Tok ... tok ....
Seorang lelaki berjalan masuk ke dalam kamar Derren. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah masam rekannya, Daniel, yang terlihat sangat cemas sampai ke taraf gelisah. Sementara lelaki yang ia tahu adalah suami Nona mereka, Marsha, juga memasang wajah tegang nan cemas.“Duduk jika sudah datang.” Daniel menatap garang. “Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan ini agar bisa memastikan keadaan Nona.”Baron mengangguk dan segera masuk ke dalam ruangan itu. Suasana menegangkan yang mencengkeram membuatnya ikut merasa tegang. Bahkan ia tak bisa duduk dengan nyaman melihat raut wajah dua orang di depannya.“Maaf sudah meminta pihak kalian datang ke sini. Padahal aku yang meminta tolong. Harusnya aku yang datang ke perusahaan kalian.” Derren berucap dengan sopan.Baron hanya diam. Ia sibuk dengan laptop dan tugas yang di berikan Daniel padanya.“Sudahlah, Tuan. Saya yang meminta anggota saya datang karena Anda se“Marsha ... Marsha ... kau baik-baik saja?” Gama menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mencari suara Marsha yang tak terdengar selama beberapa saat setelah suara hantaman keras terdengar. Yang bisa di dengar Gama dan Lea yang masih terjaga saat itu adalah suara memekik Marsha yang kesakitan. Setelah itu guncangan hebat terus terjadi di tempat mereka. Bahkan suara deru air laut yang semakin jelas. “Mereka pasti membawa kita ke tengah laut, kan?” Lea mulai kembali dengan pemikiran negatifnya. Sementara Gama hanya bisa diam dan pasrah. Rasa khawatir akan Marsha membuatnya hampir gila. Namun tetap tak ada yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Gama, kau tak dengar aku??” Lea berteriak frustrasi. Ia juga ketakutan. Namun keheningan yang melanda ini membuat mentalnya semakin terombang-ambing. “Aku mendengarmu.” Gama menghela napas kasar dan mulai berusaha bergerak ke samping—tempat posisi Marsha berada sebelumnya. “Coba cari benda yang bisa kita
Marsha .... Marsha .... Sampai kapan kamu menutup matamu? Gama terlihat kalut. Ia menangis sambil memeluk Marsha dengan erat. Sementara dua dokter yang mengupayakan pertolongan pertama untungnya. Napas Marsha masih teras, namun sangat lemah. Mereka membutuhkan peralatan yang lebih memadai untuk menolongnya. Namun mereka sudah terimpit dalam situasi yang tak memungkinkan. “Kita harus segera keluar dari tempat ini.” Gama menatap Syam yang berusaha kuat untuk membantu Lea. Mereka akan terus melakukan CPR. Setidaknya sampai kesadaran Marsha mulai pulih. “Dokter Syam ....” Gama menatap tegas. “Aku akan menyusup masuk ke atas—helikopter itu, harusku jarah!” Syam terdiam beberapa saat. Sesekali ia melihat wajah Gama yang terlihat serius, namun ia tak memiliki waktu untuk melakukan diskusi lebih lanjut—bahkan sekedar mengkhawatirkannya, Syam tak memiliki waktu. “Jika kamu bisa mengatasinya, aku tak akan membuatm
“Semuanya akan baik-baik saja. Jangan terlalu memikirkannya ... keadaanmu juga belum sepenuhnya pulih.” Syam hanya mengangguk. Melihat banyak dari rekan kerjanya yang menunjukkan kepedulian padanya, membuat Syam sadar jika masalah yang menimpa mereka memang masuk dalam kategori besar. Rumah sakit Zahara memiliki banyak saingan, namun tak pernah ada kejadian seekstrem ini selama bertahun-tahun. “Pihak atas juga sudah membuat tim penyelidikan khusus untuk mengali masalah ini.” Tomo menghela napas kasar. Kini lelaki itu tampak lebih tulus memperlihatkan kekhawatirannya. Ya, ini pasti karena masalah yang di ikut campuri Marsha beberapa hari yang lalu. Tomo jelas tahu antara siapa orang yang benar-benar melindunginya dan orang yang melindunginya hanya untuk memanfaatkan dirinya. “Semoga saja.” Syam menghela napas lelah. Ia mengalihkan pandangannya pada Lea dan Gama yang tertidur di ranjang sisi kanannya. “Entah sampai kapan mere
“Tidak ... Marsha!” Lea terduduk di bawah ranjang besi yang di tempati Marsha. Kain putih yang menutup sampai ke leher Marsha membuat tangis Lea semakin kencang. Dadanya sesak, padahal ia pernah membayangkan dengan senang kematian Marsha. Dengan begitu ia akan bisa memiliki Derren, namun apa yang terjadi? Dadanya sakit sampai membuat kepalanya terasa mau pecah. Ia marah. Sakit hati dan sedih. Tiga rasa yang hanya bisa di rasakan saat seseorang kehilangan orang yang ‘di pedulikan’ lalu, apakah selama ini Lea memedulikan Marsha? ... harusnya tidak, kan? Mereka hanya rival. “Sejak kapan ia seperti ini?” Lea menatap wajah Derren dan Syam yang melihatnya di ambang pintu masuk kamar mayat tersebut. Penampilan kacau Lea membuat kedua lelaki itu tak sampai hati memberitahu tanggal kematian Marsha. “Katakan!” Lea berteriak lantang. Ia marah karena mereka tak segera memberi tahu hal yang ia inginkan. Apa karena ia tak berhak tahu
“Siapa yang bertugas memandikan Dokter Marsha?” Valerie menatap beberapa perawat yang menunduk dalam—sedih mengingat Marsha tak ada bersama dengan mereka lagi. Hati Valerie berat. Sudah 24 jam Marsha dinyatakan meninggal dunia. Namun sampai sekarang tak ada seorang pun yang tega memandikan dan menyiapkan peti matinya. Mengusap wajah kasar, Valerie tak akan meminta rekan kerjanya untuk melakukannya. Kali ini, dengan tekat bulat, ia akan melakukannya sendiri. Valerie mendekati ruang mayat. Semakin dekat dengan ruangan itu kakinya semakin gemetar dan tekatnya semakin pudar. “Aku tak bisa melakukannya.” Valerie berjongkok. Dia menangis dan menunduk dalam menahan isak tangisnya. Namun tak lama setelah itu ia bangun dari posisi dan masuk ke dalam ruang mayat. Dia membuka tempat penyimpanan mayat Marsha dan mengeluarkannya. Tubuhnya gemetar. Ia tak siap untuk benar-benar merelakan Marsha. Namun Tuhan seakan menjawab doan
“Di mana Marsha? Ia baik-baik saja, kan?” tanya Lea, begitu melihat Derren dan Daniel duduk di depan pintu tempat Marsha mendapat perawatan intensif. “Di dalam. Keadaannya semakin membaik dari sejam yang lalu. Kau tak perlu khawatir.” Derren menjelaskan. Matanya yang sembab dan sayu terlihat lega—senyum lembut pun terpatri di wajahnya. “Valeri menghela napas kasar. Ia terus melihat ke arah Syam yang mengomeli Lea karena terluka setelah memaksa keluar dengan percaya diri. “Kamu tidak berniat menghentikan omelan itu, Dokter Syam? Pasien yang sedang kamu omeli akan meledak jika kamu menambah durasi omelan kamu barang setengah jam saja,” celetuk Valerie, sekedar memperingatkan. Namun Syam malah berdecap alih-alih mendengarkan nasehatnya. Sementara Lea yang muak hanya bisa bergumam, mengeluarkan sumpah serapah yang membuat orang yang di hardik tepat di depan wajahnya semakin mengomelinya. “Valerie,” panggil Zahra dengan napas me
“Kau kira aku bercanda?” Marsha melipat kedua tangannya. Dia menatap tiga orang lelaki di depannya dengan sinis. “Kalau kamu tahu benda ini bisa melubang kepalamu, bagaimana kalau kamu singkirkan tangan itu dari pundak temanku?” Lelaki itu segera mengangkat tangan dan menjaga jarak beberapa langkah. Ia tak berani dekat dengan Marsha atau wanita incaran rencana busuk mereka. “Kalau sudah tidak ada yang mau di kataka atau di bicarakan, bisakah kalian bertiga keluar?” Sirena tersenyum iblis. “Wajah kalian yang jelek membuatku sangat tidak berselera.” Ketiga lelaki itu terlihat kesal dengan perkataan Marsha. Namun ketakutan dalam diri mereka lebih menonjol. “Ba-baiklah. Maafkan kami!” Setelah mengucapkan itu, ketiganya segera keluar meninggalkan ruangan kelas Marsha. Lea menghela napas lega. Tampaknya ia benar-benar tak suka dengan ketiga lelaki itu sampai membuatnya tegang selama ketiganya ada di dekat mereka. “Kamu
Gama menatap Marsha yang tertidur pulas dengan berbagai macam alat bantu. Banyak selang yang di pasang para dokter untuk mengetahui kestabilan tubuhnya. “Ia akan segera pulih.” Orlando mendorong Derren memasuki kamar Marsha. Mereka bertiga menggunakan pakaian pelindung sebelum masuk ruang isolasi. “Maaf.” Gama merasa bersalah karena tak bisa melindungi Marsha dengan baik. “Andai saja anak buahmu tidak datang tepat waktu, mungkin setelah aku menyebabkan kecelakaan helikopter, kami tak akan bisa selamat. Dan aku ... adalah orang yang akan menjadi tersangka pembunuhan mereka.” Gama tak berani menatap Derren. Ia hanya menggenggam erat tangan Marsha dan berharap gadis itu segera bangun. “Sudahlah. Wanita itu juga sudah pernah sadar sekali. Ia akan baik-baik saja. Kamu tahu Marsha adalah orang yang kuat. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Derren berusaha mengembalikan semangat Gama. Namun nyatanya itu akan tetap sulit selama M