Share

BAB 3

"Kenapa memangnya?" tantang Gustav begitu saja. Dilara yang mendengar pun mendongakkan kepala menatap Gustav. Di mata Gustav terlihat jelas ada luka yang menganga. "Jangan cemburu, itu hanya cerita masa lalu." sengaja Gustav memprofokasi Evan yang sedang cemburu.

"Sebaiknya kita pergi saja." ucap Dilara enggan jika harus mengorek masa lalu mereka. Di korek pun tidak akan ada perubahan apa pun. "Kita juga harus check out kan?" Dilara mengingatkan Evan agar segera kembali ke kamar untuk berkemas pakaian dan pulang mengantarkan sang ayah.

"Kami duluan." Evan berpamitan dan merangkul Dilara secara posesif. Mereka pun berjalan menjauh dari tempat yang mereka duduki tadi.

Gustav yang melihat itu melengos ada rasa tidak nyaman menghampiri dadanya, Gustav kalah langkah dari Evan. Seandainya dia bisa lebih dulu, hanya sesal yang kini bisa di lakukannya.

***

Saat mereka sedang berkemas, hp Dilara berbunyi menandakan ada pesan masuk. Melalui pop-up Dilara tau siapa si pengirim pesan.

Anonymous ["Selamat berbahagia"]

Dilara ["Kenapa kamu tidak menunjukkan dirimu?"]

Anonymous ["Jika aku menunjukkan pun apa kamu akan berlari menghampiriku?"]

Dilara ["Lupakan."]

Dilara pun meletakkan hpnya kembali di atas kasur, Evan yang melihat wajah Dilara tertekuk mulai penasaran apa yang sedang dialami oleh istrinya itu.

"Kamu kenapa?" tanya Evan kali ini nada yang keluar dari bibirnya tidak seperti sebelum-sebelumnya.

"Kenapa?" Dilara mengulang pertanyaan Evan, dan Evan menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa." jawab Dilara enggan jujur.

"Baiklah jika kamu tidak mau jujur aku akan mencari sendiri penyebab kamu seperti ini, Dil." gumam Evan dalam hati.

Evan, Gustav dan Dilara mereka adalah mahasiswa satu angkatan di sebuah Universitas Negeri di ibukota. Dilara adalah gadis desa, polos, dan lugu. Berpakaian sangat 'kuno' tapi mampu menggetarkan hati siapapun yang melihatnya tak terkecuali Evan. Selama kuliah Evan bersikap kasar kepada Dilara, dan Gustav selalu menolong Dilara.

Dan ketika Dilara mendapatkan beasiswa ke Belanda, Gustav pindah ke Aussie dan berkuliah di sana, Evan ke Korea kehidupan Dilara tidak terusik sama sekali. Karna fokus Dilara kala itu adalah belajar dan belajar.

"Kamu kenapa melamun seperti itu?" tanya Evan yang heran dengan sikap istrinya dari tadi hingga sekarang.

"Gak, apa-apa." ucapnya tersenyum tipis. Lalu mereka check out untuk pergi ke bandara mengantarkan sang bapak orang tua satu-satunya yang kini dimiliki oleh Dilara.

Sang ibu meninggal sebelum pernikahannya, saat itu pula ketidak hadiran Dilara di kantor membuat Evan kelimpungan. Evan pun menyusul Dilara ke desa. Dan tanpa diduga Evan datang untuk melamarnya, demi orang tua satu-satunya Dilara menerima lamaran Evan.

"Bapak, Dilara antar sampai rumah ya?" pinta Dilara kepada sang ayah yang sudah berada di bandara meminta ijin untuk mengantarkan ayahnya pulang.

"Kamu di sini saja, Bapak bisa pulang sendiri. Kalian berbahagialah." ucap sang Bapak yang langsung membuat Dilara menangis. Dilara peluk tubuh ringkih itu dalam tangisan.

"Bapak, Dilara hanya ingin mengantar bapak? Kapan Dilara bisa berbakti, Pak?" tanya Dilara dalam tangisan.

Evan yang melihat itu pun memberi keputusan jika mereka akan mengantar mertuanya pulang ke desa.

Evan memilih untuk duduk sendiri dan mengijinkan Dilara bermanja dengan Bapaknya.

"Untuk kali aku akan mengalah, Dilara." gumam Evan dalam hati.

***

Sesampainya di desa Dilara disambut begitu meriah oleh tetangga yang dulu sering menggunjingnya.

Dilara yang disanjung oleh tetangga-tetangganya tidaklah merasa tinggi. Dia tetaplah Dilara dengan segala kerendahan hati.

"Masuk dulu, Nak." Bapak Abraham mempersilahkan menantunya untuk masuk kedalam rumah setelah pintu di buka oleh Dilara.

"Iya, Pak. Terimakasih." ucap Evan sungkan dengan mertuanya yang sangat bersahaja.

"Kamu tidur dulu saja, Mas." ucap Dilara sewaktu membersihkan kamarnya dari debu. Lalu meninggalkan kamarnya yang telah ditiduri oleh Evan.

Evan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Dilara yang lumayan empuk itu. Sebagian uang beasiswa Dilara, ia sisihkan untuk menabung dan jika sudah cukup dia transfer ke orang tuanya. Menurut Dilara itu lah caranya berbakti kepada kedua orang tuanya.

"Kenapa kamu sekarang begitu berbeda, Dil?" gumam Evan lagi mengingat-ingat masa lalunya dan sekarang.

Jika dulu dia 'kejam', maka sekarang Dilara yang lebih dingin. Dilara yang sekarang jarang tersenyum, tersenyum pun itu karna sebuah formalitas atau sebuah senyuman tipis saja.

Hati wanita itu seperti beku. "Senyum?" gumamnya mengingat-ingat senyum Dilara. "Bahkan dia lebih dingin." ucapnya miris lagi.

Dilara masuk ke dalam kamar membawakan teh hangat untuk Evan, saat meletakkan teh tersebut hp Dilara berbunyi pesan masuk lagi.

Anonymous ["Maafkan aku"]

Dilara ["Untuk?"]

Anonymous ["Kelancanganku, mungkin?"]

Dilara yang membaca pesan itu menerbitkan sebuah senyuman di wajah. Evan yang menyadari tingkah istrinya hanya mampu berspekulasi.

"Mungkin dia sedang dengan Amara." hibur Evan dalam hati. Mati-matian Evan memendam rasa penasaran. Tapi enggan untuk bertanya hanya mampu berspekulasi.

Bukankah sebuah rumah tangga harus ada komunikasi? Apa lagi mereka menikah tidak berpacaran setelah lamaran langsung mengurus pernikahan, sangat singkat bukan?

Evan yang tidak tahu latar belakang sang istri, dan Dilara sibuk dengan dunianya yang bisa membuat dia nyaman.

"Apakah ada makanan?" ucap Evan untuk mengalihkan perhatian Dilara dari hpnya.

"Oh iya, aku pesankan dulu." ucap Dilara manatap Evan dengan senyum tipis.

Dilara mengetuk pintu kamar sang ayah tapi dari dalam tidak ada jawaban, Dilara pun berteriak dilanda panik. "Bapak, buka pintunya!" teriak Dilara dari luar.

Evan yang mendengar suara Dilara pun bangkit dari tidurnya berlari menghampiri sang istri. "Kenapa?" tanyanya yang memutar engsel ternyata pintu terkunci dari dalam.

"Bapak, Mas, Bapak ada di dalam kamar aku takut kenapa-napa." ucap Dilara parau.

Evan pun mendobrak kamar, pintu pun terbuka apa yang dikhawatirkan Dilara ternyata benar. Sang ayah sudah tertidur pulas. Dilara luruh begitu saja.

"Pak, Bapak ingin pulang apa karna begitu rindu dengan Mak?" tanya Dilara yang tidak ada siapapun yang menjawab. Evan merangkul sang istri dan tetangga datang berkerumun untuk melihat apa yang terjadi.

Malam yang penuh kejutan bagi Dilara, hari kemarin adalah hari pernikahannya dan sekarang dia kehilangan orang tua satu-satunya.

Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata anak semata wayang dan sebatang kara itu.

Setelah prosesi pemakaman sang ayah, Dilara termenung. "Apakah aku sudah menjadi anak berbakti? Kenapa Mak dan Bapak tega meninggalkan aku?" ucap Dilara yang mampu di dengar oleh Evan.

"Dil, bagaimana kalo besok kita kembali ke kota saja?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status