Gamandi hanya singgah sebentar, tapi perkataan yang keluar dari mulutnya menetap lama di kepala Juna. Hingga pagi ini, Juna belum menemukan maksud dari ucapan yang keluar dari mulut Gamandi. Meninggalkan Namira bila Juna tak mencintainya? Omongan seperti apa itu? Justru Juna akan berusaha mencintainya, bagaimanapun caranya. Pernikahan bukan hanya sekedar pernikahan yang bisa diputus seenaknya. Bagi Juna, pernikahan adalah sakral. Sekali menikah, ya, jaga pernikahan itu hingga maut yang mengakhiri pernikahan mereka. Juna tidak ingin mengulangi janji sakral untuk kesekian kalinya. Cukup satu kali untuk selamanya.Hari ini Juna masih dalam masa cuti. Tidak ke rumah sakit dan sepertinya tidak ada kegiatan yang membuatnya berbaur dengan manusia luar. Namun untuk tetap berada di rumah dari pagi hingga malam juga akan membuatnya bosan. Juna bukan tipikal manusia yang suka berdiam diri. Minimal harus main ke luar rumah untuk beberapa jam atau melakukan kegiatan yang membuat anggota tubuh dan
"Wah, ketemu lagi kita, pak dokter."Perdebatan Juna dan Sky terhenti kala suara seorang gadis menengahi. Juna yang sudah sangat kenal dengan suara itu hanya bisa menghela nafas lelah. Kenapa mendadak hidupnya jadi tidak tenang? Kepalanya seakan ingin pecah mengahadapi manusia yang mendadak datang mengganggu.Sky mengalihkan pandangannya dari wajah Juna menjadi menatap seorang gadis yang berdiri tak jauh dari meja mereka. Dia tidak sendirian. Ada seorang perempuan dewasa dengan dandanan macam tante-tante yang berdiri memegangi nampan berisi roti dan minuman."Gue bukan dokter," ucapnya membalas ucapan Zahira."Bukan Om, tapi pak dokter Juna," jelasnya menunjuk Juna yang masih enggan menatap.Sky menaikkan salah satu alisnya. Kemudian menatap Juna yang ternyata juga menatap dirinya. Seketika senyum miring terbit di bibir Sky. "Pak dokter," ujarnya dengan nada meledek."Permisi, boleh kami gabung di sini?" tanya Kalina karena mereka tak kunjung dipersilahkan duduk."Bol--""Kenapa harus
Hari ini tidak banyak yang Namira kerjakan. Usai mendata luas lahan yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik selanjutnya, dia dan timnya segera kembali ke hotel. Kali ini tidak ada agenda mampir sebab mereka sudah terlalu lelah. Sinar matahari cukup terik, membuat mereka cepat lelah ketika berada di bahwa sinar matahari. Bagusnya tidur di lantai kamar. Lagipula ini adalah tugas terakhir mereka. Dan sepertinya Namira akan segera pulang, lebih cepat dari perkiraannya. Sore menjelang dengan cepat. Namira usai beberes dan mandi. Pilihan terakhir adalah menyaksikan sunset dari balkon kamarnya. Ditemani secangkir kopi dan roti isi kelapa pemberian Regi. Langit yang indah mengingatkan Namira pada Juna yang belum dia hubungi sejak panggilan telvon tadi pagi. Jujur saja, Namira bosan berhubungan melalui ponsel. Topik yang dibahas ketika menelvon tidaklah menarik. Lebih garing dan tidak asik. Namira memang bukan manusia yang bisa LDR. Sulit baginya untuk mempertahankan suatu hubungannya ji
Juna memutuskan untuk mengakhiri masa cutinya yang belum genap satu Minggu. Sebetulnya tinggal satu hari karena hari ini adalah hari keenam dia meliburkan diri dengan alasan sakit. Juna merasa bosan berada di rumah. Dia rindu aroma rumah sakit, rekan-rekannya dan pasien yang tersenyum manis di pagi hari. Juna benci dengan aktivitas monoton yang dia lakukan. Mandi, makan, gym, maraton anime, melamun dan begitu seterusnya. Sangat membosankan.Maka dari itu, pagi ini, Juna telah berada di ruangannya. Duduk menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi sembari memejamkan mata. Tadinya dia ingin menelvon Namira, tapi tidak jadi karena takut mengganggu. Mana tau dia sedang sarapan bersama timnya atau meeting. Lagipula ini masih terlalu pagi untuk mengganggu. Alhasil Juna hanya mengirimkan sebait kata yang berisi ucapan selamat pagi dan aktivitas apa yang akan dia lakukan. Pesannya belum di balas karena masih ditandai dengan centang satu."Wah, dokter Juna udah sehat. Kok nggak ngasih kabar kala
Regi dan Namira betulan jalan-jalan. Hanya berdua karena yang lain tidak mau ikut dengan beragam alasan. Namira juga tidak masalah. Toh dia dan Regi saja sudah cukup. Namira juga tidak perlu takut karena tempat yang mereka kunjungi tak jauh dari hotel. Tujuan utama mereka adalah ke pantai. Katanya Regi ingin merasai kembali bagaimana sensasi kala telapak kaki bertemu dengan pasir pantai. Sebab katanya dia sudah lama sekali tidak bermain ke pantai. Sebetulnya Namira juga telah lama tidak mengunjungi tempat dengan deburan ombak menenangkan itu. Terakhir kali ketika menemani Sky bermain papan selancar dan setelah sudah tidak lagi. Bukan karena takut teringat dengan kenangannya dan Sky, melainkan karena tak punya teman untuk berkunjung ke pantai."Enak juga ya ke pantai waktu pagi," ucap Namira. Keduanya berjalan menyusuri tepi pantai. "Iya kan. Pada umumnya orang-orang lebih suka main ke pantai pas sore biar sekalian ngeliat sunset," balas Regi.Namira tersenyum menanggapi. "Habis ini
Semenjak kejadian itu, Zahira tak lagi mau ke rumah sakit. Obat yang dulu diberikan Juna juga tak lagi dia konsumsi. Seperti remaja yang baru saja diputuskan kekasihnya, seperti itulah Zahira sekarang. Mengurung diri di kamar, tidak mau minum obat, tidak mau makan dan tidak pernah menghiraukan ucapan Kalina. Untung saja dia punya banyak stok sabar. Hingga suatu ketika, Kalina tidak lagi bisa menghadapi Zahira. Juna sialan itu membuat semuanya semakin rumit. Kekanakan sekali. Zahira sedang sakit dan dia dengan seenaknya menyerahkan Zahira pada dokter lain. Dasar manusia tidak bertanggung jawab. Kalina telah memberitahukan perihal Zahira pada kakaknya dan katanya dia akan mencoba menghubungi Juna, menanyakan dengan baik-baik kenapa dia berhenti menjadi dokter Zahira. Namun sayangnya Kalina tidak sesabar itu menunggu kabar dari kakaknya. Zahira sedang sakit parah. Nyawanya bisa melayang hanya karena permasalahan tidak jelas itu. Dari kemarin, Zahira tidak keluar kamar dan tidak mau maka
Setibanya di rumah, Namira langsung mengistirahatkan tubuhnya di kamar. Dia benar-benar lelah, baik hati maupun pikiran. Kejadian buruk ketika berada di pantai masih menghantui kepalanya. Tanpa sadar Namira memukul-mukul kepalanya, berharap ingatan buruk itu hilang dari kepalanya.Juna yang melihat keanehan istrinya hanya bisa mengerutkan dahi heran. Apa yang terjadi dengan Namira? Selama berada di mobil, perempuan itu banyak diam. Setibanya di rumah, masih murung dan malah memukuli kepalanya. Juna ingin bertanya tapi urung. Dia ingin Namira bercerita dengan sendirinya.Meninggalkan Namira yang masih menyalahkan dirinya, Juna beranjak menuju dapur. Membuatkan teh hangat dan roti bakar untuk Namira. Sehabis dari bandara mereka tidak mampir ke manapun. Mereka langsung pulang. Alhasil, mereka harus sarapan di rumah. Kebetulan tadi pagi Juna hanya minum segelas kopi susu.Hari ini Juna memutuskan untuk tidak ke rumah sakit. Lagi-lagi mengambil cuti. Dia ingin menemani Namira dan mendengar
Juna membawa Namira yang menangis untuk beristirahat di kamar. Berbaring di ranjang, lalu tubuhnya Juna tutupi dengan selimut. Ada jejak air mata di pipinya yang kemudian Juna usap menggunakan ibu jarinya. Namira pasti sangat lelah sehingga membuat emosinya tidak terkontrol seperti tadi. Juna maklum. Namira kerap bercerita bahwa hampir setiap hari dia turun ke lapangan dan bergulat dengan sinar matahari, lalu kemudian di malam harinya harus memeluk diri agar tidak kedinginan. Hal itu bisa jadi penyebab dari labilnya emosi Namira. Setelah memastikan Namira beristirahat dengan baik, Juna melangkah meninggalkan kamar. Dia tidak ingin banyak bertanya. Tunggu Namira pulih dari lelahnya dan tunggu Namira untuk bercerita dengan sendirinya. Jujur, Juna penasaran dengan maksud dari kalimat yang keluar dari mulut perempuan itu. Meski nyatanya kalimat itu terucap tanpa sadar karena efek dari rasa lelah, Juna yakin ada sesuatu yang membuat kalimat seperti itu terucap dari mulutnya. Pasti ada yan