Lagi-lagi aku ditugaskan untuk mengantar Marcel ke depan. Jovan ingin membicarakan terkait kepulangan kami ke rumah dengan Jessica. Saat ini aku justru sangat ingin kabur, di saat seperti ini aku begitu menyesali awal mula aku dan Marcel bertemu. Mengapa hal tidak perlu seperti itu harus terjadi? Lihatlah dampaknya pada masa depanku saat ini.
Aku mendengus kesal, sedari tadi Marcel terus memandangiku dengan senyuman menjengkelkannya. Dia seolah berkata, kali ini kamu tidak bisa menolakku lagi. Aku tahu itu!
“Berhenti senyum-senyum nggak jelas dan pulanglah. Aku harap kamu tidak datang di pesta nanti seperti biasanya,” tukasku.
Kata-kata dinginku tidak berpengaruh pada pemuda yang satu ini. “Eiy, bagaimana aku bisa tidak datang di pesta perayaan menyambut anakku?” tanyanya.
Aku sontak melotot, apa yang dia katakan? Bagaimana jika ada yang mendengar? Ini masih di depan rumah Jessica!
“Hati-hati dengan ucapanmu itu Marcel
“Sial! Aku harus merelakan uang hasil dari gajiku bersusah payah jadi guru hanya untuk kasih hadiah buat dua orang itu,” gerutu Ayu.Dia kini sudah membawa sebuah hadiah yang tentunya tidak murah untuk diberikan pada dua temannya, Elisa dan Ayu yang menagih janji pada Ayu atas kehamilannya. Perempuan itu berjalan dengan muka malas, apakah dia balik lagi saja dan membelikan yang lebih murah? 5 juta untuk sebuah jam tangan, walaupun itu tipe yang paling murah dari seri yang Ayu beli. Tetap saja, ada rasa tidak Ikhlas dalam dirinya.“Apa aku kasih yang KW aja kali ya?”Ah, Elisa dan Utami rasanya tidak sebodoh itu dengan tidak bisa membedakan mana yang asli dan palsu. Selama berteman dengan Ayu, tangan mereka mungkin sudah handal dalam merasakan keaslian dari barang mewah yang mereka beli.“Eh, Ayu! Sini, sini!” kata Elisa melambai-lambaikan tangannya.Ayu membuang napasnya berat setelah sebelumnya tersenyum palsu pada Elisa. Dia sudah tidak
“Gimana hari ini?” tanya Ayu pada Jovan yang baru pulang dari interviewnya untuk Perusahaan baru. Melihat wajah Jovan yang murung membuat Ayu bisa menebak agaknya apa jawaban Jovan untuk pertanyaannya. Gelengan kepala dijadikan balasan oleh suaminya itu. Ini sudah yang keberapa kali Jovan ditolak Perusahaan baru. Rasanya aneh, kenapa tidak ada satupun yang berhasil. “Kalo kayak gini terus … gimana nasib kita?” tanya Ayu dengan suara pelan. “Nggak tahu, aku udah capek,” celetuk Jovan. Rupanya lelaki itu mendengar perkataan Ayu, sontak Perempuan itu terkejut. Bisa-bisanya Jovan mengatakan tidak tahu dan dia sudah lelah, masa depan keduanya seakan disepelekan begitu saja. Jovan berbaring dan bersembunyi di bawah selimut, seperti yang biasanya dia lakukan setiap harinya. Ayu jengah melihatnya, bukannya dia tidak menghargai usaha suaminya. Namun, sikapnya mencerminkan seorang pecundang. Mana janjinya yang akan berusaha untuk keluarga kecil mereka ketika akhirnya Ayu sedang hamil? “Jov
“Aku mau kerja lagi,” kata Ayu pada Jovan yang sedang bermain ponsel di tempat tidur. Waktu itu, masih pagi selesai sarapan Ayu mengajak Jovan ke kamar untuk mengatakan sesuatu. Namun, lihatlah pada ketidak antusiasan suaminya itu. Jovan malah bermain game dan acuh tak acuh pada ucapan Ayu. “Hah? Bilang sekali lagi?” Jovan memincingkan matanya, menghentikan hentakan jari pada layer handphonenya. Ayu sudah cukup muak melihat tingkah suaminya itu, semakin hari motivasi Jovan untuk bekerja semakin hilang. Penolakan yang dia terima dari berbagai Perusahaan yang dia lamar melukai egonya. Dia berpikir mengapa dia tidak cukup baik untuk mendapatkan pekerjaan? Amarah dan kekecewaan itu dia lampiaskan dengan bermalas-malasan. “Aku bilang, aku mau kerja lagi. Jadi guru, seperti sebelumnya,” ulang Ayu. Lelaki itu kini meletakkan ponselnya asal, dia pusatkan atensinya pada istri yang menurutnya mulai membangkang. “Nggak!” jawabnya singkat.
“Apa? Kamu mau aku cari cara supaya Ayu keguguran?” sentak Jessica tak percaya pada apa yang dia dengar.Dirinya memang tidak suka dengan Ayu, tetapi hasil tes DNA membuktikan itu adalah anak Jovan yang mana akan menjadi cucunya. Apakah Jessica tega untuk menggugurkan atau sebut saja membunuh cucunya sendiri?“Iya, bukankah kamu tidak suka Ayu mengandung anak Jovan?” tanya Marcel.Kini keduanya bertemu di sebuah café atas ajakan Marcel, sosok anonim yang Jessica curigai. Orang yang memprovokasinya untuk melakukan tes DNA antara janin Ayu dan Jovan adalah orang suruhan Marcel. Sebuah kejutan yang sama sekali tidak terlintas di pikiran Jessica.Siapa sangka lelaki sempurna yang Jessica harap menjadi anaknya itu ternyata tergila-gila oleh Wanita rendahan yang kini adalah istri Jovan?“Aku memang tidak suka, tetapi membunuh garis keturunan-“Ah, Jessica rasanya ingin muntah menganggap
“Guru sekolah mana yang pulang jam segini?” tanya Jovan yang sudah menyilangkan tangan di dadanya.Ini sudah hampir jam 10 malam, sementara itu istrinya baru menginjakkan kaki di rumah. Ke mana saja dia pergi? Tidak mungkin dia hanya pergi mengajar saja, kan?“Berisik, aku ke rumah orang tuaku tadi,” jawab Ayu dengan ketus.Tampangnya kaku menatap Jovan dengan acuh tak acuh, kakinya melangkah melewati suaminya di ambang pintu. Namun, tangannya diraih tiba-tiba dan Ayu pun harus menghadapi macan pengangguran satu ini.“Gitu ya, sikap kamu ke suami?” sindir Jovan.Wanita di depannya mendengus kesal, tangan Jovan disingkirkan tanpa ragu olehnya. “Mau kamu apa sih? Aku ini capek, baru pulang diajak berantem?”Jovan memandang punggung Ayu yang semakin menjauh pergi darinya. Perempuan itu begitu berubah semenjak dia bekerja di sekolah yang baru. Tidak lagi ada rasa takut yang ditunj
“Sayang, selama aku pergi kamu bisa minta kebutuhan kamu sama Adimas ya.” Marcel tengah memakai sepatunya di sofa kamarnya sambil mengamati Ayu yang tengah menyiapkan seluruh barang-barangnya. Senyum terpatri dalam bibirnya, hatinya lagi-lagi terpikat oleh sikap Ayu yang tulus padanya. “Iya, kamu fokus aja sama pekerjaan kamu di sana. Kebutuhan aku kan udah kamu urus jauh-jauh hari, Sayang.” Ayu dan Marcel kini bak suami istri. Keduanya sama-sama saling melengkapi. Marcel yang tidak keberatan dikuras hartanya untuk Wanita tercinta dan Ayu yang suka rela memberikan dirinya seutuhnya pada Marcel sebagai imbalan hidup mewahnya. Marcel memeluk Ayu dari belakang, tangannya melingkar di pinggang Ayu. Mendekap kekasih gelapnya itu sembari mencium aroma yang akan dia rindukan satu minggu ke depan. “Aku yakin kamu pasti sukses! Jangan nakal loh, setelah ditinggal aku?!” kata Marcel sembari melayangkan kecupan di leher dan pipi Ayu bergantian. Ayu yang geli terkekeh saja, menganggap tingk
Jovan mondar mandir di depan pintu utama rumah Keluarga Wicaksono. Kini rutinitasnya setiap hari tidak lagi mencari-cari lowongan kerja di portal tetapi bersidekap dada menunggu istrinya pulang. “Ini sudah jam 10 malam, ke mana dia jam segini belum pulang? Kali ini apa lagi alasannya? Awas saja, jika dia pulang nanti!” geram Jovan. Setelah menunggu cukup lama, Ayu muncul dan turun dari suatu motor. Nampaknya itu adalah ojek. Benar juga, Ayu tidak difasilitasi mobil karena mobilnya sudah dijual oleh Jessica. Nampak Ayu berjalan sembari mendengus kesal melihat suaminya setiap hari menunggunya di depan pintu. Kali ini pertengkaran macam apa lagi yang akan mereka lalui? “Baru pulang kamu?” tanya Jovan. Dia berdiri di depan pintu sehingga menghalangi Ayu untuk masuk. Berdecak kesal, Wanita itu sudah tidak ada kesabaran untuk meladeni suami tidak bergunanya ini. Matanya memincing tajam, alisnya menyatu bersiap untuk meluapkan emosinya. “Minggir, aku capek. Kamu nggak bosen setiap hari
“Ayu, please … kita pulang, ya?” Jovan merosot pada pintu hotel, tak peduli pada orang-orang yang berseliweran menatapnya aneh. Biarlah kini harga dirinya jatuh. Jovan sungguh tidak tahan pada perang dingin antara dia dan Ayu.“Aku mengaku salah, Sayang. Please, kembali sama aku ya?”Di dalam sana Ayu merasa cukup jengkel sekaligus gelisah. Jovan bukanlah tipe yang akan memohon seperti ini. Dia bahkan mempermalukan dirinya sendiri.“Aku tidak percaya apa yang Adimas katakan benar. Jovan membuntutiku, beruntung aku langsung pindah ke hotel.”Bergulat dengan banyak prasangka dalam dirinya, akhirnya Ayu mengalah. Dia berjalan mendekati pintu yang tidak berhenti terketuk itu. Terpampang di sana wajah Jovan yang sudah tak karuan. Segitu kacaunya kah dia? Lantas mengapa dia tidak mencegah hal seperti ini terjadi? Kenapa selalu menyesal di akhir?Wajah Jovan sumringah setelah mendapati wajah Ayu. Sudah beberapa hari dia hanya bisa mengintili Wanita it