.
"Nggak mau. Aku kan masih kangen sama kamu. Masa gandeng tangan suami sendiri nggak boleh!" Aku pura-pura merajuk.
"Manis banget istrinya Mas kalau lagi ngambek!" Mas Ibnu mengusap lembut pipiku.
Cup!
Bibir laki-laki itu tiba-tiba mendarat di kening. Aku menatap manik hitam suamiku, ternyata getaran cinta di hatiku masih ada, bahkan terasa masih kuat. Apalagi kalau dia memperlakukan aku dengan manis seperti ini, walaupun aku tahu semua hanya sandiwara untuk menutupi kebusukannya.
"Ayo masuk!" ajaknya ketika kami sudah sampai di depan kamar Lusi.
Aku terus merangkul lengan suamiku, dan kentara sekali kalau dia merasa risi ketika masuk dengan mode seperti ini.
"Assalamualaikum!" ucapku tanpa melepas tangan Mas Ibnu.
Ibu yang sedang berbaring di sofa langsung menjawab salam dan tersenyum mel
Aku membuka mata dan segera turun dari tempat tidur karena sang muadzin sudah mengumandangkan adzan subuh.Gegas aku masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur tubuh menghilangkan hadas besar dan lekas membangunkan Mas Ibnu."Memangnya jam berapa, May?" tanya Mas Ibnu seraya menggeliat seperti ulet keket."Udah subuh. Ayo mandi. Kita sholat berjamaah. Sudah lama loh, kita nggak sholat bareng-bareng!" Sahutku seraya mengenakan pakaian."Mas absen dulu ya." Dia kembali membungkus tubuhnya dengan selimut."Berarti nanti malam absen tidur di kamar ini juga ya. Aku nggak mau tidur bareng sama orang yang nggak mau sholat!" pungkasku."Iya deh. Sekarang jadi doyan ngambek istrinya Mas!" Dia mencolek daguku.Aku mendengkus kesal karena wudhuku jadi batal.Pagi ini, setelah sekian lama akhirnya kami bisa sholat berjamaa
"Kok melamun?" tanya Mas Ibnu menarikku dari lamunan."Nggak, Mas. Ya sudah aku kerja dulu. Kamu hati-hati di jalan." Membuka pintu mobil dan lekas keluar.Aku melambaikan tangan ketika Mas Ibnu membunyikan klakson dan menggerakkan kendaraan roda empat miliknya menjauh."Wah, Bu Mayla cantik sekali hari ini," puji Andita yang ternyata sudah berada di teras toko."Gombal kamu, An!" sahutku seraya mengambil anak kunci dari dalam tas."Tadi suaminya Ibu?""Iya, An." Mengulas senyum."Romantis banget ya."Alisku bertaut mendengar dia bilang suamiku romantis. Jangan-jangan, Andita tadi melihat Mas Ibnu mencium bibirku?Biarlah, dia kan suamiku. Dan masih halal melakukan apa saja denganku.***"Fik, tolong kirim ra
"Iya, May. Maaf. Aku benar-benar nggak tahu." Mas Ibnu menggengam jemariku dan mengecupnya dengan lembut. Aku mlepas sabuk pengaman karena kami sudah sampai di parkiran pusat perbelanjaan. Mas Ibnu menggadeng tanganku mesra menuju toko perhiasan yang lumayan cukup besar dan bagus-bagus sekali modelnya. "Waw.... inikan yang Bram fotoin ke aku tadi siang...." Aku menatap kagum sebuah kalung limited edition bertahtakan berlian yang terpajang di etalase. "Ta–tapi, itu harganya terlalu mahal, May." Mas Ibnu tergagap melihat harganya. Ah, tapi masa iya, dia tidak punya uang sebanyak itu. Kayanya kalo dia beli sepuluh biji barang seperti itu juga dia mampu, deh. Kan aku tahu gaji dia itu lumayan gede, ditambah lagi tunjangan-tunjangan yang dia dapat dari perusahaan. "Kok, melamun?" Mas Ibnu mengusap lembut wajahku. Aku menyu
"Lus, Lusi!" Aku membangunkan Lusi yang masih terlelap di balik selimut."Apaan sih, May. Aku masih ngantuk!" Perempuan berambut keemasan tersebut langsung membungkus kepalanya dengan selimut."Bangun, udah siang.""Aku mau membatalkan perjanjian itu, May. Aku nggak kuat!" Lusi menyibak selimut dan turun dari tempat tidur."Oke, kita bicarakan nanti di luar. Kamu mandi dulu. Bau banget!" Mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung.Tanpa banyak basa-basi aku keluar dari kamar dan menghapiri Mas Ibnu yang sedang duduk membaca koran."Kenapa, May? Kok mukanya dilipet begitu. Cantiknya ilang tau!" Mas Ibnu mencubit pipiku."Memangnya aku cantik? Bukannya aku buruk rupa, wajahnya mbosenin dan keliatan tua!" sahutku kesal.Entahlah, akhir-akhir ini ruang emosiku lebih tinggi dan sulit sekali untuk terkendali. Moodku mudah se
Kini ia memekik kesakitan, dan aku tidak perduli. Rasanya api amarah di hati kian membara. Aku ingin dia tahu kalau aku ini bukan sosok wanita yang lemah dan mudah ditindas."Ada apa ini?!" tanya Mas Ibnu sambil menatapku lalu bergantian menatap Lusi."Kamu tanya saja sama wanita murahan itu, Mas!" sahut Lusi sambil menunjuk ke arahku.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Lusi."Ibu kok malah tampar aku?!" protes Lusi seraya memegangi pipinya yang merah karena kena tampar ibu mertua."Mulut kamu dijaga, Lusi. Kamu jangan sekali-kali ngatain mantu Ibu wanita murahan. Karena dia itu wanita baik-baik!" hardik Ibu menatap bengis wajah cucunya.Aku tersenyum penuh kemenangan melihat Ibu selalu membelaku. Terlebih lagi, Mas Ibnu hanya diam tanpa berkata apa-apa ataupun membela gundiknya. Dasar laki-laki
Astaghfirullahaladzim. Kalau saja tidak sedang berada di rumah sakit, sudah kujambak rambut emasnya itu. Akan tetapi aku masih punya adab. Aku tidak mau membuat keributan di tempat umum, apalagi rumah sakit seperti ini.Seorang dokter berwajah cantik keluar dari ruangan pemeriksaan dengan wajah murung. Aku segera menghampirinya dan menanyakan keadaan ibu."Maaf, Bu. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Bu Hafsah. Tapi, karena pembuluh darah di otaknya pecah, Bu Hafsah tidak bisa kami selamatkan. Apalagi tadi Keluarga pasien sedikit terlambat membawa Ibu Anda ke rumah sakit. Ditambah lagi Bu Hafsah memiliki riwayat darah tinggi serta stroke. Ibu yang sabar ya. Mungkin Allah lebih sayang kepada Bu Hafsah." Dokter bermata sipit itu menepuk-nepuk pundakku.Lututku mendadak lemas mendengar kabar tersebut. Aku tidak percaya kalau Ibu sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.Dengan
Ekor mataku melirik ke arah Mas Ibnu yang sedang duduk diam di sebelah Abraham. Mata laki-laki yang sudah menikahiku selama dua belas tahun itu terus saja basah. Dia terlihat sangat terpukul dengan kepergian ibu yang secara mendadak ini.***Setelah menempuh perjalanan hampir lima jam, akhirnya rombongan pengantar jenazah sampai juga di pelataran rumah Ibu. Semua keluarga serta tetangga sudah menunggu, begitu juga Mbak Salamah–ibunya Lusi. Aku turun dari mobil dan langsung menggadeng tangan Mas Ibnu masuk ke dalam rumah."Kamu jangan gandeng-gandeng Mas Ibnu di depan umum, Mayla!" teriak Lusi membuat perhatian semua pelayat langsung tertuju kepadanya.Mas Hansa menarik kasar tangan Lusi dan mengajaknya masuk. Wajah laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu terlihat merah padam, mungkin dia merasa malu melihat kelakuan anaknya yang suul adab.
Dengan perasaan tidak karuan kuputar gagang pintu kamar itu, akan tetapi sepertinya mereka sengaja menguncinya dari dalam. Gegas mengambil gawai, menghubungi Abraham dan meminta pria bertubuh jangkung itu datang ke rumah almarhumah ibu."Ada apa, May?" tanya Abraham sembari mengatur nafas. Sepertinya dia kesini dengan berjalan kaki, karena jarak antara rumah ibu dan rumah orangtuanya tidak terlalu jauh."Ssstt!" Menautkan telunjuk di bibir."Kayaknya Lusi sama Mas Ibnu ada di dalam, Bram!" bisikku.Tanpa aba-aba dan menunggu perintah dariku, Abraham langsung mendobrak pintu tersebut, sehingga membuat mata dua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu terbelalak kaget."Binatang kamu, Mas. Makam ibu saja masih basah. Dia baru sehari pergi meninggalkan dunia ini, kamu malah sudah mau berzina lagi sama perempuan ular ini. Di mana otak dan pikiran kamu, Mas. Apa kamu nggak mikir perasaan