"Zahwa, jangan durhaka. Dia tetap Ayahmu," bentak nenek Zahwa.Aku hanya bengong, menyaksikan adegan ini. Zahwa pasti sudah menahan diri berlaku kurang ajar. Dia anak yang baik. Selalu mencintai kedua orang tuanya di atas segalanya. Namun, perbuatan Ayah memang begitu menancap di relung hati. Meninggalkan jejak luka yang tiada tara kuantitas sakitnya."Awa udah coba menahan sakit ini, Yah. Mamah selalu minta, biar Awa memaafkan Ayah. Tapi gak bisa, Yah. Gak bisa."Perlahan aku dekap anakku. Menguatkan pundaknya, agar tetap tabah. Jangan sampai Zahwa melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri. Posisiku cukup sulit. Perbuatan Zahwa memang tak elok. Sebagai anak, seharusnya dia tetap bersikap sopan. Akan tetapi, Zahwa juga punya hati. Dia harus meluapkan emosinya. Kalau terus diipendam, takut berakibat fatal. Jadi, aku tak tega kalau harus melarangnya dengan amarah juga."Ma-maafkan, Ayah, Nak. Ayah sayang sama kamu.""Hahaha, Ayah bilang Sayang sama aku? tapi, Ayah malah menyakiti Ma
"Coba kita berhenti dulu, Mah. Tau aja ada mata-matanya nenek gayung.""Pak, kita minggir dulu."Mobil bapak mertua berhenti di pinggir jalan. Kami serempak memperhatikan laju mobil itu. Ternyata dia malah melewati mobil kami. Firasatku mengatakan ada yang aneh. Namun, mobil itu sudah menjauh. Mungkin hanya pikiran buruk saja."Gas, Pak. Cuman orang iseng, atau kebetulan aja.""Siap, Mbak.""Mamah gak usah bingung gitu. Paling kebetulan tadi sejalur. Jadi, kesannya kaya menguntit.""Iya kali, ya, Nak. Lupakan sajalah. Intinya kita bakal happy-happy di rumah eyang.""Oghe, Mah.""Kamu jangan sedih lagi, Wa. Tuh, matanya bengkak kaya panda. Nanti cantiknya luntur. Malu, dong pas ketemu temen di sekolah baru.""Hehehe, iya Mah. Awa bakal ceria terus buat Mamah. Tadi tuh, kesel. Ya, jadi gitu deh.""Mamah paham sayang. Kamu boleh nangis. Asal jangan berlarut-larut, yah.""Siap Macan. Nanti kita cari cogan, Mah. Biar menyegarkan mata.""Bocil, bisa aja." Aku acak-acak pucuk kepala Awa. Sen
"Eh, iya, beneran. Ada orang mencurigakan di depan. "Orang itu terus mengamati dari luar. Dia bersembunyi di dekat pepohonan. Rumah Emak memang tidak ada pagarnya. Sama seperti rumah warga desa yang lain. Sehingga, memudahkan orang masuk atau sekedar melihat rumah ini."Ya emang beneran, Mbak. Masa kita lagi akting gitu, biar viral. Itu orang aneh dari tadi ngikutin mulu. Mana serem pakaiannya, item-item gitu.""Terus kita harus apa dong, apa lapor polisi aja?" tanyaku panik. Jangan-jangan orang itu adalah suruhan Nadia atau Mas Ilyas. Mereka pasti masih dendam kepadaku. Belum bisa mendapatkan harta warisan. Zahwa juga begitu membenci Ayahnya. Mungkin mereka geram dan bersiap merencanakan hal ekstrim."Lah, gak usah polisi-polisian, lama dan ribet. Mending kita serbu tuh, orang. Sana Mbak ambil senjata.""Se-senjata a-apa?""Ya Allah, punya Kakak lemotnya ampun-ampunan. Ambil apa aja yang bisa bikin penculik itu kesakitan.""Ok, siap-siap."Aku berlari ke dapur mencari benda yang bi
POV Ilyas"Ayah sayang sama Awa, sampai kapanpun. Maafkan, Ayah.""Ayah ... Awa ...," ucap anakku menggantung. Isak tangis, seakan menyulitkannya untuk mengungkapkan isi hati. Deburan ombak penuh duka, seakan menghantam jiwa. Air mata tak henti menetes. Entah kenapa, setelah mendengar nasihat Emak, hatiku seakan sadar. Bahwa keluarga adalah harta paling berharga. Emak bilang, agar aku memperbaiki solat, dan selalu berdoa. Memohon pengampunan atas segala kesalahan yang aku lakukan. Ada banyak hati yang terluka. Terutama Zahwa.Dari situ, aku mulai solat dengan niat yang benar. Memasrahkan semuanya pada Gusti Allah. Memohon pertolongan dan kasih sayangnya. Setelahnya, Hatiku seskan-akan tercerahkan. Setiap memandang Zahwa, rasanya tak tega. Dulu, keluarga kecil kami sangat bahagia. Jalan-jalan bersama. Makan di luar penuh Senda gurau. Kehangatan itu, begitu aku rindukan. Drat!Drat!Di tengah suasana mengharu biru, ponsel di saku celanaku berdering keras. Menggangu momen kebersamaan
POV NadiaAwalnya aku dan Mas Ilyas hanya suka mengobrol bersama karena satu tempat kerja. Membahas masa lalu kami. Statusku sebagai janda, membuatku leluasa mendekatinya. Namun, Mas Ilyas kelihatannya hanya ingin main-main denganku. Sekedar jalan berdua menghilangkan jenuh. Kami hanya akrab sebagai sahabat dekat. Namun, setelah dia diangkat jabatan menjadi manager, jiwa miskinku meronta-ronta. Aku menghalalkan segala cara untuk meluluhkannya. Sesuai info yang di dapatkan dari sahabat dekat. Aku nekat mengunjungi seorang dukun terkenal. Untuk memikat Mas Ilyas dengan ajian-ajiannya. Perjalanan jauh ke pelosok Banten, aku susuri. Melewati jalan berkelok dan rimbun pepohonan. Tarif mahal, bahkan rela aku keluarkan. Bermodal uang gajiku dalam sebulan."Berikan serbuk Bakaran mantra ini, ke dalam minuman pria yang kamu cintai. Saya jamin, pria itu akan patuh dan tergila-gila padamu.""Apa benar, Ki Selo?""Silakan dibuktikan."Kadang aku merasa bodoh, karena masih percaya hal-hal mistis
POV Ilyas"Cepat katakan Nadia!" Rahang mengeras. Hati berkecamuk antara emosi dan prustasi. Mobil kesayanganku dijual. Ditambah lagi, bukti mengejutkan yang aku temukan. Nadia sudah gila. Kenapa dia bisa jadi bod*h seperti ini."Maaf, Mas. Aku terpaksa melet kamu. Biar kamu mau nikahin aku."Duar!Kepala pusing tujuh keliling. Aku sandarkan punggung di tembok. Menjambak rambut, sambil meracau tak karuan. Ternyata benar kata Ela, beberapa bulan lalu. Nadia telah meracuniku dengan hal gaib. Tak menyangka, Nadia senekat itu. "Mas, tolong maafkan aku. Toh, kamu juga mencintaiku. Gak salah dong, kalau aku lebih mempererat hubungan kita," bela Nadia. Plak!Emosi memuncak di sanubari. Aku bangun, dan sengaja menampar Nadia. Dia telah membuatku kecewa. Bahkan, dengan sadar menghancurkan keluarga kecilku. Hidupku jadi menderita seperti saat ini. Rasa bersalah pada Ela dan Zahwa, menancap dalam di hati. Pikiran benar-banar kacau. "Mas, mau kemana kamu, Mas?"Aku ambil barang-barang musyri
POV ElaPernikahanku dengan Mas Ilyas, sudah berakhir beberapa bulan yang lalu. Sekarang, statusku resmi menjanda dengan anak satu. Memang berat, menyandang status ini. Akan tetapi, tetap aku jalani sepenuh hati. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Zahwa. Fokus menjaganya, sampai tanggung jawabku berpindah pada pria yang akan menjadi suaminya.Alhamdulilah, aku sudah bisa merintis usaha masker organik. Dari bahan rempah alami, khas daerahku. Bisnis masker kecantikan, aku tekuni baru tiga bulan ini. Memang, belum begitu menghasilkan. setidaknya, aku bisa mengembangkan ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah.Laras membantuku dibagian marketing. Sesuai jurusan kuliahnya, yakni Sarjana ekonomi. Produk ini, hanya kami jual di pasar online. Belum merambah ke bisnis reseller."Kesian banget anak Mak marni. Anak bungsunya jadi perawan tua. Anak pertamanya jadi janda. Ya ampun," kicauan Eti, tetangga desa.Ketika aku dan Laras di pasar. Untuk membeli rempah-rempah pembuatan m
"Ada apa, Mbak Ela?" tanya Mas Arya.Dia ikut bangkit, sambil celingak-celinguk mengikuti tingkahku. "Ti-tidak, Mas. Tadi kayanya ada kucing kawin.""Ah, masa, Mbak. Perasaan dari tadi gak ada suara kucing.""Hehehe, kayanya saya lagi halu, Mas. Maklum, kebanyakan membayangkan masa depan bersama cogan. Canda cogan, hihi.""Mbak Ela bisa saja," kekehnya. Bapak dosen ini, nampak bahagia bersamaku. Sedari tadi, bibirnya tak berhenti cengengesan. Heran, dia pikir aku topeng monyet? Untung ganteng, kaya opah Korea. Kalau, jelek, sudah aku tonyor dia."Ehem. Kalian kenapa berdiri di situ? lagi nunggu tukang cupang? sini duduk, Mas Arya," ucap Laras terlihat cemburu.Dia sengaja buang muka, saat aku melewatinya. Dasar adik, aneh. Kakak sendiri dicurigai. Siapa juga yang mau berebut cowok dengannya. Aku sudah cukup makan asam garam dunia percintaan. Rasanya masih trauma. Biar Bapak dosen ini, aku ikhlaskan untuk Laras saja. Semoga dia belum punya anak istri. Supaya bisa berjodoh dengan adik