Ketika Vivi bingung memilih sepatu yang mana, Albi datang dari belakangnya. Lelaki itu mengeluarkan sepasang high heels dari lemari kaca di depan Vivi, dengan senyum lembutnya kemudian Albi berjongkok di depan kaki Vivia."Albi, apa yang kau lakukan? Orang-orang melihat kita." Vivi sangat terkejut sampai memundurkan tubuhnya, saat dia rasakan tangan Albian baru saja menyentuh pergelangan kakinya. Matanya awas menatap pelayan toko di dekat mereka, takut jika pelayan itu berpikir Vivia memperlakukan lelaki tidak sepantasnya. "Ada apa? Aku menyakitimu?" Alih-alih bertanya, Albian justru mengeluarkan pertanyaan, dia tatap Vivi dengan kepala mendongak ke atas."Bukan, bukan." Vivi membuat gerakan 'tidak' dengan tangannya. "Maksudku, berdirilah, orang-orang memperhatikan kita.""Tapi aku ingin mengenakan sepatu untuk istriku. Kenapa harus peduli dengan tatapan orang? Ke sini, biar aku bantu mengenakan sepatumu."Albi meraih pergelangan kaki Vivia lagi. Meski wanita itu sudah berusaha menol
Pernikahan mereka memang tidak seperti pada umumnya, dan acap kali Vivia harus menahan hati melihat sikap Albi yang selalu menghindar. Tapi meski begitu, Albi adalah seorang menantu yang selalu bersikap sopan di depan kedua orang tua Vivi. Bahkan meski tak melakukan kesalahan, Albian akan mengonfirmasi segala sesuatu di depan orang tua Vivi. Lantas, ketika kali ini Albi melakukan kesalahan yang bisa disebut cukup besar, apakah tidak ada pikirannya untuk menemui keluarga Vivi? Albi bahkan tidak ucapan terakhir yang Vivi lontarkan, seakan tidak ingin membahas tentang malam itu.Selagi Vivia sibuk menebak isi kepala suaminya, Albian sudah membawa mobilnya menuju rumah kediaman mertuanya. Vivia bahkan tidak sadar saat Albi menghentikan mobil itu, turun dan kemudian membukakan pintu untuk istrinya.“Kita sudah sampai, bukannya kau bilang kita harus bertemu ayah dan ibu mertua?” ucap Albi, menyadarkan Vivia dari pikiran panjangnya.Benar saja, ketika Vivi memendar pandangan ke depan, ia bi
“Selamat pagi, Vivia!”“Pagi, Lovita!”“Wah, Ibu Vivia kita tampaknya sedang sangat bahagia, wajahnya sangat bersinar,” puji wanita berwajah teduh itu, rekan Vivia di komunitas pejuang hak perempuan, yang mereka dirikan bersama ibu bayangkari lainnya.Vivi mendengar pujian itu semakin melebar saja senyumnya, mengiyakan bahwa hatinya memang tengah berbahagia.“ Lovita, kau bercanda? Bagaimana mungkin Vivi berbahagia setelah pestanya yang berantakan? Jangan menyindirnya secara halus, Vivia bisa semakin sedih.” Teman lainnya berbisik mengingatkan Lovita, tapi cukup jelas terdengar di telinga Vivi, dia tetap tersenyum seakan tidak peduli dengan anggapan mereka tentang pestanya.Kenapa harus peduli? Toh, karena pesta yang berantakan itu hubungan pernikahannya menjadi lebih baik sekarang. Vivi bahkan berpikir akan berterima kasih atas hancurnya pesta itu, sebab Albi yang tadinya dingin kini menjadi suami yang sangat perhatian.“Suamiku pergi menangkap pelaku penusukan, aku rasa kalian sudah
“Ah, akhirnya dia datang.” Lovita menatap Vivia kembali dan berkata, “ Vivi, bukankah dia yang merancang gaun pestamu? Kalian pasti sudah banyak berdiskusi untuk gaun itu.”“Tidak.” Refleks Vivia menolak Shera menjadi desainernya. Rumah tangganya sudah membaik, tidak akan dia hancurkan kebahagiaan baru ini hanya karena kedatangan perempuan itu lagi! “Aku tidak akan berurusan dengan dia!”“Apa? Lantas, kau akan mencari desainer baru dalam satu hari? Ayolah, Vivia, aku tahu kau seorang yang perfeksionis, dan kau akan merusak tampilanmu dengan desainer yang belum pernah kau pakai jasanya? Sedangkan Nona Shera, kau sudah melihat hasil kerjanya, dan semua orang memuji gaunmu sangat cantik malam itu.”“Jika aku bilang tidak, kenapa kau memaksa? Apa kau yang akan memakai jasanya? Lantas, kau ambil saja dia untukmu!” sahut Vivia menatap tajam ke arah Shera.Semua orang tahu, bukan Vivia tidak menyukai hasil kerja Shera. Tapi hanya Shera yang tahu apa alasan perempuan itu berkeras tidak ingin
Lihatlah betapa memerah wajah Vivi sekarang. Hanya dengan Shera membalikkan semua ucapannya tempo hari saja, perempuan itu sudah terlihat sangat marah sampai matanya melotot akan keluar dari rongganya. Tapi entah lah... memandang wajah Vivia seperti ini... kenapa justru semakin membuat Shera ingin berbicara panjang? Ia tak bisa diam dan menunggu Vivi mengumpulkan alasan untuk menampik.“Astaga... aku tidak percaya. Seorang putri keluarga terpandang, memiliki karier cemerlang dan keluarga pemegang kuasa. Bisa-bisanya merasa takut suaminya akan berpaling pada perempuan miskin dan yatim piatu ini, bagaimana bisa? Aku ingat, bukankah kau berkata karier suamimu ada di tanganmu? Lantas kenapa kau harus takut dia akan tergoda hanya karena bertemu denganku?”“Tutup mulutmu!” sentak Vivi, tangannya melayang ke atas dan bersikap akan menampar. Beruntung Shera mundur lebih cepat, sehingga tangan itu tidak sempat mengenai wajahnya.Hanya begitu saja, dia sudah terlihat sangat marah? Apa kab
“Shera, apa yang kau bicarakan? Kumohon, segera keluar dari sana sebelum Vivi melihatmu.”Dia sangat khawatir, terdengar dari nada suaranya saat memperingatkan. Kenapa dia harus setakut itu? Seakan Vivia adalah hantu yang harus ditakuti. Ketika itu pun pintu kembali terbuka dan menunjukkan Vivia yang berdiri menatap Shera.“Kau datang ke sini untuk bekerja atau menelepon?” Vivi lemparkan agenda pada Shera. “Ini! Baca baik-baik jadwal itu dan siapkan pekerjaan yang belum diselesaikan oleh Lewin!”Bukannya memutus panggilan dari Albi, Shera dengan enteng berbicara di dalam telepon.“Sayang, atasanku sudah datang. Aku bekerja dulu, ya, nanti kita lanjutkan bicaranya.” Nadanya dibuat sangat lembut dan manja, sedang matanya lurus menatap Vivi.“Shera! Shera, apa yang terjadi di sana?”Suara Albi masih sempat terdengar oleh Shera sesaat sebelum memutus panggilan dari Albi. Ia kemudian fokus pada Vivi. Dua pasang mata mereka saling menatap tajam seakan mata itu tengah saling bicara.‘Siapa y
“She, apa yang terjadi di sini? Kau tidak bersungguh-sungguh bekerja dengan....”“Dia membutuhkan desainer yang baru, lalu kemudian memilih aku. Apakah itu salah?” sela Shera memotong kalimat Albi. Sangat santai ia letakkan agenda milik Vivia, lantas ia berdiri menghampiri Albi di dekat pintu. Sebelah tangannya mendarat di dada bidang Albian, menyentuh lelaki itu sangat lembut. Shera menatap mata Albi dalam, ada kerinduan yang ia pancarkan dari maniknya yang sayu.“Aku merindukanmu, Bi. Aku rindu sentuhanmu seperti malam itu.”Terasa ingin gila Albi mendengar kata-kata itu Shera ucapkan. Nadanya yang lembut dan sedikit mendesah tidak Albi pungkiri membuat hasratnya tergugah. Apalagi jemari Shera yang semakin menjalar ke atas, mampu menghilangkan kesadarannya sekejap.Akan tetapi, Albi segera tersadar. Saat ini keduanya di ruangan milik Vivi, tidak sepatutnya ia biarkan Shera merambatkan tangan sampai ke lehernya.“She, jangan aneh-aneh. Kau tahu ini ruangan Vivi, dia bisa saja tiba-ti
Albian sampai tersedak oleh napasnya sendiri. Vivia mendengar pembicaraan mereka dari luar?Benar. Sudah lebih dari lima menit Vivi berdiri di balik pintu dan mendengarkan perbincangan dua orang di hadapannya itu.Mengetahui Albi mencarinya, Vivi buru-buru ingin segera bertemu dengan Albi. Hatinya sangat berbunga-bunga, ada rasa bangga yang begitu besar Vivia rasakan kala mengetahui Albi merindukan dirinya. Tapi saat akan membuka pintu, tiba-tiba saja Vivia mengurungkan niat.Ada rasa ingin tahu yang tiba-tiba merongrong hati Vivi.Apakah dugaannya benar, bahwa selama tujuh tahun ini Albian tidak bisa melupakan Shera? Dan oleh rasa ingin tahu itu ia memilih diam di balik pintu, memastikan dugaannya pasti salah.Nyatanya, Vivi yang salah. Semua perlakuan Albi selama beberapa hari ini hanya kebohongan untuk menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya Albi memang masih mengharapkan Shera. Bahkan... ingin bermalam di rumah perempuan itu? Dadanya sangat sesak menyadari diri diperbodoh oleh suami