Ayra sibuk menyiapkan sarapan pagi. Rutinitas pagi yang akan ia jalani mulai sekarang.
Tak bisa Ayra pungkiri. Jiwanya lebih tenang sekarang. Setelah memilih akan berdamai dengan segala sakit hatinya. Kini menerima segalanya dengan ikhlas membuat dirinya merasa begitu bahagia."Pagi Ay.""Pagi. Sarapannya masih belum. . . ."Ayra tertegun melihat Azri. Pria itu tampak lebih segar, dan penampilannya lebih rapi dari biasanya. Walau tidak serapi orang mau kerja kantoran."Mas mau kemana?" tanya Ayra.Tak mungkin Azri berpakaian serapi ini tapi ingin di rumah sajakan?Terus tumben sekali Azri sudah bangun sepagi ini. Biasanya pria itu paling cepat bangun jam 8 pagi."Kerja," ujarnya sambil melepas tas ransel lalu menaruhnya di atas meja makan.Pria itu berjalan ke dekatnya yang sedang memasak nasi goreng."Maksudnya mau cari kerja?" tanya Ayra memastikan."Persis. BiDi pagi harinya di halaman rumah tampak ramai orang-orang berbondong-bondong mendatangi rumah.Ayra yang kebingungan, ketakutan, hanya bisa berlindung di balik bapaknya. Sementara itu bapaknya yang kesulitan meredam amarah warga nampak memanggil seseorang lewat telpon.Ibu tirinya menarik Ayra untuk masuk ke dalam rumah. Beliau tampak yakin suaminya bisa menangani masa itu.Ambar memberikan Ayra air putih hangat."Tenangkan diri kamu, Ay."Ayra menggeleng. Ia tak bisa tenang kalau sudah sampai serunyam ini.Ambar meraih jemari Ayra yang gemetaran."Azri hanya ingin melihat kamu bahagia, Ay. Semua ini bukan berarti Azri ingin melihat kamu jadi depresi. Tolong percaya pada Azri. Dia akan pulang saat urusannya selesai.""Bagaimana aku bisa mempertahankan kepercayaan bahwa Azri bukan pembunuh? Aku saja bahkan tidak pernah sekalipun tau siapa dia. Begitu banyak keganjilan yang aku tidak tau persis apa
Rapat darurat akan di adakan dua jam lagi. Dan Azri masih kerepotan menyiapkan berkas-berkas dirinya yang akan masuk dalam rapat darurat ini. Tapi dering telpon menyadarkannya kalau Ayra sedang dalam perjalanan menemuinya. Panggilan sang istri itu menyela pekerjaannya yang padat.Sebelumnya bapak Rahman sudah bilang kalau Ayra akan datang menemuinya. Karena tak ingin melihat Ayra lebih menderita lagi gara-gara kesalah pahaman ini.Mau tak mau dirinya harus relakan semuanya. Padahal Azritak berniat untuk memberitahu Ayra tentang dirinya sedini ini. Tapi ya sudahlah. Ini sudah yang paling baik. Demi kewarasan Ayra juga. Kasian dia sudah cukup tertekan sejak awal.Tapi kedatangan Ayra tidak tepat waktu. Dirinya sedang di rundung banyak pekerjaan. Yang mengharuskannya mengirim orang untuk menjemput Ayra di bandara."Kau bilang istrimu di Bandara?" tanya tamannya.Azri menyahut sambil terus mengerjakan tugasnya."Iya. Tapi sudah kuminta seseorang membawanya ke tempat istirahat.""Jemputla
Bolehkah Ayra merasa kalau ia saat ini terperangkap dalam dunia mimpi?Segalanya yang di luar perkiraan, bahkan hal-hal yang terjadi ini tidak pernah terbayang dalam ekspektasinya.Siapa juga yang bisa berekspektasi tiba-tiba berada di luar negri. Tinggal di hotel mewah bahkan dengan suami yang tiba-tiba penampilannya berubah total."Aku ambilkan makanan ya," ujar Azri setelah mereka duduk di restoran hotel.Ayra mengangguk dengan tatapan yang tidak bisa lepas dari suaminya.Bukan apa-apa. Ia merasa berbeda saja.Dulu Azri selalu berpenampilan sama. Dengan kaos oblong putih lusuh dan celana trening yang warnanya udah buluk. Kalau mau kemana-mana tinggal lapisin aja pakai jaket yang warna birunya aja udah abu-abu mirip kain pel, terus tampilannya kayak gak pernah di cuci berabad-abad.Tapi sekarang, ia seperti melihat orang yang berbeda di tubuh yang sama.Lelaki itu mengenakan kemeja abu-abu dengan kancing yang terbuka di
Azri pernah hidup dalam dunia yang rasanya tak ada lagi tempat yang bisa di huni di dunia ini. Pernah merasa hidup benar-benar hampa.Dikelilingi minuman beralkohol dan rokok yang selalu mengisi hidupnya seperkian detik."Azri. Lupakan perempuan itu. Mau sampai kapan kamu terus mengingat-ingat dia?"Hampir setiap hari kakaknya menasehati Azri. Tangis kakaknya yang melihat ia hampir gila seolah tak bisa masuk dalam akal sehat Azri."Kehidupan kita sudah membaik, Azri. Jangan kamu rusak hanya karena kamu kehilangan perempuan itu. Ada banyak perempuan di dunia ini.""Lisa. . ."Nama perempuan yang sama yang selalu keluar dari mulut Azri."Lisa. . . "Pecah tangis kakaknya karena Azri tak kunjung bisa membenahi hati."Sudahlah. Biarkan sementara Azri. Kita tidak bisa memperbaiki hatinya. Dia akan baik seiring berjalannya waktu."Begitulah Bapak Rahman menasehati istrinya agar tidak memaksa AzriK
Boleh pamer gak sih? Rasanya tangannya sangat gatal mau pamer sama Jesika. Boleh gak sih ia posting? Di story ajalah kalau boleh.Pengen rasanya buat orang iri. Aduh sunggih niat yang non-mulia."Aku ngisi air dulu," ujar Azri.Lelaki itu sejak tadi sibuk mempelajari sambil mengecek kelengkapan mobil. Sementara ia hanya melihat-lihat sambil membayangkan bagaimana kalau Jesika melihat ini.Kepalanya berisi niat buruk yang minta di realisasikan. Tapi Ayra coba menahan. Nanti kena angin apa deh itu yang suka dateng gegara bikin orang ngiri."Oke. Siap. Kita berangkat."Azri datang menghampirinya setelah memastikan semua aman."Kita mau kemana?" tanya Ayra."Ke pedesaan? Biar udaranya sejuk. Biar dingin juga," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.Apa sih maksudnya.Jangan senyum, Ay. Nanti ketahuan ngerti.Ayra memilih ikut duduk di samping Azri yang akan menyetir membawa mobil ini melewati tol menuju pede
Boleh pamer gak sih? Rasanya tangannya sangat gatal mau pamer sama Jesika. Boleh gak sih ia posting? Di story ajalah kalau boleh.Pengen rasanya buat orang iri. Aduh sunggih niat yang non-mulia."Aku ngisi air dulu," ujar Azri.Lelaki itu sejak tadi sibuk mempelajari sambil mengecek kelengkapan mobil. Sementara ia hanya melihat-lihat sambil membayangkan bagaimana kalau Jesika melihat ini.Kepalanya berisi niat buruk yang minta di realisasikan. Tapi Ayra coba menahan. Nanti kena angin apa deh itu yang suka dateng gegara bikin orang ngiri."Oke. Siap. Kita berangkat."Azri datang menghampirinya setelah memastikan semua aman."Kita mau kemana?" tanya Ayra."Ke pedesaan? Biar udaranya sejuk. Biar dingin juga," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.Apa sih maksudnya.Jangan senyum, Ay. Nanti ketahuan ngerti.Ayra memilih ikut duduk di samping Azri yang akan menyetir membawa mobil ini melewati tol menuju pedesaan.Tol bayar lagi ternyata. Keluar uang puluhan juta masih belum cukup karen
Ini hari terakhir mereka sebelum pulang ke tanah air. Dan lagi-lagi di habiskan di bawah air hujan yang deras. Ditemani teh hangat sembari melihat keluar jendela mobil mereka. Ayra hanya mengenakan jaket Azri tanpa memakai apa-apa lagi di dalamnya, duduk bersandar menikmati waktu.Perasaan tengang dan nyaman membuatnya betah berlama-lama melihat keluar.Ia melirik ke samping di mana Azri tengah tertidur pulas.Ayra meletakkan gelasnya dan mendekati Azri. Kecupan kecil ia daratkan di pipi pria itu.Menarik selimut lebih tinggi agar Azri tak kedinginan."Bukan. Aku tidak seperti itu. . . ."Ayra sempat terdiam mendengarkan kata yang keluar dari mulut Azri.Pria ini sepertinya sedang mengigau."Aku tidak membunuhnya begitu. . . ."Deg!Apa kata Azri barusan?Tiba-tiba ia jadi cemas.Keringat memenuhi dahi pria itu. Raut wajah Azri yang tampak tidak tenang membuat Ayra mengguncang tubuhnya.Mata Azri terbuka seutuhnya. Pria itu sepertinya langsung sadar dan menatap pada Ayra."Kenapa, Ay
"Mas!" "Mas Azri!" Ayra memanggil-manggil pria itu sejak tadi tapi tak ada sahutan. Seluruh penjuru rumah sudah ia datangi tapi tak ada pria itu. Satu-satunya tempat cuma kamar sebrang kamar tidur mereka. Ia memberanikan diri membuka pintu itu. Beruntungnya juga tidak di kunci Suasana gelap di dalam sana. Sebuah cahaya berasal dari komputer menarik perhatian Ayra. Apalagi sosoknya yang duduk di hadapan komputer itu. Sudah tentu itu Azri. Ia tertegun melihat Azri yang tampak serius mengerjakan sesuatu. Tampak rumit di mata Ayra. Jemari pria itu berhenti menari di atas keyboardnya kala Ayra berdiri tepat di samping belakang pria itu. Azri menoleh lalu melepas earphonenya turun ke leher. "Ay?" "Maaf aku lancang masuk. Aku cari kamu dari tadi." Azri menarik sebuah kursi di sampingnya mempersilahkan Ayra duduk. "Maaf aku ganggu kamu ya?" "Enggak kok."