Part 20
Pagi ini aku sudah kembali memulai aktivitas bekerja, sama seperti enam tahun yang lalu. Setelah kemarin aku membuka semua kecurangan-kecurangan yang dilakukan Om Alex dan Om Bagas beserta para kroni-kroninya. Kemarin itu juga, aku memerintahkan Ibu Dipta sebagai kepala HRD kantor pusat yang sebelumnya di masa Om Alex dipindahkan ke bagian umum, untuk memecat orang-orang yang terlibat kecurangan di dalam Group Niskala ini, dan khusus Om Alex dan Om Bagas, aku sendiri yang menandatangani surat-surat pemecatannya.
Setiap perbuatan ada balasannya, dan mereka semua harus bertanggung jawab untuk itu. Semalam pun Tante Sartika menghubungiku, memintaku untuk mempertimbangkan karena Om Alex dan Om Bagas itu masih terhitung kerabat dekat, tetapi dengan berat hati aku tidak bisa mengikuti keinginannya, dan tetap akan terus menempuh proses hukum dengan beberapa alasan yang juga sudah kujelaskan kepadanya. Alhamdulillah Tante Sartika dapat mengerti dan memahami. Yang terpe
POV AUTHOR Gerbang besar nan mewah bertralis besi bercat hitam mengkilap menyambut kedatangan mobil yang ditumpangi Risma, Emak, dan Riswan. Sebuah post keamanan berwarna putih tepat berada di balik pintu gerbang tersebut, dan secara sigap petugas penjaga berseragam langsung membuka pintu otomatis dan berdiri memberikan hormat kepada kendaraan yang mereka tumpangi. Berhenti tepat di depan rumah megah bercat putih bergaya Eropa, dengan dihiasi cahaya rembulan tergambar bulat dan gemerlap bintang-bintang, ternyata jauh lebih indah jika di lihat dari jarak sedekat ini.Risma terpana, terlihat bingung untuk menjelaskan betapa bagusnya rumah yang Riswan buatkan untuk keluarga kecilnya. Emak pun sama seperti Risma, terpukau sampai tak sanggup lagi untuk berkata-kata. "Ayuk, Neng. Emak, kita masuk," ajak Riswan, sembari menggenggam tangan Risma erat. "Bang?" Risma bertanya kepada Riswan, tetapi matanya terus menatap ke arah rumah mewah dengan empat tiang
PART 22Rumah Juragan Hasyim mendadak ramai, karena keributan yang melibatkan anak-anak dan menantunya. Kata-kata kasar dan makian terlontar dari pihak-pihak yang bertikai.Juragan Hasyim diam menyaksikan dalam gamang, tubuhnya terasa lemas, dan jantungnya berdetak sangat keras, kepalanya terasa amat sakit, hingga mengakibatkan dia terjatuh pingsan, di sela-sela keributan, dan upaya memisahkan Amran dan Tohir oleh para tetangga dalam sebuah perkelahian.Kali ini keramaian dan kepanikan bertambah dengan jatuh pingsannya Juragan Hasyim. Keributan pun terhenti, dan mereka beramai-ramai membawa tubuh Juragan Hasyim yang pingsan ke puskesmas yang tidak jauh dari kantor kepala desa.Keributan, perang mulut dan adu argumen berpindah tempat ke kantor balai desa. Mereka sibuk saling tuduh dan saling menyalahkan satu sama lain."Ini semua gara-gara Kang Amran, yang serakah dan mau menang sendiri," sindir Ela, di sela-sela sedang menunggu bapaknya di periksa
Mobil yang membawa Risma berhenti di sisi jalan yang biasa dia turun, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki ke rumahnya yang terdahulu dengan ditemani Yuli putri pertamanya dan satu orang bodyguard penjaga. Sementara yang satunya lagi Risma minta untuk menunggu di mobil saja, tidak nyaman dia rasanya jika terlihat berbeda di kampungnya sendiri.Risma pun sudah sampai di rumah sederhananya, rumah yang dibeli Riswan tanpa bantuan siapapun. Rumah yang menuliskan banyak cerita kehidupan antara dia dan Bang Riswan, dari sejak pertama kali berumah tangga hingga hampir berjalan enam tahun.Beberapa tetangga yang melihat kehadirannya mulai mendekat, sebagian mengerumuninya untuk memberikan selamat ataupun ucapan pujian dan kekaguman. Mereka semua tiada menyangka, bahwa suami Risma adalah pemilik dari pabrik sekaligus perkebunan besar di desa mereka."Teh Risma hebat, ternyata Kang Riswan orang kaya," puji Mak Enah, tetangga depan rumah."Iya, yah, itu Kang Riswan
Risma sendiri memang merasakan jika dia terus diperhatikan oleh wanita paruh baya tersebut, dan beberapa saat kemudian wanita itu menghampirinya dengan membawa bakso yang dipesannya, dan duduk tepat di depan Risma, sembari tersenyum ramah. "Neng, ibu numpang makan di sini yah, gak enak jika makan sendirian," ucapnya, meminta ijin. "Boleh Buk, silahkan," jawab Risma, membolehkan. Beberapa saat pembicaraan mulai terjadi antara mereka berdua, percakapan terkesan basa-basi, hanya membicarakan tentang anak dan keluarga. "Neng Risma?" tanya ibu tersebut, yang Risma tahu bernama Saanih, saat ibu itu memperkenalkan diri tadi. "Apa, Bu," jawab Risma. Sambil menyesap es buah miliknya. "Wajah Neng, mirip banget seperti saat ibu muda dulu?" tanyanya, dan Risma tidak menjawab, hanya tersenyum saja. "Ibu mau tanya, tetapi jangan marah ya, Neng," ucap Ibu Saanih. Matanya terus menatap ke wajah Risma dalam. "Orang bertanya kok marah si Buk," j
"Sekarang saya tinggal di Desa Cisauk, jika cerita saya ini benar adanya, temui ibu nanti di sana ya, Neng," pintanya, seperti memohon, dan Risma mengangguk. Dia pun sudah menangis, dadanya mulai terasa sesak.Ibu Saanih lantas ijin pamit terlebih dahulu, isi di dalam mangkok baksonya masih terlihat utuh. Berucap pelan sebelum keluar dari kedai."Wajah Neng Risma benar-benar mirip seperti saat ibu muda dulu." Tersenyum lembut, matanya terlihat memerah, lalu melangkah meninggalkan kedai setelah terlebih dahulu membayar makanan yang dipesannya, termasuk juga membayar bakso milik Risma dan Yuli.Termangu Risma di dalam kedai bakso yang berbentuk ruko dua lantai ini. Memikirkan semua yang sudah diceritakan oleh Ibu Saanih kepadanya. Yah, Wajah Ibu Saanih belum terlalu tua, bahkan terlihat terawat. Sejujurnya dia sendiri mengakui ada kemiripan dengan wajah Ibu Saanih.'Jika benar aku anak dari Ibu Saanih dan mempunyai paras wajah yang hampir serupa, apakah itu
34"Sebentar lagi saya akan menemui tamunya, Bude," jawab Risma."Baik, Bu," jawab Bude Ajeng, lalu meminta ijin untuk undur diri.Risma pun kembali menatap wajah Emak, mata mereka berdua masih tergenang air sebening krista."Sampai kapanpun, bagi Risma, Emak tidak akan pernah terganti," ucapnya, lalu kembali mencium tangan Emak, dan meminta ijin ingin menemui tamunya terlebih dahulu. Risma pun langsung bergegas ke ruang tamu.Seorang wanita berhijab syar'i, berwarna hijau tua terduduk sendiri di sofa, wajahnya putih bersih juga cantik, dan Risma tidak mengenalinya. Wanita itu lalu menoleh ke arah datangnya Risma, lantas langsung berdiri, tersenyum manis kepada Risma."Assalamualaikum," ucap salam dari Maharani."Waalaikum salam," jawab salam dari Risma, wanita bernama Maharani itu lantas memeluk tubuh Risma, menempelkan pipi kiri dan kanan. Risma yang memang tidak terlalu luas pergaulannya, agak sedikit canggung melakukannya. Risma l
Tekanan darah tinggi dan penyumbatan pembuluh darah ke otak, sehingga pasokan nutrisi dan oksigen terganggu, itu yang menyebabkan Pak Hasyim terkena stroke," jelas Dokter Anisa, dokter yang bertugas di Desa Cibungah pada Amran. "Separuh tubuhnya mengalami kelumpuhan. Saran saya sebaiknya pak Hasyim dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota kabupaten, guna menjalani terapi," jelas Dokter Anisa lagi."Jadi, bapak saya mengalami kelumpuhan, Dok?" tanya Amran lagi."Iya, Pak Amran, tetapi hanya separuh tubuhnya, beliau pun nanti akan kesulitan bicara," jelas dokter puskesmas itu lagi."Jika bisa secepatnya ya, pak, dibawa ke rumah sakit besar," pinta dokter Anisa lagi, lalu kembali masuk ke ruang praktek-nya.Dengan dibantu beberapa warga desa, Juragan Hasyim kembali dibawa pulang ke rumah, dan diletakkan di dalam kamarnya. Sebagian warga yang membantu sudah kembali ke rumah masing-masing, dan Amran kebingungan sendiri di ruang tamu. Kabar yang dia terim
Maaf Kang, Samsiah tidak tahu," jawabnya sembari tertunduk, begitupun Ela, mereka memang ada rasa segan kepada Abang mereka yang paling tua tersebut.Pelan-pelan mereka berdua mulai mengganti celana Juragan Hasyim yang basah dengan kain sarung, terlihat ada rasa jijik pada diri mereka saat melakukannya."Dokter bilang apa?" tanya Darman, kepada kedua adiknya."Stroke Kang, ada penyumbatan pembuluh darah pada otak," jelas Ela, sambil berlalu ke kamar mandi belakang untuk membawa celana kotor bapaknya. Setelah memastikan bapak sudah dalam keadaan bersih, Darman lantas menemui adik-adiknya yang masih berkumpul di sebelah kamar bapak, ruang tamu."Dokter bilang apa lagi?" tanya Darman, tetap berdiri, sementara yang lain masih terduduk di karpet."Harus dibawa ke Rumah Sakit besar Kang, buat pengobatan lanjutan dan menjalani terapi," jelas Amran."Terus, kenapa belum dibawa?" tanya Darman lagi."Ini lagi dibicarakan, Kang," ujar Ela, beral