Share

Suara Ketukan Di Pintu

Karenina melangkah dengan cepat. Dia ingin segera meninggalkan rumah makan. Segera, dia menuju mobil yang terparkir di halaman rumah makan.

Ayah dan ibunya saling pandang kebingungan. Melihat Karenina yang terlihat begitu tergesa-gesa. Namun, mereka lebih memilih diam dan mengikuti langkah Karenina.

Mobil melaju pelan di jalan yang masih berbatu. Suara hening menyelimuti sepanjang perjalanan pulang. Sampai akhirnya, Pak Jeremy memulai pembicaraan.

"Karen, kenapa kamu pengen cepat-cepat pulang?" tanya ayah Karenina.

"Aku takut, Pa," sahut Karenina.

"Takut apa?" tanya ayahnya penasaran.

"Kalian bilang di rumah makan banyak orangnya. Tetapi, aku cuma liat 3 orang pengunjung. Belum lagi, ada orang berwajah pucat dari arah dapur," jelas Karenina.

Pak Jeremy dan Ibu Renata bingung dengan jawaban Karenina. Jelas mereka melihat, bahwa rumah makan memang sedang ramai.

Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah kendaraan melaju kencang ke arah mereka. Seketika itu juga, tabrakan tak bisa terelakkan. Beruntung, Pak Jeremy sempat membanting setir, mengurangi efek kecelakaan.

"Uh, sa ... sakit," keluh Karenina.

"Ayo, kita keluar pelan-pelan," kata Pak Jeremy seraya mendorong pintu mobil.

Orang-orang berlarian menghampiri ke arah mereka. Beberapa orang, sibuk mengabadikan kecelakaan tersebut dengan kamera ponsel.

"Sialan, bukannya bantuin malah bikin video. Engga di kota, engga di desa, sama aja!" gerutu Karenina sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Karenina bersandar ke sebuah kursi, dibantu oleh orang-orang sekitar. Darah segar mengalir dari pelipisnya. Ayahnyanya terlihat terluka di tangan. Sedangkan Ibunya, direbahkan ke teras rumah warga karena pingsan.

"Kegelapan tengah menyambutmu. Tuntaskan masa lalu agar mereka melepaskanmu," ujar seorang lelaki tua pada Karenina.

"Ma ... Maksudnya apa?" tanya Karenina heran.

"Ini hanyalah awal. Akan datang lebih banyak teror. Segera ungkap masa lalu yang mengikatmu." Lelaki tua berpakaian ala jagoan bahari itu merapal sesuatu. Lalu, dia meniupkan napas ke arah Karenina.

"Apaan, sih?! Ga jelas banget!" sahut Karenina ketus.

Lelaki tua itu pun, meninggalkan Karenina yang masih kebingungan. Karenina tak bisa menangkap maksud ucapan bapak tua tersebut. Namun, tak lama kemudian, sosok tersebut sudah tak terlihat lagi.

*****

Karenina segera merebahkan badannya ke kasur. Seluruh badannya terasa sakit akibat tabrakan sore tadi. Beruntung, warga sekitar sigap menolong. Sehingga dia bisa langsung mendapatkan tindakan pertama. Jika tidak, tentu cedera yang semula ringan bisa menjadi fatal.

Pikiran gadis manis ini kembali terusik. Ucapan si bapak tua begitu membekas di ingatannya. Saat itu, dia masih terkejut akibat kecelakaan. Lalu, tiba-tiba didatangi oleh lelaki tua berpakaian aneh.

Ditambah, tak ada seorang pun yang melihat lelaki tua tersebut. Kata orang-orang, Karenina berbicara sendiri. Warga sekitar pun mengira, Karenina meracau akibat shock karena kecelakaan. Sungguh di luar nalar, pikir Karenina.

"Tok Tok Tok"

Terdengar suara ketukan dari pintu. Segera, Karenina melangkah ke arah pintu kamarnya. Saat dibuka, tak ada seorang di sana.

"Mungkin aku salah dengar," kata Karenina, lalu berjalan ke arah ranjang, setelah dia menutup pintu kamar.

Karenina mengganti bajunya dengan piyama tidur. Dia harus segera tidur, agar besok tidak bangun kesiangan. Besok adalah hari pertamanya bersekolah di desa Sinsani.

Tak lama kemudian, Karenina sudah mulai mengantuk. Samar-samar, terdengar bunyi ketukan dari arah lemari. Namun, Karenina tak memperdulikannya. Rasa kantuk begitu membelenggu. Setelahnya, dia sudah tertidur dengan lelap.

"Tok Tok Tok"

Suara ketukan kembali terdengar saat tengah malam. Karenina di antara rasa kantuknya, melangkah ke arah pintu. Saat membuka pintu, lagi-lagi tak ada orang didapatinya.

Keesokan harinya, Karenina telah siap dengan seragam barunya. Dia mengikat rambut dengan gaya ponytail. Sedikit mengoleskan liptint pada bibir, membuat penampilannya terlihat segar.

"Pagi, Pa, Ma," sapa Karenina.

"Pagi. Kamu yakin untuk tetap sekolah hari ini?" tanya Pak Jeremy.

"Iya. Setelah istirahat semalam, badanku sudah kembali segar," jawab Karenina.

Karenina beserta orang tuanya lalu sarapan bersama. Sepiring nasi goreng disuguhkan di hadapan masing-masing. Selesai makan, Karenina segera memakai sepatu miliknya. Dia akan diantar oleh Pak Jeremy ke sekolah.

"Ma, aku berangkat, ya," kata Karenina seraya mencium tangan ibunya.

"Hati-hati," sahut Renata—ibunya Karenina.

"Tenang, engga akan kecelakaan kaya kemarin," sahut Jeremy, seraya mengacungkan dua jempol.

Pak Jeremy mengambil kunci mobil di meja. Untungnya, dia memiliki dua mobil. Sehingga tak perlu menunggu perbaikan mobil yang satunya. Sebagai orang kaya, dia memang biasa membeli banyak mobil. Namun, yang dibawa ke desa hanya dua buah.

*****

"Jadi, kamu tinggal di mana?" tanya perempuan berambut sepinggang pada Karenina.

"Di jalan Germai, rumah kayu lantai dua, yang di depannya ada pohon mangga," jawab Karenina.

"Hah? Jalan Germai? Rumah kayu lantai dua? Bu ... bukannya itu rumah angker, ya?" kata Tania—perempuan berambut sepinggang— ketakutan.

"Angker? Engga, ah. Aku enak-enak aja tinggal di situ," sahut Karenina.

"Udah. Jangan ganggu anak baru. Bentar lagi masuk pelajaran kedua," tegur Adrian. Sepintas Adrian menatap Karenina, lalu kembali ke tempat duduknya.

Saat istirahat, ramai anak sekelas berusaha berkenalan dengan Karenina. Karenina menanggapi semua dengan ramah. Namun, mereka ketakutan saat tahu di mana dia tinggal.

Karenina kebingungan dengan sikap teman sekelasnya. Mereka ketakutan, tapi tak memberi tahu apa alasannya.

"Kata orang-orang, dulunya di rumahmu itu pernah terjadi praktek ilmu hitam. Tumbal anak," kata Celline—teman sebangku Karenina.

"Anaknya diapain?" tanya Karenina.

"Entah. Engga ada yang tahu pasti. Tapi, katanya, ada satu anak yang berhasil selamat. Sayangnya, engga ada yang mau cerita sampai akhir," lanjut Celline menjelaskan.

"Aaaaaa."

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah luar kelas. Segera, Karenina dan Celline mendatangi arah suara. Terlihat beberapa anak perempuan tengah kesurupan.

Karenina yang baru pertama kali menemui hal itu langsung panik. Dia ketakutan, saat melihat siswi di sekolah barunya menjerit tanpa henti.

Seorang siswi yang tengah kesurupan berlari ke arah Karenina. Dia menerjang tubuh Karenina dengan tatapan penuh kebencian. Karenina lantas berteriak meminta tolong.

Adrian segera mendorong siswi yang kesurupan. Diletakkannya tangannya ke dahi siswi tersebut. Dia merapalkan sesuatu, hingga akhirnya siswi itu terjatuh tak sadarkan diri.

Beberapa siswi lain ditangani oleh para guru. Mereka melakukan hal yang sama, persis yang dilakukan Adrian. Setelah itu, para siswi dibawa ke mushola sekolah.

Pihak sekolah langsung memulangkan semua murid. Rupanya kejadian serupa sering terjadi. Namun, telah jauh berkurang setelah beberapa waktu lalu.

"Bangsat, ini semua gara-gara kamu!" teriak Selena—teman sekelas Karenina—pada Karenina.

Selena menarik kerah baju Karenina. Luapan kemarahan terpancar dari sorot matanya. Adrian segera menepis tangan Selena dari Karenina.

"Dia engga tau apa-apa, Len," kata Adrian.

"Persetan. Dia tinggal di rumah terkutuk itu, pasti dia penyebab kejadian hari ini!" geram Selena.

Celline segera menarik Karenina menjauh dari Selena. Selena yang melihat itu, berusaha menarik rambut Karenina. Namun, usahanya berhasil ditahan oleh Adrian.

"Lepasin! Dia harus bertanggung jawab buat kejadian hari ini!" jerit Selena.

"Heh, Karenina, pasti kamu udah ngerasain hal aneh saat pindah ke rumah itu, 'kan? Itu karena keluarga kalian udah nempatin rumah terkutuk. Rumah penyihir biadab," teriak Selena.

Adrian segera menarik Selena, untuk menenangkannya. Karenina menatap kepergian mereka. Dia tak menyangka akan disalahkan untuk hal yang tak dipahaminya.

"Celline, apa benar ini salahku?" Karenina menangis seraya menyandar ke tembok kelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status