Sah menjadi suami istri, Ian segera menemui Ana yang sejak tadi tak menyapanya. Untungnya, acara dan pesta pernikahan memang telah selesai, sehingga tak menjadi masalah berat lagi.
"Ana, apa kamu baik-baik saja?" tanya pria itu ketika Ana terlihat sangat lemas."Tidak usah pedulikan aku," kata gadis itu menjawab dengan ketus."Belum makan selama dua hari ini," terang Diko.Dengan segera, Ian mengambil makanan dan segera duduk di samping gadis itu. Segala cara ia upayakan untuk membuat Ana mau makan. Tentu saja, sakitnya Ana masih menjadi cemas dan urusannya.Ai hanya bisa melihat dari jauh. Begitulah ia ketika ditarik paksa oleh Danny yang baru terlihat batang hidungnya. Wanita itu menolak sekeras Danny menariknya."Apa yang kamu lakukan, Danny? Bukankah sudah jelas jika aku telah mengakhiri segalanya? Bersikaplah dewasa, aku sudah menjadi istri orang lain sekarang!" tegasnya.Suara itu terdengar oleh Arzi dan Noah yang segera mendekat."Om, aku hanya ingin menunjukkan sesuatu dengan putri kalian. Aku tidak akan berbuat sehina mereka," ujar Danny merujuk pada perbuatan Ian dan Ana sekarang. "Hanya ingin menunjukkan sesuatu, tak lebih daripada itu," lanjutnya."Biarkan saja," ujar Noah membuat Arzi menyerah. Lelaki itu juga segera meraih tangan Ana dan menjauhkan dari Danny. "Biarkan saya saja," katanya.Berjalan dan terus berjalan, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah papan hias nama Ian dan Ai. Terlihat jelas jika hiasan itu terlihat begitu indah sebab memang dibuat dengan begitu tulus."Aku membuatnya dengan penuh tangisan, Ai. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Walau aku masih tak percaya jika ini semua adalah sebuah malapetaka, tapi aku akan belajar ikhlas dan menerimanya. Semoga kamu dan Ian bisa bahagia. Aku juga akan berusaha sekeras mungkin untuk menjauh. Apa hiasan ini akan kamu buang?" tanya Danny di ujung untaian katanya yang terdengar menyedihkan.Sesaat terdiam, tidak ada jawaban dari semua orang yang bisa mendengarkannya. Besar harapan Ai untuk menerima dan akan menyimpan benda itu sebagai kenangan, namun harapan itu pupus ketika Mario angkat bicara."Itu tidak pantas ada di sini," katanya.Tak ingin masalah itu semakin panjang, Arzi segera meminta Danny membawa benda itu. "Peluk putriku untuk perpisahan kalian," katanya."Boleh, Om?" tanya Danny dengan penuh haru hingga tak terasa jika air matanya menetes sekarang."Semoga kamu juga bahagia, Dan," ucap Ai yang kemudian pergi setelah berpelukan singkat, sangat singkat."Kemarilah," kata Arzi yang juga tampak paham akan kesedihan pria itu sekarang. "Kamu harus bahagia tanpa Ai, Nak. Masih banyak hal yang bisa membuatmu bahagia tanpa Ai. Jangan lupa untuk tetap membuat kita sedekat ini."Peluk haru antara Arzi dan Danny bisa dirasakan oleh semua orang. Bagaimana tidak, perpisahan itu memang sangat menyakitkan, apalagi jika diharuskan secara tiba-tiba."Aku pamit, Om..."***Malam pun tiba, Ai yang kini sudah sekamar berdua dengan Ian pun secara perlahan masuk ke kamar mandi. Ia takut mengganggu Ian yang sudah rebahan dan tampak tertidur pulas.Beberapa saat setelahnya, ponsel Ian berdering. Dengan segera, pria itu menjawabnya. Ia bahkan sangat bersemangat ketika itu berasal dari Ana.Ia bergerak menuju pintu dan segera mempersilakan gadis itu masuk. Ia juga tak segan untuk mendudukkan gadis itu di ranjang."Kamu mau disetel lagu yang mana?" tanya Ian sekarang."Lagu favorit kita saja, terserah yang mana." Ana menjawab dengan jutek."Biasanya juga kamu lebih suka video call sambil mendengarkan lagu, kenapa tidak dengan sekarang?""Aku curiga dan takut kalau malam ini akan menjadi malam pertama yang menyenangkan bagi kalian. Aku tidak mau ada hubungan di antara kalian yang akan menjadi sweet memories, karena hanya aku ... hanya aku yang akan tersimpan di memori kamu. Paham?"Jawaban itu tampaknya sangat memuaskan bagi Ian. Ia mulai mengelus puncak kepala gadis itu sampai akhirnya Ai ke luar dari kamar mandi. Ia bahkan tersentak ketika sadar akan kemesraan yang ditunjukkan oleh sepasang manusia itu.Ia bahkan sempat berpikir jika tengah bermimpi atau salah kamar, agaknya."Hai, Adik perebut tunanganku?" sapa Ana membuat Ai sadar sekarang.Ia memang ada di tempat yang benar, ia tidak bermimpi atau salah kamar. Masih berusaha sadar dan baik-baik saja, wanita itu membuka salah satu pintu dan menggantung handuk di tempat yang seharusnya."Kenapa kamu harus ada di sini, Ana. Kamu tidak salah alamat, kan? Ini adalah kamarku dan pria yang telah aku rebut dari kamu, pria yang berhasil direbut oleh wanita murahan. Dan, kenapa harus main redup-redupan?" tanya Ai segera menyalakan lampu yang lebih terang."Ck! Jangan nyalakan itu, matikan saja!" decit Ana merasa kesal."Aku ingin memakai skincare sebentar, jangan mengatur di tempat yang salah." Ai segera angkat bicara.Ian menjadi bingung dan pusing sekarang. Ia bingung antara harus membela Ana yang sudah menuntutnya sejak tadi atau malah Ai yang padahal adalah istri sahnya.Dari cermin, Ai segera sadar jika tempatnya tidur bahkan sudah disiapkan, di sofa. Senyuman kecewa itu bahkan hampir membuat air matanya menetes, namun sebisa mungkin ia tahan dan cegah.'Jangan sampai,' batinnya."Sayang, besok kita ngantor bersama, kan?" tanya Ana."Besok kan, aku masih libur, Ana. Biarkanlah aku istirahat untuk beberapa hari," jawab Ian dengan tidak enakan.Sesungguhnya, Ai merasa kasihan dengan Ian yang harus merasa tertekan seperti ini. Namun, ia juga sadar jika dirinya pun masih perlu dikasihani."Ya sudah, pokoknya pergi saja bersamaku," kata Ana sedikit memaksa."Baiklah." Terdengar pasrah."Selamat malam," ucap Ai segera mematikan lampu."Makan malam dulu," ucap Rainy dari luar kamar."Apa kamu lapar?" tanya Ian membuat Ai sedikit menilik dari selimut tipisnya.Ia memang terlalu berharap jika pertanyaan itu ditujukan padanya."Iya, sedikit." Ana menjawab dengan sikapnya yang biasa, manja."Tolong suruh bibi antarkan ke kamar saja!" seru Ian memberi jawaban.Beberapa saat kemudian, lampu kembali dinyalakan. Sepasang manusia itu tengah makan bersama dan terdengar sangat menikmatinya. Tentu saja, tujuan Ana adalah membuat Ai terbakar api iri dan cemburu. Sebisa mungkin, ia akan berusaha menyiksa Ai dan membuatnya tidak betah dalam pernikahan ini."Kamu tidak mau pindah dari sini? Aku takut kalau Om Mario marah kalau tau hubungan kita berdua," ucap Ana.'Sadar diri juga,' batin Ai."Aku akan membicarakannya dengan Papa, jadi tenang saja," jawab Ian memberi keyakinan dengan sangat baik."Mau pipis pula!" pekik Ai yang segera bergerak untuk masuk ke kamar mandi. "Uh, sepertinya ini akan menjadi tempat favorit baru bagiku."Setelahnya, ia menangis."Sudah puas menangisnya?" ledek Ana dari luar sana.Nyatanya, tempat itu tidak kedap suara. Sial!***Terbangun dari tidurnya, Ai segera membereskan tempar ia tidur. Tatapannya seketika tertuju dengan keadaan Ian yang tengah memeluk Ana di atas ranjang. Ia tampak tak ingin peduli. Bagaimana pun, hidupnya harus terus berlanjut.Ingin menghirup udara segar, wanita itu segera menyibakkan gorden di kamarnya. Ia tersenyum lebar sekarang. Cahaya matahari yang masuk bahkan segera menerpa wajahnya. Bersyukur untuk nikmat sang pencipta."Ck! Siapa sih itu?!" gerutu Ana yang terdengar sangat jelas. Memang sudah kebiasaan baginya untuk bangun kesiangan.Hal itu ternyata lolos membuat Ian terbangun lalu membentak Ai dengan nada yang amat sangat jelas. "Kamu tidak melihat kami masih tidur? Mengganggu saja!"Ai terhenyak. Dalam hitungan detik, gorden di kamar itu tertutup kembali. Ia juga segera membersihkan wajahnya sebelum ke luar dan bergabung dengan ibu mertuanya."Sudah bangun? Kamu bangunkan suamimu juga, kan?" Nada ketus itu didapat dari Rainy yang tampak sangat tidak menyukainya. Padahal,
Ai tampak keheranan ketika baru saja tiba di kamarnya namun mendengar gemercik air. Seketika ia sadar akan keberadaannya sekarang. Di kamar Ian yang adalah kamarnya juga. Tatkala hendak bersantai sejenak di sofa, telinganya mendengar suara dua orang yang berbeda dari dalam kamar mandi. Ian sedang bersama siapa?Tatkala ia hendak melangkah untuk mendekat, Ana segera ke luar dari sana dengan handuk yang masih melilit di tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak tahu malu."Ngapain, sih? Mau ngintip, ya? Kepo banget!" Ian mendukung perlakuan Ana, ia malah mendorong istrinya itu untuk menjauh dari mereka. Hati Ai sudah benar-benar teriris sekarang. Ia hendak melangkah pergi yang segera dihentikan oleh Ian."Selangkah saja kamu ke luar dari kamar ini, jangan menyesal jika kita harus bercerai. Aku tidak peduli dengan konsekuensinya," ancam pria itu dengan nada santai.Ai terdiam sekarang. Air matanya masih tersimpan dengan baik.
Seperti biasa, Ai melakukan aktivitasnya dengan sangat cekatan. Ia juga selalu sendirian di dapur. Hal itu ternyata baru saja disadari oleh Mario yang hendak menemui istrinya."Di mana dia? Bukankah dia membantumu?" tanyanya."Em ... aku tidak tau di mana, Pa." Ai menjawab dengan singkat sebelum akhirnya segera melanjutkan kegiatannya.Mario memilik duduk sekarang. Ia menanti kapan istrinya akan datang ke sana. Tepat saja dugaannya, wanita itu datang setelah menghitung waktu jika menantunya telah selesai memasak.Prok! Prok! Bertepuk tangan menyambut kedatangan Rainy yang tampak gelagapan sekarang."Kamu dari mana aja, Rainy? Katamu akan jadi istri dan mertua yang baik. Setiap hari bangun pagi tapi bukannya masak malah kelayapan. Dari mana coba? Sekarang berikan alasanmu!"Rainy tercengang sekarang. Ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.Kecanggungan itu segera terjeda ketika Ai pamit lalu berlari ke kamarnya. Sudah waktunya untuk Ana pulang sekarang."Kamu juga!" bentak
Arzi menghentikan laju mobil Ana ketika gadis itu masih hendak berangkat bekerja. Ia juga masuk dan memerintah gadis itu untuk melaju. Ana tak berkomentar. Ia bahkan dengan sengaja memberikan sedikit sikap yang tidak mengenakkan.Bagaimana tidak, ia bahkan memasang lagu dengan nada yang sangat kencang sehingga membuat pria itu merasa tidak nyaman."Hentikan, Ana," perintahnya yang segera dilakukan oleh Ana.Gadis itu juga mematikan musiknya sekarang. Tak lupa, segera bergegas ke luar dari mobil menyusul Arzi yang sudah ke luar dan tengah duduk menunggunya. Ana masih memasang senyumnya ketika sadar akan keberadaan mereka yang tengah berada di sebuah kafe.Meletakkan tasnya dengan santai, ia juga ikut duduk. "Ada apa, Om? Sepertinya ada hal yang sangat penting yang ingin dibicarakan. Kenapa?"Arzi mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia menatap gadis itu dengan perasaan sedikit kecewa."Ana, hentikan. Tolong jangan ganggu adik kamu lagi. Biarkan dia bahagia. Dengan kehidupan kamu yang se
6 bulan telah berlalu dan itu bukan waktu yang singkat untuk Ai. Sudah begitu banyak penderitaan yang harus dia hadapi. Ana muncul tepat di hadapannya dan memberikan penandaan tanggal di kalender di kamar itu."enam bulan," tukasnya.Tak ingin peduli dengan ucapan Ana yang mungkin akan lebih jahat daripada ini, ia memilih untuk segera membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, Ian juga datang dengan membawakan makanan. Seperti biasa, keduanya akan melakukan pertunjukan sebagai pasangan paling romantis di hadapan Ai, mungkin itu juga alasan Ai membersihkan dirinya dua kali."Kamu sudah melakukan hubungan dengan Ai, kan?""Ck! Jangan membicarakan hal seperti itu ketika makan!" balas Ian."Sudah atau belum. Aku hanya bertanya, Ian. Apa itu salah?"Ian bergerak untuk menutup acara makannya, ia benar-benar sudah tidak berselera sekarang."Ian, kamu tidak lupa, kan? Ini sudah enam bulan, kita perlu memastikan apakah dia bisa hamil atau tidak. Jika kalian sudah melakukannya dan belum ada ha
Ana terlihat sangat terkejut ketika mendapati keadaan ayahnya yang sangat buruk sekarang. Wajahnya penuh lebam. Dengan perasaan panik, ia segera menanyai Noah.Pria itu tak segera menjawab. Ia hanya tengah menatap wajah putrinya yang tampak kurang tidur."Sebenarnya apa yang kamu lakukan di luaran sana? Apa kamu benar-benar tinggal di apartemen atau malah tidur dengan suami orang lain?""Papa, apa-apaan, sih? Aku baru pulang juga. Yang paling penting sekarang adalah kenapa keadaan Papa seperti ini? Apa telah terjadi sesuatu?""Kalau tidak terjadi sesuatu, bagaimana bisa papa seperti ini? Gimana sih kamu, Ana?"Ana terhenyak. Ia bingung dengan sikap ayahnya pagi itu."Papa menjadi korban rampokan tadi malam. Jadi, begini keadaannya. Untung saja, sopir pribadi papa lumayan kuat dan keren. Papa juga sudah kasih dia wewenang untuk jagain kamu mulai sekarang. Ya, bagaimana pun juga, keadaan kamu yang paling penting untuk papa."Ke
Ian terus berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Ana. Dua jam sudah ia berada di depan apartemen gadis itu sambil sesekali memencet bel, berharap Ana akan ke luar dan memberikan kata maaf untuknya.Tunggu demi tunggu, tidak ada perkembangan. Kepalanya juga semakin pusing ketika mengingat pertanyaan Arzi, masih terngiang-ngiang hingga saat ini.'Siapa yang selingkuh, kamu atau Ai?'Kali ini, setelah beberapa detik matanya masih menatap ke arah pintu Ana yang masih tidak ada pergerakan, langkah kakinya membawa ia ke luar. Ia juga melajukan mobilnya dengan kencang.Di sebuah bar, tempat ia berhenti dan berlabuh sekarang. Tatapannya tertuju pada keramaian pengisi tempat itu. Ia baru sadar jika dalam enam bulan terakhir, ia bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri. Iya, waktu dan segala sesuatu di hidupnya hanya tentang Ana dan kebahagiaannya, seketika pikirannya menjadi kacau kembali. Tak ingin moodnya semakin rusak, ia memilih bergabu
Terbangun dari tidurnya, Ian tersenyum simpul ketika mendapati Ana yang sudah berada di sisinya. Namun, hal itu tidak berselang lama, sebab ingatannya sedikit terlintas akan kejadian kemarin malam.Untuk pertama kalinya, ia menggeser tubuh Ana dengan sengaja, menjauhkan dari posisinya. Hal itu membuat gadis itu terbangun dan segera bermanja pada Ian sekarang."Apa yang kamu lakukan ketika aku menunggumu di depan apartemen? Apa kamu menganggapku gukguk yang terus menggonggong demi bisa mendapatkan makanan darimu?"Ana sadar jika Ian tengah menaruh rasa kesal padanya. Ia memutar otaknya untuk memberikan alasan yang terasa masuk di akal pria itu."Aku ketiduran, Ian. Akhir-akhir ini banyak sekali pekerjaan yang memberatkan aku. Kamu tau sendiri, kan, semuanya aku yang handle sekarang."Ian terdiam. Ia memang tidak bisa percaya begitu saja."Tadi malam, siapa yang jemput aku? Kamu atau dia?"Pertanyaan itu membuat Ana bingun