Revo mengepalkan kedua tangannya erat. Dia tak mengerti mengapa kini Arga terlihat sangat dekat dengan Teresia. Bukankah Kakaknya itu membenci wanita? Namun melihat Arga yang tak ingin meninggalkan Teresia berdua bersamanya mencipta rasa takut di hati Revo. Sungguh pria itu takut Kakaknya mulai serius menjalani hubungan dengan Teresia. "Tidak! Tidak mungkin! Kakak tidak suka Teresia!" Revo menggeleng dan memukul kepalanya, ia tidak mau itu terjadi. Revo menenangkan hatinya sendiri, mencoba berpikir positif. Saat ini dia harus mulai bergerak, setidaknya Revo ingin Teresia tau tentang perasaanya, ia menyesali mengapa Arga datang di saat yang tidak tepat di saat ia ingin menyatakan perasaanya pada Teresia. "Sial, sial, sial!" *** Teresia mengerang keras saat Arga tak menyudahi ciumannya, bahkan tangan pria itu sudah menjamah ke dalam bajunya dan memainkan salah satu payudaranya. "Arga ... Kita di tempat umum" bisik Teresia kemudian menggigit tangannya sendiri saat jemari A
Teresia dan Arga kembali ke apartemen Revo tidak kurang dari waktu satu jam. Karena keduanya memang hanya membeli obat saja sementara makanan dan camilan yang Teresia ingin sudah dibeli secara online, mereka hanya tinggal mengambilnya di resepsionis. "Terimakasih Mbak" ujar Teresia mengambil pesanannya di meja resepsionis kemudian menyusul Arga yang sudah menunggu di depan lift. "Sudah" ujar Teresia menunjukan dua kantung plastik putih pada Arga. Pria itu mengambil alih kedua kantung plastik putih itu dan membawanya bersamanya. "Kita mau temani Revo sampai kapan?" tanya Teresia pada Arga setelah pintu lift tertutup. "Kita makan dulu, lalu pulang" jawab Arga yang diangguki oleh Teresia. Arga memejamkan kedua matanya masih merasakan efek mual dan pusing karena berada dalam waktu yang lama di tempat umum dan bertemu dengan banyak wanita. "Masih pusing?" tanya Teresia lagi, melihat ekspresi pria itu yang nampak kesakitan membuat Teresia khawatir. "Hmm, sedikit" balas Arga dengan nad
Arga menatap kesal pada Revo yang tak henti meminta perhatian pada Teresia, dan bagaimana wanita itu yang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh Revo. Menyebalkan, Arga tidak suka Teresia lebih mementingkan Revo dibanding dirinya. Arga mendekat pada dua manusia yang duduk di atas sofa di depan ruang tv dan masih saling asik mengobrol dengan Revo yang bersandar manja pada pundak Teresia, anak itu mengeluh pusing dan meminta Teresia untuk mengusap-usap kepalanya. Sial!Arga memaki dalam hati, ia benar-benar tak menyukai pemandangan ini. "Teresia!" panggil Arga dengan nada datarnya. Teresia menoleh dan melihat Arga yang berjalan mendekat padanya lalu menarik tangannya untuk menjauh dari Revo. "Kamu tadi sudah janji mau memijat kepalaku kan?!" kesal Arga pada Teresia karena wanita itu seolah sudah melupakannya. "Aku gak lupa kok" Teresia menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau begitu ayo! Kamu Revo, istirahat sekarang karena besok pagi-pagi sekali kami akan pulang! Aku da
Teresia ikut bahagia dan bingung, entah mengapa kalimat sederhananya bisa memancing emosi Arga sampai seperti ini. Namun melihat Arga yang terlihat sangat tersentuh dan membutuhkan kalimatnya itu, Teresia seolah tak menyesalinya. Mungkin benar bahwa Arga memang butuh pendukung, dan tanpa sadar bahwa Teresia sudah siap untuk itu. Dia mau terus berdiri di samping Arga dan menguatkan pria itu, mengenal Arga lebih dalam membuatnya mengerti kepribadian Arga dan sikap dingin serta menyebalkan yang pria itu pernah ditunjukan padanya hanya sebatas pertahanan diri agar Teresia tak mencoba dekat dengan Arga. "Tapi sayangnya masih ada satu kekasih priamu yang membutuhkan kejelasan dari hubungan kalian loh!" beritahu Teresia mengingat kedatangan Sony hari lalu di kantor Arga. Arga melepas pelukannya dan tersenyum memandang wajah Teresia yang seketika saja memerah karena mendapat senyuman tulus oleh Arga. "Secepatnya aku akan mengakhiri hubunganku dengannya, aku tidak akan mengizinkan dia dek
Teresia serta Arga dibuat bingung saat bangun di pagi harinya, di apartemen tersebut tak ada lagi sosok Revo. Entah jam berapa pria itu pergi pagi tadi, namun saat Arga memeriksa ke dalam kamar dan setiap ruangan di apartemen adiknya, pria itu tak Arga temui. "Mungkin keadaannya sudah sehat, dan dia kembali bekerja" ujar Arga menebak saja. Teresia mengangguk singkat, sesungguhnya ada yang mengganjal di hatinya atas kepergian Revo yang sangat mendadak pagi ini. Sedangkan tengah malam tadi ia tak sengaja bertemu Revo, dan Revo mengatakan sesuatu tentang Arga sebelum kemudian pria itu pergi meninggalkannya. Ekspresi dan sikap Revo juga terlihat berbeda dari Revo yang biasa tersenyum dan ceria hingga mungkin Teresia pikir moodnya sedang tidak stabil karena pria itu masih dalam kondisi kurang sehat. "Kenapa melamun?" Arga menjentik pelan kening Teresia membuat kesadaran wanita itu kembali dan menatap Arga dengan tatapan kesalnya. "Ck! Aku gak enak aja, kita di sini sementara pemilik
"Pengecut! Laki-laki pengecut!" Revo meninju kaca di depannya hingga benda itu pecah tak beraturan dan membuat buku-buku jarinya berdarah karena beberapa serpihan kaca merobek kulitnya. Revo menyandarkan keningnya pada kaca di depannya. Air matanya menetes perlahan jatuh membasahi pipinya. Ia sangat membenci dirinya sendiri yang bersikap pengecut karena tak berani menemui Arga dan Teresia. Sudah sebelum subuh tadi, Revo meninggalkan apartemennya dan pergi ke kantor lebih dulu. Revo tak siap melihat Arga dan Teresia keluar dari kamar yang sama dengan senyum di bibir mereka dan bersikap sangat ceria di depannya mengabaikan bagaimana hatinya yang hancur melihat kebahagiaan kedua orang itu. Revo tak menyukainya, Revo tak menyukai rasa sakit yang bersarang di dadanya. Ia tak siap mendengar kabar bahagia dari Teresia dan Arga lebih tepatnya. "Aku tidak pernah tau mencintai itu rasanya sesakit ini!" Revo mencengkram kaos di bagian dadanya dengan erat. Sejak tadi pikirannya terus berke
Teresia selalu menolehkan kepalanya ke berbagai sisi. Ia tak sedang dikerjai Arga bukan?"Kenapa?" Arga bersuara karena sedari mereka memasuki pintu masuk taman bermain, Teresia tak berhenti menoleh dan menatap bingung pada sekelilingnya."Tempat ini gak tutup kan? Kenapa cuman ada kita berdua di sini, gak ada pengunjung lain" kebingungannya akhirnnya Teresia suarakan."Karena aku menyewa tempat ini sampai satu hari ke depan!" ujar Arga dengan nada santainya.Langkah Teresia terhenti dan ia menatap Arga degan bibir terbukanya. "Hah?! Kamu sewa tempat ini?"Arga ikut berhenti melangkah dan menata Teresia dengan senyum lebar, memamerkan kesombongan yang dimilikinya."Dengan uang aku bisa melakukan apapun" bisik Arga di depan wajah Teresia yang masih menatapnya dengan raut terkejut.Teresia mendengus dan memutar jengah bola matanya "daripada kamu membuang uangmu dengan mengkosongkan tempat ini, l
"Pagi Chef!" Teresia menyapa riang pada dua Chef rumah Ayah mertuanya yang tengah sibuk di dapur itu. "Pagi Nyonya" sapa Chef Radit dan Artur yang tak kalah semangatnya dengan Teresia, kehadiran Teresia dan sikap ceria gadis itu membuat dapur terasa lebih hidup. "Anda terlihat sedang bahagia sekali Nyonya" tebak Chef Radit dengan nada menggodanya membuat Teresia tersipu malu. "Keliatan ya?" kekeh Teresia dan mengambil bakwan udang yang baru saja matang di atas piring. "Wajah anda itu seperti buku yang terbuka Nyonya, kami bisa mudah membacanya" tambah Chef Artur dengan tawa gelinya. Teresia merona, yaa bagaimana tidak bisa menahan wajah bahagianya jika sejak semalam saat ia dan Arga pulang ke rumah, pria itu bersikap manis dengannya, meski Teresia tak tau mengapa Arga mendadak berubah menjadi lebih manis dengannya namun Teresia menyukainya. Bahkan saat tertidur pun pria itu memeluknya dan menggenggam tangannya sepanjang malam. Belum lagi pagi tadi sebelum Arga berangkat bekerja,