Setibanya di hotel, Namira langsung beristirahat. Dikarenakan Namira sendiri yang perempuan, dia mendapat akses untuk tidur sendirian di satu kamar. Sedangkan enam rekan lainnya tidur di dua kamar, masing-masing berisi tiga dan dua orang. Awalnya Regi menawarkan dirinya untuk menemani Namira. Namun Namira menolak dengan alasan dia tidak apa-apa sendirian. Ya mana mungkin Namira tidur satu kamar dengan lelaki lain sedangkan dirinya sudah punya suami. Terlebih lagi Regi menaruh rasa pada dirinya, membuat Namira takut untuk terlalu dekat dengan laki-laki itu.Usai beberes dan membersihkan diri, Namira keluar dari kamar. Ada agenda makan siang bersama sebelum meeting dan akan diakhiri dengan kunjungan ke salah satu pabrik yang ada di kota tersebut. Mereka juga berencana mengunjungi rumah wali kota untuk membicarakan lahan kosong di pinggiran hutan. Katanya lagi, mereka tidak akan berlama-lama di kota ini. Hanya satu Minggu. Jelas itu berita baik. Dalam waktu dekat dia akan kembali bertemu
Ada dua pasien yang akan Juna tangani saat ini. Karena hal itu, Juna meminta Zahira untuk menunggu dirinya di dalam kamar yang terdapat di ruangannya. Gadis itu diminta untuk beristirahat di sana hingga Juna selesai menangani kedua pasiennya. Namun sayangnya, anak itu tidak mau menurut. Zahira malah kabur dan berakhir ngacir ke kantin, main di pos satpam, lalu entah kesurupan apa malah main lari-lari bersama seorang anak kecil di taman. Dari tempatnya Juna masih memperhatikan. Melihat bagaimana lepasnya tawa gadis malang yang katanya tak punya umur panjang itu. Tidak sepenuhnya dapat dipercaya, tapi penyakit gadis itu memang sudah sangat berbahaya."Anak nakal," gumam Juna seraya menggelengkan kepalanya. Nanti sakitnya kumat, Juna juga yang repot. Juna tidak masalah direpotkan, tapi kasian Zahira jika sakitnya semakin menjadi. Tiba-tiba benda di saku Juna bergetar. Laki-laki itu tersentak, sedikit kaget. Lalu meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelvon di siang bolong ini. Senyu
"Kamu ngapain manjat pohon? Nggak ada kerjaan banget," omel Juna yang tengah mengobati luka di lutut Zahira. Tidak parah, hanya saja lutut, siku dan betis gadis itu tergores.Zahira mencebikkan bibirnya. Lalu meringis kala Juna menempelkan kapas beralkohol di lukanya. "Aduh, pelan-pelan pak dokter. Sakit."Juna menghela nafasnya sembari menggelengkan kepalanya tak habis fikir. Benar kan dugaannya, anak bandel ini memang akan merepotkan Juna. "Kalau main tuh nggak usah pakai acara manjat pohon segala. Biar apa kamu begitu?""Ya tadi kan ada kupu-kupu. Cantik. Pengen ngambil, tapi malah kepleset," ujar Zahira dengan nada sedih. Mukanya juga tampak cemberut.Juna tertawa pelan. Setelah mengobati luka di lutut, siku dan betis gadis itu, Juna bangkit dari posisi berlututnya. Sudut bibirnya tertarik bersamaan dengan tangan yang bergerak mengusap surai legam Zahira. "Lain kali nggak usah ngelakuin hal aneh. Cukup duduk aja, nggak usah banyak tingkah."Zahira memajukan bibir bawahnya, kesal d
Seperti yang telah Juna rencakan, usai menangani pasien terakhir, dia akan segera pulang ke rumah. Dia berencana untuk memasak makanan yang direkomendasikan Namira lalu di dokumentasikan untuk di krim pada perempuan tersebut. Namun tampaknya rencana itu gagal duluan sebab Zahira mengajaknya untuk datang ke acara Kalina. Ya, tadi pagi Zahira juga sempat mengajak. Juna menyanggupi jika ada waktu. Dan ternyata, dia punya banyak waktu luang. Ingin Juna tolak, tapi tak enak.Kini mereka berada di dalam mobil. Sedang melaju menuju rumah Juna. Sebelum ke rumah Kalina, Juna ingin bersih-bersih dan ganti baju. Kenapa harus membawa Zahira? Karena Juna tak mungkin meninggalkan gadis itu di rumah sakit atau mengantarkannya pulang. Akan membuang lebih banyak waktu dan lebih menguras tenaga. Lagipula Zahira tidak masalah jika harus ke rumah Juna lebih dulu.Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil Juna berhenti di halaman rumahnya. Tidak ada siapa-siapa. Sepi. Tukang kebunnya tidak datang karena pul
Juna tau apa yang terjadi pada tubuhnya. Juna tau apa penyebab tubuhnya menjadi tidak karuan seperti ini. Minuman yang dia minum mengandung zat tertentu. Zat yang membuat Juna bergerak untuk melakukan hal yang berada diluar kendalinya. Juna mengumpat pelan. Pikirannya langsung tertuju pada Kalina. Sejak awal, perempuan itu sudah terlihat mencurigakan. Seharusnya Juna tak mengiyakan ajakan makan malam yang ditawarkan Kalina. Apa motifnya melakukan hal itu? Mereka tak saling kenal, tak akan Kalina punya dendam terhadap dirinya.Dari luar, terdengar suara Zahira dibarengi gedoran pintu. Terdengar panik dan cemas. Mungkin saja gadis itu akan menangis kalau Juna tak menyahuti."Kamu tunggu di sana saja!" teriak Juna. Mengizinkan Zahira masuk sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri. Kini Juna fokus mengendalikan dirinya, mencari cara bagaimana suhu tubuhnya kembali turun. Namun nyatanya tidak semudah itu. Tubuh Juna benar-benar tidak bisa dikendalikan. Bahkan kesadarannya hampir hil
Juna membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih. Mengedarkan pandangan, Juna melihat dua laki-laki berbincang di dekat pintu kamar yang tertutup. Melihat ke sebelah, Juna tidak menemukan siapapun di sana. Sebelumnya Juna sudah berfikir bahwa disebelahnya ada Zahira. Namun beruntung, di ranjang ini hanya ada dirinya sendiri. Tubuh Juna sudah agak mendingan. Dia sudah tak selemas tadi. Rasa gelisah yang sempat menguasai dirinya juga telah hilang. Tubuh Juna telah kembali normal. Lantas, dia segera bangkit dari posisi tidur. Juna menyadari bahwa tubuhnya tidak ditutupi apapun. Hanya dilindungi selimut yang kini menutupi tubuh bagian bawahnya. Juna menggeram. Gila juga yang orang-orang ini. Bisa-bisa mereka melepas pakaian Juna.Juna melihat ke sekelilingnya. Celana dan kemejanya terletak di lantai, berada tak jauh dari ranjang. Dengan segera Juna meraihnya. Memakai pakaian itu dengan gerakan cepat. Beruntungnya, dua pria itu tak menyadari bahwa
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian malam itu. Sudah tiga hari pula Juna tidak datang ke rumah sakit dan bertemu Zahira. Dia memberi kabar pada pihak rumah sakit bahwa dirinya sakit dan akan libur selama seminggu ke depan. Padahal nyatanya, Juna baik-baik saja. Dia hanya tidak ingin bertemu dengan Zahira. Entah mengapa, Juna jadi malas berurusan dengan gadis itu. Kejadian malam itu benar-benar membuat Juna marah. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika dia betulan melakukan hal buruk itu. Bahkan saat ini Juna sudah tak punya muka untuk bertemu Namira. Dia benar-benar merasa berdosa. Saat ini Juna mengurung dirinya. Dia tidak menerima pesan dari siapapun karena ponselnya sudah tiga hari dibiarkan mati. Juna ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu. Juna ingin melupakan kejadian buruk itu."Kapan pulang, Mir? Gue butuh lo," bisik Juna menatap sarapan buatannya yang tak kunjung disentuh. Juna meletakkan kembali sendok garpu di genggamannya di meja. Kemudian dia beranjak
Hilangnya kabar Juna membuat Namira kehilangan semangat untuk terus melanjutkan pekerjaannya. Ingin pulang saja rasanya agar tau bagaimana keadaan suaminya itu. Hampir setiap malam Namira menangis sembari mencoba menghubungi nomor Juna. Meski tau hasilnya sama, Namira tetap berusaha. Tak biasanya pria itu hilang kabar seperti ini. Apa yang telah terjadi pada Juna? Apakah dia baik-baik saja? Namira telah menghubungi kedua orang tuanya, menanyakan kabar Juna pada mereka. Namun mereka juga tak tau sebab kedua orang tua Namira sedang tak berada di rumah. Ayahnya ada pekerjaan di luar kota dan mama ikut menemani. Alhasil, mereka tidak tau menau bagaimana kondisi rumah.Tapi mama telah meminta salah satu anak buah papa untuk mendatangi rumah Juna. Mengecek kondisi pria itu. Sebab mama tidak bisa menghubungi nomor ponsel Juna. Ayahnya juga telah menghubungi Gamandi dan semoga saja mertuanya itu membawa kabar baik mengenai putranya."Ayo, Mir. Kita jalan sekarang," ucap Regi yang tiba-tiba m