“Hah! Enin cerita apa?” Bram terus memutar otak agar eninnya tak bercerita banyak pada siapapun tanpa membuat neneknya ini curiga.
“IH! Orang Enin cuma bilang kamu sering kelelahan aja, gak ngomong yang lain.”
“Benar?!”
“Ya, bener, atuh. Masa Enin bohong. Memangnya kenapa? Takut amat?” Enin kembali melihat keanehan di diri cucunya itu.
“Mmm!” Bram memejamkan matanya berusaha terlihat tenang. “Enin jangan bilang siapa-siapa soal Bram. Bram ini kan artis, ya. Jadi harus hati-hati. Cuma takut kalau ada yang kepo terus bikin hoax,”
“Iya, Enin juga paham. Jangan takut kelewatan gitu. Ujang banyak-banyak istigfar. Enin teh sayang ke Ujang. Masa Enin tega nyebar-nyebarin berita yang bikin Ujang kena masalah,”
Bram tersenyum simpul pada Neneknya dan berusaha menganggap semuanya baik adanya.
“Tapi emang Ujang Cuma kelelahan, kan?”
“Kenapa Enin bilang gitu?” Bram yang baru saja merasa tenang kembali merasa insecure.
“Soalnya namanya artis kan banyak godaannya. Enin cuma gak mau, Ujang teh keperosok ke dunia yang aneh-aneh. Kaya narkoba, ih auzubilah hamidalik nya Jang.”
“Enin,” bisik Bram yang seketika jadi takut nenek yang sangat dia sayangi ini tau kondisinya yang sebenarnya.
“Cucu Enin mah gak mungkin kegoda yang gitu-gitu kan, Jang?”
“Iya atuh, Nin. Cucu Enin mah paling godaannya cewek cantik doang,” kekeh Bram mencoba menutupi rasa bersalahnya.
“Ah! Itu mah turunan dari bapak kamu,” kekeh Enin.
“Sudah kalau sudah turunan ya, Nin”
“Kalau bapakmu pernah salah, kamu ya jangan ikutan salah, Jang”
Bram membalas ucapan neneknya dengan senyuman.
“Udah! Sini Enin doain.” Enin meraih pipi Bram kemudian berbisik di ubun-ubun cucunya. “Bismillah Ya Allah, jauhkan Ujang ganteng ini dari yang jelek-jelek. Enin teh cuma punya Bram sekarang, jadi sing jauh dari musibah, Ya Allah!” Enin meniup ubun-ubun Bram tiga kali, hal yang selalu dia lakukan sejak kecil.
“Aamiin,” sahut Bram dengan tatapan nanar ke arah sang nenek yang duduk di depannya.
“Sudah! Sekarang Ujang sholat. Sholat itu cara kita minta ampunan dan perlindungan dari Allah Subhana wata'ala, Jang. Jadi jangan sampai telat sholat, ya.”
Enin berdiri dari samping tempat tidur lalu melangkah keluar untuk memberikan waktu pada Bram yang akan bersiap menjalankan ibadah sholatnya siang ini.
Meski berat, Bram akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membilas peluh yang belum sempat lepas dari tubuhnya setelah konser semalam yang melelahkan.
Selang sedetik dari doa terdalamnya di kamar mandi tiba-tiba...
Brak!
Brak!Brak!
“Bram!” panggil Enin sambil menggedor pintu kamar mandi. “Keluar, Jang. Enin mau bicara!!”
“Hah! Kenapa dengan Enin?”
“Jang! Keluar, Jang!”
“Ada apa?” tanya Bram lirih sambil menoleh ke arah pintu.
“Buka aja pintunya, Jang!”
Suara panik sang Nenek membuat Bram bergegas. Dia segera membasuh sisa sabun di tubuhnya kemudian mengeringkan tubuhnya.
Tak lama kemudian pria 20 tahun itu sudah keluar dengan wajah bingung sambil berharap tak ada hal buruk yang akan diberitahukan neneknya siang itu.
“Ada apa?” tanya Bram yang rambutnya masih basah.
“Jang, apa benar manager teh namanya Kholil, kan?” tanya Enin dengan wajahnya yang datar.
“Iya, memangnya kenapa?”
Mendengar jawaban cucunya, Enin langsung terduduk lemas di atas lantai rumahnya. “Astagfirullah hal adzim,” bisiknya lalu menatap Bram yang masih berdiri dengan wajahnya yang bingung.
“Enin, ada apa?”
Wanita itu ketika meneteskan air mata dengan tatapan kosong berharap kabar yang baru diterima hanyalah gosip belaka.
“Ada apa?” tanya Bram yang semakin cemas saja lalu meraih bahu sang nenek yang masih belum bisa berkata-kata.
“Enin tadi nonton berita infotainment, katanya yang namanya Kholil ditangkap polisi dengan barang bukti sabu seberat 10 gram yang akan dibagikan,”
Blaz!
Wajah Bram yang pucat semakin pucat saja mendengar apa yang baru saja dikatakan neneknya, “Enin!”
“Dia juga ngaku kalau semua grup band D’Klok pake barang dari dia, berarti kamu juga....”
“Enin!” bisik Bram dengan air mata yang sudah tak bisa lagi dibendung. “Tidak, Nin! Mereka memang pakai, tapi Bram tidak! Percaya sama Bram,”
“Tapi beritanya semua anggota band pake, berarti Ujang juga!”
“Dengar dulu, Nin! Percaya sama Bram!”
“Enin teh nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Cuma kamu, Jang. Kalau seperti ini, terus Enin harus gimana!”
“Nggak, Nin! Enggak! Berapa kali Bram bilang. Bram gak ikutan make!”
“Jang, Bukti sudah jelas. Ada fotonya ujang ada di ruangan itu. Polisi dalam perjalanan kemari. Kamu tau itu artinya apa?”
“Nin!” Bram memeluk neneknya dengan pelukan penuh rasa bersalah, dia terus menangis memohon maaf dari wanita yang sudah membesarkannya itu.
“Kalau polisi sampai datang kemari, jangan sampai Enin lihat kamu naik mobil polisi. Hancur hati Enin, Jang!”
“Tapi mereka belum tentu datang hari ini, Nin. Pasti Bram masih punya waktu untuk kabur,”
Plak!
Tangan Enin yang masih kokoh menampar keras wajah Bram membuat cucunya itu terbelalak karena nya.“Denger, Jang. Enin mengajak kamu untuk apa? Untuk kabur dari tanggung jawab? Nggak, Jang. Enin gak mau kamu kayak bapakmu yang lari dari tanggung jawabnya.”
“Tapi...”
“Kamu harus tanggung jawab. Salah gak salah kamu tetap harus ke kantor polisi untuk bereskan urusanmu disana.”
Bram menghapus air mata yang sudah berlinang di wajahnya. “Bram gak mau, Nin! Bram gak terlibat! Bram memang ada di ruangan itu tapi Bram ngak make”
“Kalau kamu gak make ngapain kamu mau kabur?”
Bram terdiam mendengar perkataan neneknya yang memang benar adanya.
“Kalau kamu berani kabur, Enin yang akan ikat kamu di kamar sampai mereka datang nyusul Ujang. Gak ada, Jang. Enin gak akan biarkan mau kabur kayak bapakmu. Durhaka kamu sampai lari dari tanggung jawab!”
“Nin! Tapi aku gak make. Masa aku harus ikut ke polisi?”
“Kamu bicara apa? Memangnya kenapa kalau kamu ke kantor polisi untuk tanggung jawab? Jelaskan pada mereka kalau kamu gak make. Itu lebih baik daripada kamu kabur!”
“Malu, Nin. Malu. Apa kata dunia kalau sampai mereka lihat Bram di televisi. Hancur karir Bram, Nin!”
“Sudah, Jang!”
“Tapi Nin. Ini memalukan!” Bram mulai merengek seperti anak kecil yang tak dapat bagian permen, dia terus merengek antara malu, menyesal dan kesal.
Enin yang begitu menyayangi Bram kemudian memeluk cucunya kemudian berbisik, “Percaya sama Enin. Di saat seperti ini, hanya Allah yang bisa tolong Ujang. Gak usah berharap sama manusia, Jang.”
“Tapi mereka kemana?”
“Tidak usah kau cari. Kita siapkan saja dirimu, agar saat kau disusul polisi, aku sudah siap secara mental!”
Tak punya pilihan, Bram akhirnya menangguk meyakinkan kalau dia tak akan lari seperti sebersit ide buruk dalam kepalanya saat ini.
Dengan berat hati dia kemudian menunggu hingga akhirnya...
Tok!
Tok! Tok!“Permisi,”
“Astaga itu mereka, Nin,” bisik Bram dengan mata yang terpejam dan sebenarnya tak pernah siap di susul polisi dengan kondisinya saat ini. “Aku kabur aja,” bisik Bram yang kali ini mulai melirik jalan yang sekiranya bisa digunakan untuk kabur.
“Dengar Enin dulu, Bram!”“Tapi, Nin!” Bram kembali terlihat cemas. “Sudah! Tak usah takut. Enin akan ada di sisimu, Jang. Tak apa, ya Enin bukakan pintu untuk mereka?” “Kamu harus tanggung jawab, Jang. Kamu tau kalau kamu salah kan,”Bram memanggil yakin dan Enin kemudian berdiri menuju pintu untuk menyambut tamunya. Dengan berani Enin kemudian membukakan pintu. “Selamat siang, kami dari kepolisian. Benar Bramasta Araya tinggal disini?” sapa seorang polisi berbaju preman yang tersenyum ramah pada nenek tua itu. “Benar, Pak. Cucu saya ada di dalam,” tegas Enin lalu membuka pintu rumahnya lebar untuk tiga orang anggota polisi yang berdiri di depan pintu rumahnya.“Terima kasih kerjasamanya. Kami harus bawa Bram ke kantor polisi sekarang,”“Iya!” Enin meraih tangan polisi yang berjalan paling awal. “Pak, tapi Ujang Bram saya jangan digebugin, ya!”“Digebukin?” Polisi itu menatap Enin dengan wajahnya yang tertunduk.“Iya, Pak. Enin sayang sekali sama ujang sholeh ini, mungkin dia nak
“Kami rasa cukup,” tutur polisi kemudian meminta rekanya membawa masuk kembali Bram dan teman-temannya ke ruang tahanan sementara.Riuh para wartawan yang masih ingin mewawancarai semua anggota band itu terdengar, mereka terus menyalakan lampu blitz kamera untuk mendapatkan gambar yang mereka butuhkan yang harus tayang hari ini juga.Saling dorong terus terjadi hingga akhirnya Bram masuk ke dalam ruangan dimana dia dan keempat temannya yang lain selain Kholil sudah masuk.“Karir kita usai,” bisik Bram dengan mata terpejam sembari membayangkan masa depannya yang kini jadi suram karena pengaruh buruk managernya.“Iya, tapi ya mau gimana lagi, Bro. Kalau gak gini kita tak akan pernah kuat menghadapi konser berjubel yang sudah kita tanda tangani bersama,”“Kau benar,” sahut Bram mengingat kembali jalur karir musiknya yang memang begitu padat sehingga untuk bisa tidur nyenyak saja sangat sulit bagi mereka.“Kalian siap-siap ke RSKO!” seru Swarna memasuki ruangan tempat Bram berada.“Apa se
“Pasti! Ayahmu boleh kabur dari tanggung jawabnya. Ibumu boleh menolakmu, tapi percaya sama Enin, cinta Enin mah tulus untuk Ujang. Enin gak akan ninggalin Ujang asal ujang tetap sayang sama diri ujang,”Bram kembali meneteskan air matanya, ketulusan wanita paruh baya ini sungguh membuatnya semakin merasa jika hidupnya kini hanya pantas dipersembahkan untuk Enin.Dia terus memohon kepada Allah semoga tubuhnya yang begitu rapuh ini bisa kembali mendapatkan kekuatan seperti saat semua kejadian bodoh ini belum berjalan.“Sekarang Ujang sholat. Percaya sama Enin, Cuma Sholat yang bisa membantu Ujang keluar dari semua ujian ini,”Deg! Jantung Bram serasa ditikam belati, dia teringat jika selama ini satu-satunya hal yang dia lupakan adalah menyembah tuhannya.“Kenapa?” tanya Enin melihat perubahan ekspresi wajah cucunya.“Maafkan Bram, Nin. Sepertinya Ujang lupa melakukan ini,” “Jadi Ujang teh ngak pernah sholat di RSK apa itu?”Bram melebarkan senyumnya membuat Enin semakin marah padan
"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya."I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya."Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba..."Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang."Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu."Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?""Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.Plas!Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya."Kenapa denganmu?" "Kau pik
"AAH! Ayah!" teriak Widi berkali-kali dengan wajah yang begitu kesakitan.Bram bersiap untuk melangkah masuk tapi tangan mertuanya segera menariknya. "Jangan! Kau disini saja!""Tapi...""Aku tau kau berniat baik pada putriku tapi percayalah, ini akan jadi urusanku hingga cucuku lahir!""Kenapa aku tak boleh masuk?"Pria tua itu menggelengkan kepalanya cepat lalu mendorong tubuh Bram yang sangat ingin bertemu Widi disaat sakitnya. "Pergilah!"Mendengar kata yang singkat dan begitu jelas itu, Bram menatap nanar wajah Widi yang seakan sulit dia sentuh untuk saat ini, meski permintaan ayah mertuanya begitu sulit, tapi dia mengalah.Pria tampan itu memilih melangkah mundur kemudian membiarkan Hartono masuk ke dalam kamar Widi tanpa dirinya.Kepala Bram tertunduk lalu memutar badan menuju lift untuk meninggalkan Widi yang terlihat sangat kesakitan."Maafkan aku, Widi," bisik Bram menahan sakit di dadanya. Sakit! Ini sangat sakit, tak cuma karena dia tak bisa menemui Widi, tapi juga karen
“Kalau begitu kejadiannya, aku akan membantumu mencari pelakunya!” “Sungguh Ayah akan membantuku?”“Bram, kau ini bagaimana sih? Aku sekarang ini ayahmu. Aku harus mengungkap semua ini agar saat kau menduduki posisi CEO, jalanmu akan lapang!”Bram mengangguk penuh semangat mendengar janji dari ayah mertuanya itu. Diapun segera menjabat tangan Hartono berbesar hati untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan karena kasus narkoba yang menimpanya.“Kau harus semangat, Nak! Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi demi masa depan kau dan putriku!”“Terima kasih, Ayah! Aku tau ini tak mudah bagimu tapi aku sangat senang dengan dukungan yang kau katakan barusan,”“Iya, sekarang temui Widi. Katakan padanya kau tak akan meninggalkannya lagi. Hanya itu yang aku mau sekarang,”“Baik! Aku akan menemuinya setelah jam istirahatnya selesai,”Hartono menatap menantunya itu dengan lembut berharap banyak pada pria yang kini ada tak jauh dari hadapannya. Dia terus berharap segera menemukan orang
"Nyonya!" teriak seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Widi yang masih begitu lemas setelah melahirkan."Ada apa?" tanya Widi dengan penuh awas. "Katakan saja,""Tapi, Nyonya!""Apa?" tanya Widi sekali lagi. "Katakan ada apa?" ucapnya penuh penekanan."Pak Hartono, kondisinya dia telah meninggal," ucapnya dengan bibir bergetar."Ayah!" tangis Widi seketika pecah dan tak ada yang bisa menghentikan. Tangisan wanita yang baru melahirkan itu segera bertaut dengan tangisan bayi Widi yang masih berada di kamar perawatannya.Semua orang yang sedang berada di sana tak berani menyentuh Widi karena mereka tau kesedihan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun.Setelah kesedihan di ruang perawatan Widi, beberapa orang anggota keluarga pengusaha dapur rekaman itu satu persatu mulai berdatangan.Tentu Widi butuh penghiburan namun yang ada mereka justru datang untuk menyalahkan Bram yang dianggap keluarga wanita kaya ini sebagai penyebab kematian Hartono yang sebelum kasus gitaris ta
“Aku sangat menyesal, Ayah! Maafkan aku!” ucap Bram berkali-kali sambil terus menangis meski tangisan ini tak sedikitpun ingin dihentikan oleh salah satu anggota keluarga istrinya. Tangisannya baru terhenti saat supir kepercayaan ayah mertuanya mendekatinya."Pak, biar saya antar pulang. Ada pesan dari Pak Hartono sebelum Beliau meninggal dunia,""Ayah bilang apa?" tanya Bram sembari memutar lehernya ke arah pria berbaju supir itu."Mari ikut saya,"Bram tersenyum simpul lalu melangkah bersama supir itu meninggalkan ruang persemayaman terakhir Hartono.Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya apa gerangan yang dikatakan pria yang mengorbitkannya di dunia musik sebelum tutup usia."Masuk, Pak!" Supir mempersilahkan."Baik!" Bram segera duduk di kursi penumpang sambil bersandar menunggu pria kepercayaan Hartono itu duduk di kursi kemudi."Saya cerita dulu, ya. Jangan di sela," pintanya sambil memutar kunci mobil."Iya!""Jadi sebelum Bapak meninggal, Bapak mengatakan kecurigaannya pada Pa