“Vivia, Vivia, tunggu!”“Vivia, kau harus mendengar penjelasnku.”Albian berusaha mengejar istrinya yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan itu. Sejak tadi Vivi berteriak menyuruhnya keluar, tapi Albi tidak bergerak sama sekali. Lebih baik Vivi yang memilih pergi daripada melihat wajah dua orang yang sangat ingin ia bunuh detik ini juga.“Via, Vivia!” Albi tarik pergelangan tangan Vivi sampai perempuan itu terpaksa menghentikan langkahnya. “Vi, dengarkan aku dulu. Kau tidak bisa mengambil keputusan begitu saja, hanya karena aku menghentikanmu membunuh Shera.”“Lantas, aku harus menjadi saksi betapa menjijikkannya kalian berdua? Aku harus bertahan dengan suami yang hanya memanfaatkan diriku saja? Albi, sadar dirilah sedikit! Masih banyak laki-laki di luar sana yang berharap menikah denganku, tapi aku memutuskan memilihmu!” pungkas Vivia terus terang.Ia cantik, anak seorang jendral dan memiliki beberapa saham di dunia bisnis. Vivia juga anak tunggal, sudah tentu seluruh aset keluarg
“Apa yang kau bicarakan, Bi? Kenapa kau berkata seperti itu di telepon? Vivia setuju bercerai denganmu? Atau kau yang memaksa dia untuk bercerai?” Rentetan pertanyaan dari Shera sama sekali tidak dijawab lelaki itu. Albi sibuk menyetir mobilnya, menatap fokus ke depan sana seakan Shera tidak pernah berada di sebelahnya. Gadis di sisinya itu membutuhkan penjelasan atas ucapan Albi di dalam telepon tadi. “Albi, katakan sesuatu. Kau yakin akan menceraikan istrimu?” Bagaimana mungkin Vivi menyerah secepat itu? apakah benar perkataannya di ruangan tadi, bahwa Vivi akan bercerai dengan Albian? Melihat betapa gigihnya Vivi ingin menunjukkan bahwa Albi hanya miliknya, rasanya tidak akan secepat itu Vivia bercerai. Sampai rambutnya botak pun, Shera tidak yakin Vivia benar-benar mau bercerai dengan Albi. “Albi, jangan hanya diam. Kau harus menjelaskan padaku, apa benar kalian akan bercerai? Kau memaksanya?” “Aku tidak memaksanya, She, dia yang ingin bercerai dariku.” Albi sangat frustasi ak
Setelah mengantarkan Shera, Albian bergegas kembali ke rumahnya bersama Vivi. Ia tak mau hancur sendiri. Seperti kata Shera, Albi berhak mendapatkan apa yang sudah ada di tangannya sekarang. Jika Vivi bisa mengancam, kenapa tidak dengan Albi?Namun, ketika ia memasuki pekarangan rumah besar itu, Albi terkejut melihat pemandangan di depan pintu. "Apa yang dilakukan perempuan itu?" Albi bertanya sendiri, seulas senyum muncul di bibirnya. Segera ia parkirkan mobilnya dan buru-buru menghampiri Vivia dan beberapa asisten rumah tangganya."Kau sudah berkemas? Jadi, kau yang akan meninggalkan rumah?" kata Albi, berpikir Vivi mungkin memilih meninggalkan rumah dan segala isinya. "Apa?" "Tidak, aku tidak akan menghentikanmu. Meski rumah ini pemberian orang tuamu, sudah sepatutnya memang aku yang mendapatkannya. Tapi sebelum kau pergi, banyak yang harus kubicarkan."Vivia tertawa sumbang. Sangat lucu ia rasa perkataan suaminya yang... sangat tak tahu malu."Ini barang-barangmu, aku sudah men
Albi gila! Ia adalah laki-laki gila yang tak punya rasa malu sedikit pun. Ketika dirinya sudah ketahuan curang dalam pernikahan pun ia masih sanggup mengancam kembali istrinya. Sungguh Vivia tidak menduga suami yang selama ini bersikap biasa saja, ternyata memiliki hati yang sangat kejam. Vivia salah... Albi tidak selemah yang ia lihat selama ini."Tidak... dia tidak boleh mengancamku seperti ini," bisik Vivi kalut. Jika selama ini Albi lah yang selalu ia tekan oleh ancaman, sekarang busur itu seperti berbalik arah menyerangnya. Vivia sangat frustasi oleh bukti rekamanan yang dimiliki Albi. Dengan adanya itu, ia tak bisa melakukan apa pun sekarang. Hingga hari sudah beranjak malam, Vivi masih duduk di kursi teras rumahnya, sifat arogan dan penuh percaya dirinya sudah luntur setelah dengan bodoh terjebak ucapan sendiri. Bercerai dan merelakan Albi hidup bahagia dengan Shera, adalah sesuatu yang tak ingin Vivi pikirkan. Karier Albi harus hancur, barulah Vivi bisa lega melepaskan lelak
"Nona Shera, apa yang terjadi di ruangan Ibu Vivi kemarin? Kami mendengar ribut-ribut di dalam sana. Dia bertengkar dengan suaminya?" "Benar, kami mendengar sepertinya Ibu Vivi menyebut-nyebut cerai dan perempuan lain. Apakah Pak Albian berselingkuh?"Shera dihujani pertanyaan oleh rekan-rekan kantor. Seperti lalat diberi sampah mereka berebut berbicara, bahkan terang-terangan mempertanyakan hal yang sangat sensitif. "Apa? Um... aku tidak paham pertanyaan kalian," sahut Shera berpura bodoh. Tidak mungkin ia terang-terangan menceritakan pertengkaran yang terjadi di ruangan Vivia, namanya akan terseret-seret dan dipandang sebagai gadis murahan, andai mereka tahu bahwa Shera sendiri lah biang dari pertengkaran itu."Ah ... jangan bercanda, Nona Shera. Kami yang di sini saja bisa mendengar meski tidak jelas, sedangkan kau ada di sana bersama mereka. Tidak mungkin kau tuli dan buta, tak tahu mereka membicarakan apa, kan?" kata yang lain menimpali.Wanita bernama Artha mendekati Shera, l
Tak bisa Shera tampik keterkejutan di wajahnya. Ia yakin Albian berkata ia akan bercerai dan atas permintaan Vivi, tapi apa yang baru saja Vivia katakan sangat berbanding terbalik.Apakah ini hanya akal-akalan Vivi saja, agar namanya tidak menjadi buruk di kantor? Ya... Shera berpikir, Vivia mungkin ingin mempertahankan posisinya di kantor ini agar tidak pernah tersingkirkan oleh yang lain. Vivi memang licik, bahkan ketika sebentar lagi ia akan menyandang status janda, posisi sebagai pembicara utama masih menjadi obsesinya.Persetanlah dengan semua itu. Mau Vivia menjadi apa pun, itu bukan urusan Shera. Tujuannya adalah, membuktikan pada perempuan itu bahwa dirinya masih bisa merebut Albian!“Shera, kenapa hanya diam? Semua orang menunggu jawabanmu,” kata Vivi, menarik Shera dari pikiran panjangnya tentang kelicikan perempuan itu. Shera mengembus napas sesaat sebelum memberikan jawaban.“Sejak awal aku katakan, aku tidak peduli dengan urusan orang lain. Tapi karena Ibu Vivi berkata de
“Albi, apa maksudnya ini? Bukankah katamu akan bercerai dengannya? Kau membohongiku? Kau tidak jadi bercerai dengannya?”Di dalam telepon, Shera mengamuk pada Albian. Ia sangat kesal akan perkataan Vivi yang tidak akan menyerahkan Albi padanya. Hatinya sangat gemas sampai tak sanggup untuk tidak segera menghubungi Albi.“Apa yang kau bicarakan, She? Tentu saja kami akan bercerai,” sahut Albi dari kejauhan.“Kau ingin berbohong lagi? Perempuan itu sendiri yang berkata kalian tidak akan bercerai!” cecar Shera semakin geram.“Tunggu... kapan dia berkata demikian?”“Baru saja. Dia berkata tidak akan pernah menyerahkanmu padaku, bagaimana kau masih bisa terus berkilah?” kata Shera semakin kesal. “Atau kau merencanakan sesuatu di belakangku?” sergah Shera. Jangan sampai Albian membohonginya untuk kedua kali.“She... sejak kemarin sore aku bahkan tidak bertemu dengannya, bagaimana mungkin dia berkata kami tidak jadi bercerai? Percakapan terakhir sudah aku putuskan kami akan bercerai!”Ada ya
Selama berganti pakaian dibantu Shera, Vivia menutup mulutnya rapat-rapat, seakan bibir itu diberi lem perekat yang sangat kuat. Tidak seperti biasanya yang selalu banyak komplain, menyalahkan apa pun yang Shera lakukan. Vivi terlihat sangat tenang, bagai tak pernah ada masalah antara dirinya dan Shera.‘Tumben sekali mulutnya bisa diam,” pikir Shera. Biasanya, jika pun Vivi tidak komplain soal pakaian, ia akan menyindir atau bahkan menghina secara terang-terangan.Ataukah mungkin perempuan itu resah memikirkan kekalahannya? Mungkin, Albian sudah menghubunginya dan menegaskan bahwa mereka bercerai. Tentu saja Vivi sangat malu untuk melontarkan kata-kata hinaan seperti yang sudah-sudah.‘Baguslah kalau begitu. Itu tandanya, dia cukup sadar diri!’ Shera tersenyum miring, membayangkan betapa hancurnya hati Vivi sekarang.“Ada yang lucu?”Setelah sekian menit hanya diam, mulut itu akhirnya terbuka. Shera menggerdik bahu acuh.“Kau menertawakanku?”“Bahkan aku tidak bersuara sejak tadi, k