. Malam benar-benar tiba, semua yang ada di dapur ini bergerak sesuai perintah.
Beruntung, Marta diminta untuk mengantarkan makanan dan minuman ke ruang makan sang raja. Ia bersama dua orang teman bergegas, melayani meja besar yang hanya ditempati sepasang suami istri.
Marta menuangkan minuman dalam gelas sang Raja, dapat dilihat jelas bagaimana raut wajah itu. Apalagi sesaat tadi sang Raja pun sempat menatap ke arahnya.
"Kau anak baru?"
***
Marta menuangkan minuman dalam gelas sang Raja, dapat dilihat jelas bagaimana raut wajah itu. Apalagi sesaat tadi sang Raja pun sempat menatap ke arahnya. "Kau anak baru?" Suara bariton menggema, memenuhi gendang telinga. Mempercepat gerak jantung, jika tak diredam, bisa dipastikan meledak di tempat ini. Jika hal itu terjadi, ia menanggung malu. Dipecat, dan niat hanya tinggal niat belaka. Maka, sebelum menjawab, nafas berat ia tarik dalam-dalam. "Benar, Baginda." Dengan beberapa tanya berseliweran dalam benak. Kenapa hanya dirinya yang ditanya, padahal ada dua orang teman mondar-mandir di meja itu. Juga anak baru. Mereka tak ditanya, hanya Marta saja. Ia pikir, pertanyaan tadi hanya sekedar basa-basi sewajarnya saja. Namun, netra Baginda rupanya belum beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu bingung hendak mengalihkan kemana. "Kau tinggal di mana? Apa aku pernah mengenalmu?" Tanya sang Raja membuat Marta mendongak seketika. "Maaf, Baginda. Mana mungkin baginda pernah melihat s
Gelas berbahan marmer yang ia bawa dari dapur tadi pecah. Berserakan di bawah meja. Belum sempat ia menutup gerakannya, Marta lebih dulu kaget. Nafas kacaunya makin kacau karena kedua tangan menutup mulut ternganga."Marta, apa yang terjadi?" Suara dari depan pintu kamar, membuat Marta tercengang seketika. Ia bingung, antara membuka pintu yang tergedor keras atau mengambil serpihan marmer di depan kakinya."Marta, apa yang terjadi? Buka pintunya!" Suara bibi kembali menggelegar di depan pintu, jika Marta tak segera membukanya, bisa dipastikan teman-teman sebelah kamar akan berhamburan keluar."Iya, Bibi. Sebentar," Ia ikut berteriak, mendekati pintu dan membukanya. Mendapati wajah Bibi yang menatap garang kepadanya, manik matanya bergerak-gerak penuh selidik."Ada apa, Bi?" Tanya Marta seolah tak terjadi apapun, ia menghalangi tengah pintu agar Bibi itu tak menerobos masuk ke kamarnya."Apa yang terjadi, saya tadi mendengar ada benda pecah dari kamarmu?" Tanya Bibi kian penasaran, Mar
"Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa. "Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran. Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia. "Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa. "Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, kar
"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. "Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. "Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas. Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. "Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. "Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bi
"Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit.""Memangnya kenapa kalau dia tertarik?""Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa.""Maksudmu?" Sang teman bertanya heran, mungkin belum paham tentang maksud panglima yang hingga kini masih menatap sosok pelayan. "Semoga saja ini hanya pikiranku sendiri." Panglima menggeleng. Pria itu sebenarnya curiga, tetapi belum berani untuk menyimpulkan apapun. "Kau curiga padanya?""Yah, tapi aku belum mendapatkan kepastian. Biar aku nanti bicara langsung dengan baginda. Mengusulkan padanya agar pelayan pribadi ditambah.""Ah, kau ini ada-ada saja. Masa menaruh curiga dengan seorang pelayan perempuan. Kalau dia memang bukan pelayan biasa, apa maksudnya pula? Benar, kan?" Yang satu menimpali. Panglima mengangguk membenarkan. "Kau benar. Tetapi jangan salah, posisi seperti baginda dan permaisuri itu banyak yang menginginkan. Banyak pula orang-orang di luar sana yang iri dengan mereka.""
"Apa mungkin rombongan pemberontak itu mengirimkan mata-mata dan membunuh istri saya?" Gumam Baginda hanya dengan menatap nanar hidangan di atas meja. "Apa Baginda tidak menaruh curiga pada salah satu orang dalam istana ini?" Panglima angkat bicara, membuat semua yang duduk di depan meja itu mendongak heran. Pun dengan Marta yang duduk tak jauh dari mereka. "Curiga? Apa maksudmu, panglima?" Tanya Baginda tentu saja, lelah dengan tugas sebagai petinggi negara, pria berumur itu mungkin tak sempat menaruh rasa curiga pada siapapun dalam istana. Yang ada dalam benaknya selama ini adalah rumor tentang sisa rombongan pemberontak waktu itu, kini masih bertahan dan semakin menghimpun kekuatan. Negeri ini sedang dalam ancaman, itulah yang selama ini Baginda pikirkan. Tak hanya Baginda yang menaruh heran pada pertanyaan Panglima tadi, tetapi semua yang ada di tempat itu. Mereka menatap penuh tanya. Sementara Panglima menggeleng samar, dalam hati pun ikut meredam rasa curiga tanpa dasar i
Bahkan menunggui saat Marta meracik teh pesanan baginda. "Ada apa, Panglima? Apa anda memesan teh juga?" Tanya Marta berniat mencairkan suasana. Namun pria itu memberikan jawab menusuk. "Aku hanya sedang memastikan, kau tak memberikan sesuatu pada minuman itu.""Ah, panglima ini. Ada-ada saja," Ucap Marta mengerling genit yang dibuat-buat. Ia bahkan hendak menyentuh lengan berotot panglima yang tercetak dari balik baju panjang. Namun, saat belum tiba tangan itu, panglima telah menyingkir sambil mendengus kesal. "Kau ini licik, juga pandai merayu laki-laki!" Desis pria itu menatap jijik. Bukannya tak nyaman dengan kalimat ketus itu, Marta justru terkekeh tak habis pikir. Dalam hatinya mengatakan, pandai juga orang ini membaca gerak-gerik orang lain. "Benarkan, coba Anda pikirkan. Kalau aku yang bertindak atas semua ini, apa tujuanku, hm? Seorang gadis Desa yang tak punya apapun dan dukungan dari manapun di tempat ini.""Lagipula, kenapa anda curiga sekali padaku? Apa anda punya bukt
Setelah melayani sang Raja sejak sore tadi, kini saatnya Marta duduk seorang diri di teras belakang. Menikmati semilir angin malam, yang kadang mengharuskannya memeluk diri. "Kau sendirian saja di sini?" Seseorang bertanya, membuat Marta menoleh kaget. Apalagi saat menemukan sosok berdiri tegak di depan dengan jarak beberapa meter, seorang pria yang menolongnya pagi itu di pasar. "Kau, di sini?" Gumamnya seraya bangkit dari duduk, ia mengerjap saat pria yang katanya memiliki nama bagas itu mendekat. "Kenapa bisa di sini?" Belum mendapatkan jawaban, Marta mencecar pria itu karena rasa penasarannya. "Ceritanya panjang," Ucap bagas menyusul Marta duduk di sebelahnya. Pria berwajah tampan itu terlihat semakin rupawan saat berbicara sambil tersenyum. "Tapi yang jelas, saat ini aku juga mendapatkan pekerjaan di sini. Jadi, kita bisa bisa bertemu setiap hari." Bagas mengerling nakal, sementara Marta menyipit heran. Ia berdecak, tetapi rasa penasaran mendorongnya kembali bertanya. "Kau be