Bab 6.
"Yah kan tidak apa-apa. Setahu akang memang hanya Risma yang suka bantu Emak di dapur," seloroh Kang Darman membelaku. Wajah Ela dan Samsiah terlihat cemberut.
"Risma tidak pernah misah-misahin makanan. Emak sendiri kok yang sengaja bungkusin buat dia dan anak-anaknya," sahut Emak ikut membelaku. "Kasihan 'kan sudah capek-capek masak di dapur," jelas Emak lagi.
"Emak memang selalu beda perlakuan jika dengan Risma," ucap jahat Amran menuduh Emak. Sekarang Emak yang langsung terdiam karena dianggap membedakan anak-anaknya.
"Dengar tuh Sawiyah, jangan suka beda-bedain anak makanya!" sentak Bapak. "Akhirnya malu 'kan diceplosin sama anak."
Paras wajah Emak terlihat sedih, beliau langsung menunduk.
"Sudah-sudah, acara kumpul-kumpul kok malah jadi ribut begini," sela Kang Darman.
Ical yang tadi disuruh memanggil suamiku tiba dan langsung masuk ke rumah.
"Riswannya mana Cal?"
Ical menjawab sembari sedikit terengah-engah, sepertinya dia seperti habis berlari. "Sedang jalan ke mari, Wak. Sebentar lagi juga sampai."
Tidak beberapa lama setelah kedatangan Ical, terdengar salam yang sangat familiar bagiku.
"Assalamualaikum," ucap salam suamiku dari depan pintu sembari menggendong dan menuntun kedua anakku.
Bapak dan ketiga saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan mereka acuh-acuh saja tidak menjawab salam doa dari suamiku, menoleh pun tidak.
"Ayuk Riswan sini makan dulu sama-sama," ajak Kang Darman. Yuli anak pertamaku melepas pegangan tangan ayahnya lantas berlari ke arahku.
Bang Riswan mulai masuk. Baru saja dua langkah mendekati Kang Darman, Bapak kembali bicara.
"Riswan, si Risma 'kan sudah ngebungkus dan misahin makanan buat kamu. Jadi yah tidak usah lagi makan bareng di sini. Minta saja sama si Risma nasi dan lauk yang sudah dia bungkus tadi," sindir Bapak.
Terlihat memerah muka suamiku karena menahan malu. "Baik, Pak," jawab suamiku pelan.
Sementara air mataku mulai mengembang. Sakit dan tidak tega rasanya melihat Ayah dari anak-anakku dihinakan seperti itu.
Kang Darman dan Teh Uni juga kedua anaknya yang juga cucu Bapak terlihat bingung mendengar ucapan kakeknya yang begitu tajam terhadap Bang Riswan.
"Biar sajalah, Pak. Makanan yang tersedia banyak ini," jelas Kang Darman.
"Iya silahkan saja makan jika tidak punya malu," ketus Bapak lagi.
Suamiku hanya menunduk saja, lalu berbelok arah dan duduk disebelahku.
Kang Darman yang sepertinya tidak enak hati karena sudah menawari Bang Riswan makan lantas menyendoki nasi beserta lauk-pauknya buat suamiku.
Bang Riswan mencoba menolak. Mungkin karena malu mendengar ucapan Bapak. Tetapi kakak tertuaku itu tetap memaksa. Bang Riswan akhirnya mengambil nasi yang sudah disodorkan Kang Darman.
"Sudah, makan saja Riswan. Lauk pauk yang sudah dibungkus 'kan bisa buat makan malam nanti," sindir Kang Amran.
"Iya, lagi pula jarang-jarang 'kan bisa makan enak," celetuk Ela. Mereka lalu menertawakan Bang Riswan. Air mataku mengembang. Perih rasanya suamiku direndahkan seperti itu.
Bang Riswan menoleh ke arahku, memandangku dengan tatapan sedih. Lalu berbisik pelan di telingaku. "Percayalah dengan suamimu ini, Neng. Suatu saat mereka akan menerima balasannya karena sudah melukai hatimu. Persiapkan dirimu untuk bersikap tega nanti."
Aku pun menatap wajahnya, ada gurat kegeraman pada tatapan matanya. Aku sendiri pun tidak paham dan tidak mengerti apa maksud perkataannya yang seperti bernada ancaman. Ucapannya sama seperti saat aku baru mengenalnya, terkesan kaku dan tegas. Sudah sangat lama aku tidak mendengar Bang Riswan berbicara semeyakinkan itu.
"Jika mereka tega, aku akan lebih tega, Bang. Bukankah orang sombong harus dibalas juga dengan kesombongan?" bisikku juga pelan ke Bang Riswan.
"Andai roda kehidupan kita berputar ya, Bang," ucapku lagi pelan sembari menghapus bulir bening yang sudah terlanjur terjatuh.
"Maafkan abang, Neng. Ternyata perubahan hidup yang abang jalani malah membuat Eneng menderita," bisiknya lagi.
"Perubahan hidup apa Bang? Memangnya apa yang berubah pada hidup Abang?" tanyaku kembali saling bicara berbisik dengan suamiku.
"Kalau tidak suka, bicara saja langsung. Tidak usah bisik-bisik di belakang," sindir Samsiah pada aku dan Bang Riswan. Bapak, Kang Amran, dan Ela melihat ke arahku dengan penuh kecurigaan.
"Jangan dibiasakan Suudzon, Siah. Biarkan saja mereka saling berbisik. Mereka kan suami istri," tegur Kang Darman.
Samsiah terlihat melengos mendapat teguran dari Kang Darman. Sepertinya dia tidak suka jika Kakak pertama kami itu membelaku terus.
"Tapi tidak pantas, Man. Orang segini banyak malah bicara sembunyi-sembunyi. Tidak ada tata kramanya," sindir Bapak. Sekarang berganti si Samsiah yang tersenyum karena selalu dibela Bapak.
Bang Riswan menggenggam jemariku erat seperti ingin menguatkan. Aku pun membalas genggamannya sebagai pengganti kata jika aku tidak akan meninggalkannya.
Bang Riswan sesuap pun tidak memakan makanan yang diberikan Kang Darman. Nasi beserta lauknya itu disuapkan ke anak-anak kami, Yuli dan Neti. Suamiku itu sepertinya mulai berpikir ulang tentang sikap sabar dan mengalahnya pada keluargaku. Apalagi sekarang suamiku tahu bahwa ada upaya keras dari keluargaku untuk memisahkan dia dengan aku dan anak-anaknya.
Acara makan bersama sudah selesai dilakukan. Lagi-lagi aku dan Emak yang sibuk merapikan bekas makan mereka. Terkadang suka tidak habis pikir tentang sikap Bapak, matanya jelas masih bisa melihat, masih bisa menyaksikan siapa yang paling sibuk jika sedang ada acara di rumah ini. Tetapi selalu hanya Ela dan Samsiah yang dia bela. Sedangkan dengan aku dan keluarga, Bapak terlihat benci sekali. Dan hanya satu alasannya ... dia benci dengan kemiskinan kami.
Seperti suatu rutinitas pasti jika kami sekeluarga besar sedang berkumpul, maka masing-masing dari kami selalu bercerita tentang segala kesibukan pekerjaan.
Diselipi tentang kesuksesan dan apa saja yang mereka miliki. Tohir dan Gufron, suami dari Ela dan Samsiah, bercerita tentang kesibukan mereka sebagai mandor perkebunan di pabrik pengolahan teh modern di desa kami. Juga ambisi mereka untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di pabrik pengolahan teh tempat mereka bekerja.
Kang Amran pun bercerita tentang keuntungan besarnya sebagai penampung limbah pabrik teh tersebut. Juga ambisinya untuk menjadi supplier atau pemasok kertas karton ke PT Teh terbesar di provinsi ini. Dia juga bercerita jika sudah menyogok orang-orang dalam untuk lebih memuluskan rencananya.
Bapak terlihat senang saat mendengarkan cerita mereka semua.
Kang Darman dan putri-putrinya juga menantu-menantunya pun bercerita tentang kesibukan mereka masing-masing. Semuanya berbicara tentang kesuksesan yang sudah mereka peroleh.
"Kesibukan kamu apa Wan sekarang?" tanya Kang Darman pada suamiku.
"Saya Ka--"
"Pengangguran macam dia mana ada cerita yang bisa dibanggakan." sindir Bapak pada suamiku.
___
Bab 7. "Pengangguran macam dia mana ada cerita yang bisa dibanggakan." sindir Bapak pada suamiku. "Tidak boleh begitu Pak," tegur Kang Darman mencoba mengingatkan Bapak. "Tidak boleh mengapa? Memang pada kenyataannya suami si Risma ini pengangguran kok!" sentak Bapak keras. "Walaupun kami miskin dan kekurangan tapi aku dan Bang Riswan tidak pernah merepotkan saudara kok, Kang Darman. Apalagi sampai harus meminta-minta," ujarku menjelaskan. Tidak tahan juga untuk jika tidak ikut bicara. "Belum lihat saja nanti jika anak-anak Teh Risma sakit. Pasti nanti saudara-saudara juga yang diuber-uber buat cari pinjaman," sindir Ela kepadaku. Bahkan ucapannya terdengar seperti sedang menyumpahi anak-anakku. "Insya Allah tidak akan," jawab cepat Bang Riswan. "Alahhh, sombong kau Riswan! Aku sumpahin biar anakmu sakit. Pengen tahu benar tidak nanti ucapanmu!" "Bapakk ...!" Sakit hatiku mendengar ucapan Bapak. Bahkan sakin
Part. 8Pembicaraanku dengan Kang Darman masih saja terus berlanjut. Suasana malam yang hening dengan udaranya yang dingin dan suara jangkrik yang masih sesekali terdengar."Mungkin setiap orang kepinginnya seperti itu Kang, tetapi jika seandainya suamiku hanya sanggup memenuhi kebutuhan utama sesuai standar tanggung jawab seorang suami, aku tidak bisa memaksa untuk meminta lebih." Kupegang tangan Kang Darman, saudara yang paling sayang kepadaku."Aku percaya suamiku pria yang bertanggung jawab, Kang. Dia akan penuhi setiap kebutuhan dasar kami, termasuk jika nanti anak-anakku besar dan butuh biaya yang lebih tinggi. Sekarang ini Bang Riswan hanya sanggup memenuhi kebutuhan sesuai standar hidup, dan itu sudah sesuai dengan tuntunan agama kita, Kang?"Aku tidak mengeluh karena dianggap miskin, tetapi aku tidak terima jika orang miskin dianggap tidak punya harga diri." Tidak terasa air mataku mengembang dan luruh perlahan. Kang Darman merengkuh bahuku, mend
Part 9Jalan utama kampung yang dekat dari rumah Emak terlihat ramai sekali, tidak seperti biasanya, karena ujung jalan ini ada di atas bukit milik perkebunan swasta yang tidak ada apa pun di sana. Terlihat mobil-mobil truck berukuran besar lalu lalang melewati jalan dengan membawa barang-barang material, seperti hendak membuat sebuah bangunan besar.Bukit di ujung jalan desa ini mempunyai pemandangan yang sangat indah. Berhadapan langsung dengan gunung, hamparan bukit teh, dan lembah hijau di bawahnya. Dari rumah Emak pun bukit itu terlihat sangat jelas, dengan banyak orang terlihat kecil dan kendaraan beragam macam. Entah, sedang dibangun apa di sana, berniat menanyakan nanti dengan Emak.Aku datang bersamaan dengan kedatangan dua orang pembawa sembako suruhanku. Emak terlihat terkejut dengan apa yang kubawa. Ini memang boleh dibilang pertama kalinya aku bisa memberikan sesuatu buat beliau. Seandainya saja hidupku lebih mampu, pasti aku akan sering-serin
PART 10Sudah hampir berjalan dua bulan, belum juga kuketahui keberadaan Bang Riswan. Segala doa kupanjatkan kepada Pemilik Kehidupan, untuk meminta perlindungan dan keselamatan di manapun suamiku berada. Menangis di sepertiga malam. Pagi dan petang, berharap semoga suamiku baik-baik saja di manapun dia berada.Sebenarnya, selama tidak ada Bang Riswan aku tidak ada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua bulan ini saja orang-orang kantor dari perkebunan sudah tiga kali datang membawa paket sembako dalam jumlah yang sama seperti saat pertama kali memberi. Dua kali dari orang kantor yang sama, memberikan uang tunai dalam amplop dengan jumlah yang cukup besar, yang aku sendiri belum pernah memegang uang dalam jumlah sebanyak itu.Aku berusaha untuk menolak pemberian uang tersebut dan tidak mau menerima, tetapi orang-orang kantor yg dikirim itu memohon-mohon agar aku mau mengambilnya, takut mereka dipecat jika aku menolaknya.Setiap kali kut
PART 11Kedua putriku Yuli dan Neti sudah terlihat cantik dan lucu. Memakai baju muslim dengan warna yang senada, hijab motif bunga-bunga macam princess muslimah.Gamis terusan berbahan halus berwarna coklat muda dengan ujung lengan melebar, juga hijab hijau tua dari kain yang ku-kreasikan sendiri menjadi pakaian yang kupilih untuk memenuhi undangan dari pabrik pengolahan teh tersebut.Dari dalam jendela rumah sudah terlihat para tetangga dengan pakaian rapih dan bagus mulai berangkat menuju tempat yang sama.Undangan pabrik besar tersebut menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam dua hari terakhir, karena hal ini belum pernah terjadi selama pabrik mulai berdiri di desa ini.Tertulis juga di situ jika setiap kepala keluarga yang hadir akan menerima paket sembako lengkap dan uang akomodasi dari pihak perusahaan. Juga ada sedikit rasa penasaran dari warga yang ingin mengetahui seperti apa dalam pabrik tersebut."sudah siap buat jalan-ja
Part 12"Sebentar lagi ya, Neng," jawab Bang Riswan, saat aku ingin mengajaknya pulang."Tapi, Bang.""Sudah, Neng, abaikan saja."Lampu ruangan seluruh aula lantas dimatikan. Semua lampu lantas menyorot ke atas panggung megah tersebut. Beberapa pria berpakaian seragam safari hitam berbaris dari pintu samping aula hingga sampai ke atas panggung. Pembawa acara mempersilahkan semua undangan yang hadir untuk berdiri. Sepertinya tamu agung yang ditunggu-tunggu sudah hadir di tempat ini.Seperti sebuah pertunjukan besar, lampu utama hanya menyorot ke arah panggung. Sinar handphone yang dinyalakan oleh para tamu undangan macam cahaya ribuan kunang-kunang yang berterbangan.Aku dan Bang Riswan hanya terdiam menyaksikan, kedua anakku menoleh kesana-kemari dengan penuh kekaguman."Hanya orang penghuni hutan, di jaman sekarang yang tidak punya handphone."Walaupun gelap, aku tahu jika itu suara Ela."Kasihan deh, gue." Suara Samsiah
Part 13 "Abang rela kehilangan segalanya, asal abang jangan kehilangan Eneng." Senyum dan tatapan matanya penuh dengan kelembutan. Pria tertampan di muka bumi. "Juga anak-anak kita, kalian bertiga adalah harta abang yang paling berharga," ucapnya lagi, melanjutkan. Anak-anakku, kedua permata hati, hanya memandang sekeliling dengan penuh keheranan. Menyaksikan jika semua pasang mata menatap ke satu arah yang sama, orang yang paling mereka rindukan dan nantikan kehadirannya. Ayah mereka yang berpenampilan sederhana. Awalnya direndahkan dan dihinakan karena apa yang dikenakan, tetapi sekarang semua mata memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Bang Riswan kembali maju ke depan mikrofon. Tatapannya mengelilingi seluruh isi gedung aula. Semua diam, terasa hening, menantikan isi pidatonya lalu suamiku memulai bicara.
POV RISWANPart 14"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu, Emak," ucap istriku Risma yang biasa kupanggil dengan sebutan Eneng sembari mengusap air matanya. Kemudian berbalik meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam.Kesedihan terlihat jelas dari tatap matanya hanya karena membela aku, suami miskinnya.Apakah salah aku memilih diam? Apakah juga salah jika aku terus mengalah? Apakah itu menandakan jika aku sudah tidak lagi memiliki harga diri."Jika semuanya habis mereka injak-injak, apalagi yang harus eneng banggakan sama suami sendiri, Bang."Sembari menemani kedua putriku Yuli dan Neti, memetik cabai dan tomat di depan pekarangan rumah, ucapan istriku selalu terngiang-ngiang.Istriku memang tidak pernah mengeluh tentang kemiskinan kami, hampir selama enam tahun kami membina rumah tangga."Tidak apa-apa eneng dibilang miskin. Tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri!"Menemani kedua ana