Kaila tak tahan dengan tatapan penuh penilaian yang mengintimidasinya. Sebelumnya, dia memiliki seseorang yang berada di pihaknya yaitu ibu Vier. Tapi sekarang semuanya berubah. Ibu Vier tidak mempercayainya.“Kaila.” Panggilan itu menyadarkan Kaila dari lamunannya. Kepala yang tadinya menunduk itu kini mendongak pelan. Ada ketakutan yang tampak di matanya. “Katakan sebenarnya!” titah ibu Vier tak sabar. “Bicaralah agar semua masalah segera terselesaikan.” Kaila tidak bisa lagi mengelak tentang semua bukti yang sudah dimunculkan oleh Via dan Violet. Ketika menatap Violet, kebenciannya mencapai puncaknya. Tapi bagi Violet, itu bukan apa-apa. “Tante, aku minta maaf.” Akhirnya Kaila berbicara. “Sebenarnya, ini aku lakukan untuk menjebak Violet. Aku yang dendam dengannya sehingga aku ingin menghancurkannya.” Kaila menatap ibu Vier dengan mata memerah. Dia sedang mati-matian menahan air matanya. “Aku hanya ingin Vier.”“Dan menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.” Vier menyahut c
Saat Violet berdiri tepat di depan Kaila, senyumannya semakin manis. “Aku tidak melakukan banyak hal kepadamu bukan berarti aku memiliki hati yang baik dengan membiarkan kamu berbuat sesukamu terhadap tubuhku.” Nada suara Violet rendah tapi setiap kata yang dikeluarkan hanyalah ancaman dan ancaman. “Apa yang kamu lakukan barusan kepadaku adalah hal yang memancing iblis di dalam diriku keluar.” Dengan gerakan secepat kilat, Violet menarik rambut Kaila dari tempatnya berdiri. Tangan Violet seperti menempel di rambut Kaila karena ketika Kaila berteriak kesakitan. Violet seperti patung yang tidak bergerak sedikitpun, tidak juga mengurangi tarikannya di rambut Kaila.“Violet, kamu benar-benar brengsek. Aku tidak akan membiarkan kamu hidup dengan tenang. Aku akan melaporkanmu ke polisi.”“Lakukan saja!” Violet dengan jawabannya yang tenang. “Lakukan apa pun yang kamu inginkan, dan aku akan melakukan hal yang sama.” Violet terus menarik rambut Kaila sampai Kaila memohon untuk meminta dil
Vier tidak bisa menahan dirinya untuk khawatir ketika tidak mendapati Violet di apartemen. Perempuan itu tidak menerima panggilan teleponnya. Nomor Violet masih aktif tapi sangat terlihat jika perempuan itu mengabaikan Vier. “Violet, kamu di mana?” gumam Vier sambil berjalan ke sana-kemari di dalam ruang tamu unit Violet. “Aku nggak mau karena masalah ini kamu meninggalkanku!” lanjutnya pada keheningan yang merayap. Vier tidak tenang. Tidak sama sekali. Dia menunggu Violet datang tapi tak kunjung datang saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Di dalam pikiran Vier, mungkinkah Violet menginap di rumah orang tuanya? Saat dia keluar dari unit dan masih berdiri untuk beberapa saat di depan pintu, suara langkah kaki membuat Vier menoleh. Hatinya dipenuhi oleh rasa lega yang luar biasa. Violet belum menyadari keberadaan Vier di sana karena dia terus menunduk saat berjalan.“Sayang!” Panggilan itu segera membuat Violet sadar. Kepalanya mendongak dan ada senyum kecil tampak di b
Vier menatap langit-langit kamarnya dan terus mengingat ucapan ibunya yang mengejutkan. Semudah itukah perubahan pikiran ibunya tentang Violet? Vier bukannya tidak percaya dengan semua yang baru saja didengar, tapi dia masih ragu. Bagaimana kalau tiba-tiba ibunya tidak sungguh-sungguh dengan perubahan yang ditunjukkan? Namun semua hal itu harus dibuktikan dengan kedatangan Violet ke rumahnya. Tapi untuk sekarang, dia tak bisa meminta Violet untuk datang sampai satu minggu ke depan karena kesepakatan sudah disetujui. Keesokan harinya ketika dia baru saja sampai di ruangannya, hembusan nafasnya berat. Biasanya, saat pagi hari seperti ini dia akan bertemu dengan Violet sebelum mereka bekerja. “Pagi, Pak.” Sekretarisnya masuk dengan membawa tumpukan map. “Ini dokumen dari Ibu Violet yang harus Bapak periksa.” Vier merasa semakin lelah melihat dokumen-dokumen itu di atas mejanya. “Apa ada meeting hari ini?” tanya Vier setelahnya. “Kalau ada, tolong kamu cancel dulu untuk dua hari ke d
Violet sedang berjalan dengan langkah pasti ketika memasuki gedung kantornya. Kantor dalam keadaan hening karena semua orang tengah bekerja. Alih-alih pergi ke ruangannya, Violet memilih ke ruangan Vier. Namun saat dia baru saja sampai di depan meja sekretaris, dia berhenti. “Bapak ada di dalam?” tanyanya. Sekretaris itu berdiri dan menjawab dengan sopan, “Ada, Bu. Tapi ada seorang tamu,” katanya.“Siapa?” “Dia seorang lelaki. Ini pertama kalinya saya melihatnya.” Violet mencoba mencerna dan bertanya pada dirinya sendiri siapa kira-kira orang tersebut. Karena ruangan Vier yang besar, dia tak bisa mendengarkan apa pun yang dibicarakan dari dalam sana. “Apa menurut kamu mereka sedang membicarakan pekerjaan?” “Tidak, Bu. Orang itu datang tanpa membuat janji terlebih dulu. Dia bernama Devan.” ‘Kenapa tidak mengatakannya dari tadi?’ batin Violet, namun dia hanya mengangguk dengan santai sebelum membuka pintu Vier dan mengejutkan dua orang di dalamnya. Vier dan Devan menoleh bersama
Violet sedang berjalan dengan langkah pasti ketika memasuki gedung kantornya. Kantor dalam keadaan hening karena semua orang tengah bekerja. Alih-alih pergi ke ruangannya, Violet memilih ke ruangan Vier. Namun saat dia baru saja sampai di depan meja sekretaris, dia berhenti. “Bapak ada di dalam?” tanyanya. Sekretaris itu berdiri dan menjawab dengan sopan, “Ada, Bu. Tapi ada seorang tamu,” katanya. “Siapa?” “Dia seorang lelaki. Ini pertama kalinya saya melihatnya.” Violet mencoba mencerna dan bertanya pada dirinya sendiri siapa kira-kira orang tersebut. Karena ruangan Vier yang besar, dia tak bisa mendengarkan apa pun yang dibicarakan dari dalam sana. “Apa menurut kamu mereka sedang membicarakan pekerjaan?” “Tidak, Bu. Orang itu datang tanpa membuat janji terlebih dulu. Dia bernama Devan.” ‘Kenapa tidak mengatakannya dari tadi?’ batin Violet, namun dia hanya mengangguk dengan santai sebelum membuka pintu Vier dan mengejutkan dua orang di dalamnya. Vier dan Devan menoleh
Suasana di dalam mobil Vier terasa hening. Tidak ada dari dua orang yang ada di dalamnya membuka mulutnya untuk berbicara. Violet menikmati pemandangan di luar mobil sedangkan Vier sedang fokus menyetir. Lampu merah menyala dan Vier menghentikan mobilnya. Lelaki itu menoleh ke arah Violet dan kemudian bertanya, “Kamu masih capek?” Tangan Vier mengelus puncak kepala Violet dengan lembut membuat Violet menoleh ke arah Vier. Perempuan itu menggeleng. “Nggak.” Jawaban itu cukup singkat. Setelah mereka menghabiskan waktu di ruangan Vier, Vier mengatakan tentang permintaan ibunya yang ingin bertemu dengan Violet. Namun dia sama sekali tak menjelaskan apa pun tentang hal tersebut. Maka Violet tidak menolak ketika Vier memintanya untuk pergi ke rumahnya. Gugupkah Violet? Tentu saja ada sedikit perasaan seperti itu. Tapi itu tak banyak. Hanya sedikit yang dirasakan di dalam hatinya. Setengah jam kemudian, mereka sampai dan keduanya keluar dari mobil untuk masuk ke dalam rumah Vier. “
Habis gelap terbitlah terang. Itulah kata pepatah. Setelah semua hal buruk yang terus menyerang hubungan Vier dan Violet, maka kini mereka mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara. Setelah pertemuan itu, Vier mengantarkan Violet ke apartemen dan senyumnya tidak luntur dari bibirnya. Dia bahagia dengan perubahan ibunya yang tidak tanggung-tanggung. Meskipun belum ada interaksi yang begitu besar antara keduanya, tapi tentu saja, dengan mereka saling berbicara tanpa ada ucapan sinis satu sama lain adalah awal yang baik. “Aku kalau nikah sama Abang, aku nggak mau ada acara besar-besaran. Cukup dengan orang-orang khusus seperti keluarga dan teman baik.” Vier yang sedang meminum kopi yang baru saja dibuatkan oleh Violet itu tersedak mendengar ucapan Violet. Namun si pelaku hanya menoleh dengan ekspresi aneh sebelum menepuk punggung Vier dengan lembut.“Kenapa nggak hati-hati?” katanya dengan lembut. “Sakit nggak?” Butuh waktu beberapa waktu untuk meredam batuknya dan panas yang menjalar