Share

2. Gosip Bi Irah

Dadaku perih melihat senyuman sebelah ibu yang tampak jelas diwajahnya. Itu seperti isyarat yang terang jika ibu bahagia di atas penderitaanku.

"Sampai kapanpun, kau tak akan bisa mengalahkan posisi ibu di hati Reihan, Alina!" Ibu seolah berkata begitu dengan bahasa tubuhnya padaku.

Harga diriku rasanya benar-benar terhempas di hadapan ibu. Pertahananku untuk berdiri tegar rasanya runtuh setiap kali Mas Reihan membentakku dan menghinaku di depan ibu.

Setelah puas meluapkan amarahnya padaku, Mas Reihan kembali ke kamarnya, melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Melihat anaknya telah menghilang dari hadapan, ibu buru-buru menurunkan Raisa dan bersikap kembali acuh meskipun Raisa merengek masih ingin di gendong olehnya.

"Nenek harus pergi! Ada pengajian. Raisa jangan rewel! Pusing nenek denger kamu nangis terus. Kasian papa kamu tidurnya keganggu."

Aku buru-buru meraih anakku dan memeluknya. Mataku kembali mengembun, menyaksikan keinginan anakku untuk memeluk neneknya ditolak terang-terangan di depan mataku.

"Cukup ibu membenciku saja. Tolong jangan benci Raisa!" keluhku dalam hati. "Meski terlahir dari rahim wanita yang ibu benci, dia cucu pertama ibu. Darah daging Mas Reihan, anak kesayangan ibu!"

* * *

Hidupku di rumah ibu mertua begitu tertekan. Awal-awal sebelum menikah, aku yang memang tidak bekerja selalu dihadapkan dengan setumpuk pekerjaan rumah yang semuanya di bebankan padaku. Beruntung, suamiku yang akhirnya melihatku kelelahan mengurus rumah sendirian juga Raisa yang masih bayi akhirnya meminta Bi Irah kembali bekerja di rumah ibu setelah ibu memintanya berhenti sebab sudah ada aku yang menghandle urusan beres-beres rumah.

"Ngapain kamu suruh Bi Irah kerja di rumah ini lagi? Kan udah ada Alina! Sayang tahu uangnya Reihan, mending kamu tabung daripada buat gaji pembantu."

Aku yang mendengarnya hanya bisa tertunduk sedih. "Ya Allah, ibu menganggapku sebagai pengganti Bi Irah selama ini?"

"Kasian Alina sampai sakit, bu! Dia kelelahan ngurus Raisa sendirian."

Aku sangat berterima kasih pada Mas Reihan karena telah membelaku di hadapan ibu.

Ibu lalu menghentakkan kakinya dan beranjak meninggalkan kami dengan wajah kesal. Bahkan berhari-hari ibu mendiamkan Mas Reihan hingga aku menangis saat mendengar penuturan jujur Mas Reihan jika ibu marah padanya, tak sudi jika dirinya lebih berpihak padaku dengan membelaku.

"Astaghfirullah! Ibu kekanak-kanakkan sekali." aku hanya bisa beristighfar dalam hati.

Setelah kejadian itu, Mas Reihan tak pernah membelaku lagi di hadapan ibu.

"Kak, tolong setrikain bajuku! Aku buru-buru mau ngampus! Bi Irah lagi bantuin ibu masak!"

Aku menatapnya kesal dan tidak menjawabnya. "Tidak lihat apa, Ren! Raisa lagi nangis? Kamu kan bisa setrika bajumu sendiri!" tolakku sedikit kesal.

Rena langsung menghentakkan kakiknya dengan wajah jutek.

Aku yang masih kerepotan menenangkan Raisa yang tengah rewel, rasanya ingin meledak saat ibu yang tengah bercelemek datang bersama Rena dan menegurku. Rena pasti membumbui ucapannya saat mengadu pada ibu.

"Alina! Kamu semenjak ada Bi Irah jadi manja banget. Sudah berasa jadi tuan putri sekarang? Gak mau bantuin ibu masak, gak mau beres-beres rumah, juga gak mau bantuin adikmu yang cuma minta tolong sedikit!" tuduh ibu dengan sinis. Mata melototnya sudah tampak seperti hendak menelanku.

Aku yang sudah lelah efek begadang semalaman karena Raisa terus rewel, rasanya semakin terbakar emosi. Daripada aku kelepasan berkata kasar, aku berusaha menarik napas agar tetap diam.

Kulihat bibir Rena terangkat sebelah dengan jelas.

"Lagian tuh Raisa perasaan rewel terus, sih!" sinis Rena.

"Lah, ibunya aja yang gak becus momong anak! Ibu aja dulu punya anak dua gak pakai pembantu masih bisa urus rumah dan yang lainnya. Ini yang kerjaannya di rumah cuma urus anak sambil ongkang-ongkang kaki, nenangin anaknya nangis aja gak bisa!" sinis ibu sambil mendelik tajam.

"Iya ya, bu! Parah banget! Kak Lina emang tuan putri, Bu. Putri Lilin!" sindirnya sambil terkikik meremehkan. "Kerjaannya cuma sibuk ngurus anak sendiri sama dirinya sendiri."

Aku mendelik kesal, buru-buru pergi menghindari mereka sambil menggendong Raisa yang masih saja menangis.

Semenjak sering di bentak oleh Mas Reihan dan diceramahi ibu mertua, hidupku rasanya bertambah stress setelah mengurus Raisa yang sering rewel sendirian. Mentalku rasanya melemah hingga kehilangan kemampuan untuk membalas sikap kasar mereka semua terhadapku meskipun sangat ingin melakukannya.

"Ya Allah, aku hanya bisa mengadu kepadamu!"

Setelah rumah sepi. Aku yang sudah lapar dari tadi akhirnya berani keluar kamar setelah memastikan ibu dan Rena pergi.

Aku membuka tudung saji dan bersyukur masih ada dua potong tempe goreng dan  sepotong tahu yang tersisa untukku. Aku buru-buru mengambil nasi dalam jumlah banyak untuk kumakan lagi nanti.

Sikap ketus ibu padaku selalu membuatku tak nyaman bahkan untuk pergi ke dapur mengambil sepiring nasi pun aku selalu merasa tak enak hati apalagi saat ada ibu di dapur.

"Loh, Mbak Alina baru mau sarapan?" tanya Bi Irah mengagetkanku. Dia tampak habis menjemur pakaian dengan membawa keranjang pakaian yang telah kosong.

"Iya, Bi! Raisa baru saja tidur. Aku baru sempat mau makan." ucapku sambil tersenyum.

Bi Irah tiba-tiba menggenggam tanganku yang tampak bergetar setelah memindahkan tempe dan tahu ke piring nasiku.

"Sabar ya, mbak!" hiburnya tiba-tiba, membuat air mataku seketika tumpah.

Bi Irah lalu bergegas membuka pintu lemari rak piring dan membawa sekotak tupperware yang terbungkus keresek hitam dengan rapi.

Aku bingung melihatnya saat Bi Irah membukakannya untukku dan menyendokkan tiga potong daging rendang ke piringku.

"Bibi tak sengaja mendengar ucapan Bu Haji Romlah saat memberitahu Non Rena rendangnya disembunyikan dan berpesan jangan sampai Mbak Alin tahu."

Aku tersenyum miris, "Aku tahu, bi! Ibu sering menyembunyikan makanan enak dariku. Tapi aku juga tak berani menyentuhnya jika ibu tak ridho aku menyantapnya!"

"Ya Allah, Mbak Alin!" Bi irah mengusap matanya yang tampak basah. "Mbak Alin kan bagian dari keluarga ini, tentu yang ada di rumah ini, Mbak Alin berhak. Apalagi yang membiayai dapur ini tetap mengepul adalah Mas Reihan, suami Mbak Alina. Andai Mas Reihan tahu, ibunya memperlakukan mbak seperti ini, dia pasti tak terima, mbak..."

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Bi Irah tidak tahu saja bagaimana suamiku bersikap kepadaku. Meski ibunya yang salah, Mas Reihan akan tetap membelanya dan melimpahkan kesalahan padaku.

"Dan andai ibu Mbak Alina tahu bagaimana besannya memperlakukan mbak....." ucap Bi Irah menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku menangis mendengar nama ibu disebut. Seketika terbayang wajah ibu yang teduh yang selalu lembut dan memanjakanku.

"Dia kan guru ngaji ya, bu! Kok gitu amat sih, kelakuannya!" gosip Bi Irah.

Aku hanya tersenyum mendengarnya, "Hush, tak baik, Bi, menggosipkan orang!"

"Bukan gosip, bu! Ini fakta!" timpalnya ikutan kesal.

"Itu berarti ghibah, bi! Nanti amal kebaikan bibi di tukar tambah sama keburukuan ibu, loh!"

"Ih, amit-amit, Gusti! Gak mau bibi nanggung dosa berat nyakitin hati menantunya!" ucap Bi Irah spontan membuatku tersenyum, sedikit terhibur.

"Ya sudah, jangan, bi! Biarkan saja! Allah tidak tidur, biarkan Allah yang membalasnya."

"Ya Alloh, mbak! Hati mbak terbuat dari apa, sih? beruntung banget Mas Reihan punya istri sebaik dan sesabar mbak yang bisa tahan menghadapi mertua macam nenek sihir!"

Aku tertawa mendengarnya. "Bibi belum tahu saja keburukan aku yang banyak mengeluh!" jawabku merendah.

"Ekhem!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status