Share

7. Dipermalukan

"Cukup mengejutkan. Rupanya di generasi Milenial yang sekarang, masih ada perempuan polos dan selugu Tika. Tapi apa aku perlu berbangga diri karena menjadi yang pertama untuknya?" 

Menahan senyum mengingat bagaimana Tika semalam. Awalnya bersikap malu-malu, tapi pada akhirnya bisa menikmati permainan panasnya. Persis seperti para perempuan terdahulunya, menantang di awal tapi selalu berakhir dengan desahan. 

"Ck. Rasanya aku ingin membawanya kembali ke kamar," ujar Dewa saat memperhatikan Tika dari jarak lumayan jauh. Kendati demikian, ia bisa melihat jelas jika istri kontraknya itu sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan dua lelaki di depannya.

"Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga dia, ya? Pasti selama ini hidupnya sangat membosankan karena setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang berdasi seperti mereka. Dan aku yakin, dia tidak memiliki kebebasan seperti Inez. Sampai akhirnya terlambat menikah, dan terperdaya rayuan Kadal Darat Roland." 

Sebenarnya terselip rasa bersalah di hati Dewa karena tidak bisa menahan diri malam. Alhasil sekarang Tika terlihat sangat menjaga langkahnya.

"Silahkan, Tuan."

Melihat pramusaji wanita sudah selesai menyajikan pesanan untuknya, Dewa segara menangguk dan menjawab, "terima kasih."

Pramusaji itu pun balik menjawab sopan, setelahnya pamit undur diri. Tanpa membuang waktu, Dewa yang memang sudah sangat lapar segera memperbaiki posisi duduknya. Lantas, menyantap sarapan yang sebenarnya sudah terlambat sejak satu jam lalu.

Disela menikmati makanannya, pandangan Dewa sesekali kembali pada Tika. Sehingga tanpa sengaja mata mereka sering bertemu. Berselang kurang dari tiga puluh menit, Dewa sudah menyelesaikan sarapannya. Tapi obrolan di meja sana, belum juga berakhir—masih nampak serius.

"Sebenarnya apa yang mereka bicarakan." Mengangkat singkat gelas minumannya ke udara saat tahu Tika kembali menoleh padanya. 

Walaupun hanya dibalas anggukan oleh perempuan itu, sebelum akhirnya kembali fokus pada dua pria di depannya. Setidaknya Dewa sudah beritikad baik, dengan menawarkan minuman yang sedang ia nikmati pada istri kontrak yang ada di ujung saja.

"Apa aku harus menunggu di sini sampai dia selesai? Mana tahan. Bosanlah," celetuk Dewa seraya mengalihkan pandangan ke luar kaca, dan tiba-tiba saja satu alisnya mendesak naik. Mendapati keramaian yang ada di bangunan seberang jalan.

"Sepertinya di sana ada yang menarik?" 

Cukup penasaran dengan apa yang terjadi di seberang sana, Dewa memutuskan pergi setelah mengetahui rapat Tika sepertinya akan berlangsung lebih lama dari yang ia prediksi. Setelah membayar tagihan, Dewa benar-benar meninggalkan restoran hotel tanpa menoleh lagi ke meja Tika.

'Mau kemana dia? Apa sebelumnya dia sudah pernah datang ke Kota ini?' kata Tika menduga-duga dalam hati, melihat Dewa terus berjalan menuju jalan raya.

"Bagaimana Ibu Cantika? Apa ada pertanyaan lagi?"

Terlalu fokus memperhatikan Dewa, Tika sampai tidak mendengar apa yang disampaikan salah satu pria di depannya.

"Bagaimana Buk? Apa ada pertanyaan lagi?"

Bahkan setelah mengulang dua kali, baru Tika yang tersentak dan buru-buru membenahi posisi duduknya. Kembali menunjukkan raut serius.

"Heem! Maaf. Sepertinya tidak ada lagi pertanyaan dari saya. Tapi kalau ada laporan tambahan kirim aja lewat email. Saya pasti akan secepatnya memberi jawaban agar Tuan-tuan tidak lama menunggu, dan tentunya proyek kita bisa segera dikerjakan." Kedua pria itu pun serentak mengangguk bersamaan. "Saya rasa cukup pertemuan hari ini. Maaf sudah mengganggu waktu libur kalian."

"Tidak masalah Ibu Cantika, mengingat pertemuan ini sangat urgent dan harus segera ditindaklanjuti. Kami akan selalu siap siaga kapan saja jika Ibu inginkan." Tika membalas dengan senyum lebar. Loyalitas kedua pria itu memang tidak diragukan lagi.

"Silahkan."

"Terima kasih." Tika mengangguk sopan saat dipersilahkan lebih untuk meninggalkan tempat pertemuan mereka.

*****

Sementara di depan bangunan satu lantai yang paling ramai dari yang lain, rasa ingin tahu Dewa semakin menggebu. Sebenarnya ada pertunjukan apa di dalam sana, sampai bisa menarik perhatian pengunjung sebanyak itu. Tidak ingin terlewatkan, Dewa menyibak beberapa orang yang berdiri di dekat pintu. Tidak peduli walaupun tindakan tersebut sempat mendapat protes. Yang terpenting rasa ingin tahunya terobati.

Dewa sudah berhasil berada di tengah-tengah ruangan yang lumayan luas. Setelah sempat memperhatikan setiap sudutnya yang terpanjang berbagai ukuran bonsai buatan, pandangan Dewa tertuju pada seorang laki-laki yang tengah serius melengkungkan kawat tembaga anil, dan membentuknya menyerupai batang pohon versi mini. 

Kendati tidak melihat jelas wajah lelaki itu, tapi Dewa ikut terhanyut menyaksikan kepiawaian tangannya yang begitu terampil. Memelintir dengan alat khusus kawat tembaga berukuran satu sampai empat milimeter tersebut, dan sebanyak lingkar lengan orang dewasa untuk dibentuk sesuai keinginan. Terlihat mudah tapi sebenarnya itu membutuhkan keahlian dan ketelitian. 

"Jadi seperti itu proses pembuatannya? Kreatif," gumam Dewa beralih ke arah lain. Saat itulah ia menemukan satu bonsai yang tersimpan di dalam kotak kaca. Entah mengapa dari semua yang terpajang, hanya itu yang paling menarik perhatiannya.

Namun, ketika Dewa dan pengunjung lain masih larut menikmati hasil karya tangan anak manusia. Suara dari arah pintu berhasil menarik perhatian sebagian pengunjung, tak kecuali Dewa.

"Lima puluh juta. Lelang hari ini resmi saya buka."

Merasa sangat familiar dengan suara itu, Dewa memutar kepala ingin memastikan. Seketika itu ia membelalakan mata mengetahui siapa yang sedang berjalan ke arahnya. 'Roland.' Detik berikutkan Dewa mengeraskan rahang. Tahu apa tujuan sebenarnya lelaki itu membuka harga.

"Apa ada yang berani menawar lebih tinggi lagi?" kata Roland penuh percaya diri, setelah berdiri di dekat bonsai yang sempat membuat Dewa kagum.

Kehilangan semangat mengetahui akan terjadi pelelangan harga, Dewa memilih mundur. Ia tidak lagi berminat melihat sesuatu yang menurutnya menjadi sangat membosankan.

"Hei! Anda yang memakai kemeja navy. Kenapa mundur? Apa uang saku Anda tidak cukup untuk mengikuti pelelangan ini?"

Sontak saja, Dewa menghentikan langkahnya menyadari seruan Roland memang ditujukan padanya. Tapi sialnya, Dewa yang langsung menundukan kepala, membuat Roland salah paham.

"Iya, Anda. Kenapa masih dipastikan lagi? Mungkinkah Anda lupa telah memakai pakaian apa tadi?" Mendengar tawa sumbang Roland, Dewa langsung memutar badan ke belakang. 

"Syukurlah … ternyata saya tidak salah mengenali," tambah Roland disertai senyum licik. "Ternyata benar, Anda suami dari seorang Ceo ternama itu. Saya sungguh tidak menyangka, orang seperti Anda mau menyaksikan pembuatan kerajinan tangan di tempat seperti ini. Suatu kehormatan bagi saya selaku pemiliknya." 

Kendati terkejut mengetahui Roland pemilik tempat itu, Dewa cukup tenang dengan memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia tidak boleh terpancing, apalagi sampai terlihat menyedihkan. Meski sebenarnya isi dompetnya menjerit mengenaskan di dalam sana.

"Memangnya ada apa dengan tempat ini, Tuan Roland? Saya bukan orang yang melihat suatu karya hanya dari tempatnya. Sebab, bagi saya hasil akhir merupakan hal terpenting."

"Oh, really? Kalau begitu Anda berani menawar berapa untuk karya kami yang ini, Tuan?"

Sial. Tapi Dewa masih cukup baik mempertahankan ketenangannya.

"Tentu saja uang bukan masalah besar bagi orang seperti Anda, Tuan. Bukankah begitu? Untuk itu, saya sengaja membuka penawaran pertama lima puluh juta, dan penawar tertinggi bisa membawa pulang karya terbaik kami." 

"Baiklah. Seratus juta," ujar Dewa pelan. Tepatnya malas menanggapi permainan Roland. 

"Bagus. Seratus juta pertama. Ada yang lain?"

"Seratus dua puluh lima juta," seru pria lain dari sisi kiri.

Mendengar itu Dewa menyentak punggung. Tiba-tiba mulutnya berubah berat saat akan kembali dibuka. Walaupun masih menampilkan ekspresi tenang, tetapi sebenarnya Dewa sangat ingin melayangkan tinju di wajah tampan Ronald yang terus tersenyum remeh padanya. Lelaki itu sengaja ingin mempermalukan dirinya.

"Seratus lima puluh juta, seru pengunjung lain lagi.

Roland semakin bersemangat. Terlebih mengetahui Dewa berat untuk kembali bersuara. Meyakinkan dugaan Roland jika Dewa mulai kehilangan kepercayaan diri.

"Dua ratus juga!" 

Kali ini mata Dewa terpejam. Pasrah jika akhirnya ia akan dipermalukan di tempat asing. Meski sebenarnya harga dirinya sangat menentang tidak terima 

"Tiga ratus juta!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status