Share

Bab 5. Wujud Asli sang Art

SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTU

Part 5

Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Mika tak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka.

"Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Mika menerka-nerka.

"Sepertinya iya, setelah malam itu Mona sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Johan dengan Mona hanya selisih hitungan menit." Diam-diam, Mika mengamati mereka.

Mika pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya.

Mika sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun.

Dret

Dret

Ponsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Mika meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya.

"Assalamualaikum, Sa." Mika mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung.

"Waalaikumsalam, Mik. Bagaimana?"

"Apanya?"

"Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah mendapatkan bukti perselingkuhan mereka?" tanya Elisa.

Mika menghembuskan napas kasar. Hingga tanpa perlu menjawabnya Elisa bisa menarik kesimpulan.

"Rasa-rasanya mereka masih enggan untuk melakukan hal menjijikkan itu di rumah, mengingat kamu hampir saja memergoki mereka. Aku kok kepikiran kalau mereka melakukan pertemuan di luar ya," ucap Elisa yang ternyata memiliki pemikiran yang sama dengan Mika.

"Aku juga mikirnya gitu, Sa. Seminggu ini sih semua aman-aman saja. Hanya saja setelah kejadian itu, Mona sering sekali pamit keluar bertepatan dengan jam istirahat Mas Johan," ucap Mika.

"Kalau pun nggak siang waktu istirahat, pasti sore hari waktu Mas Johan pulang dari kantor. Dan jika Mona keluar sore, pasti pulangnya nggak berselang lama dengan kepulangan Mas Johan."

"Fix! Mereka ketemu di luar!" Seruan dari Elisa terdengar begitu kencang, membuat tangan Mika secara refleks menjauhkan ponsel dengan daun telinga.

"Kenceng banget, Sa. Berdengung ini telingaku." Mendengar ucapan Mika, seketika tawa Elisa meledak begitu saja.

"Mika, tapi kamu sudah mengamankan semuanya kan?"

Kening Mika berkerut, lalu ia pun berucap, "Mengamankan apa maksud kamu, Sa?"

"Semua harta kalian. Jangan sampai harta itu jatuh ke tangan suamimu. Kamu harus mengamankan semua harta itu untuk masa depan Nando, Mik. Jangan sampai selingkuhan suamimu itu menikmati setiap hak milik Nando."

Mika menepuk pelan jidatnya.

"Ah, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu? Untung saja kamu mengatakannya, Sa. Kalau enggak, entahlah," ucap Mika.

"Sambil kamu menyelediki suamimu, kamu mulai saja mengurus semuanya, Mik. Mending kamu bikin saja surat perjanjian, dimana surat perjanjian itu bertuliskan kalau seluruh harta akan jatuh ke tangan pihak yang dikhianati."

Mika masih terdiam, mencerna setiap kata yang ia dengar.

"Kamu paham kan maksudku?"

"Ya, aku paham Sa. Kalau hanya kusimpan sertifikat rumah dan BPKB mobil beserta motor, itu terlalu beresiko. Sepertinya idemu sangat cocok. Apalagi kalau surat perjanjian itu ditandangani oleh Mas Johan dan bermaterai."

"Nah, tepat sekali! Cepat-cepat saja kamu siapkan semuanya, nanti kamu atur saja gimana caranya agar bisa mendapatkan tandatangan suamimu tanpa sepengetahuannya. Karena ... kalau dia tau kamu membuat perjanjian itu, tentu dia akan menolaknya. Iya kan?" ucap Elisa yang lagi-lagi dibenarkan oleh Mika.

"Makasih ya, lain kali jika aku membutuhkan masukan darimu, jangan pernah bosan ya."

"Haha, gampang. Bagaimana pun juga kamu sudah kuanggap lebih dari seorang sahabat. Aku nggak mau kalau kamu dan Nando hidup menderita. Enak aja, suamimu seneng-seneng sedangkan kamu menderita."

Tiba-tiba saja suara derap langkah sayup-sayup terdengar di telinga Mika.

"Aku matikan dulu ya, Sa. Sepertinya Mona baru saja pulang."

"Iya, gapapa. Sehat-sehat ya, jangan gegabah dan hancur. Ada Nando yang lebih membutuhkanmu."

Mika tersenyum penuh haru, meskipun Elisa yang berada di seberang sana tak bisa melihat senyuman di bibir Mika.

Di saat Mika kembali memastikan jika sang bayi masih tertidur, Mona berjalan mengendap-endap untuk masuk ke dalam rumah.

Wanita berjaket coklat dengan celana kulot panjang itu bernapas lega saat berhasil melewati ruang tamu. Sejenak ia mendongak–menatap ke arah tangga–memastikan jika tak ada yang melihat kedatangannya.

"Huh, aman!" batin Mona sembari menepuk pela dadanya yang berdebar-debar.

Akan tetapi, saat Mona akan kembali mengayunkan kaki, tiba-tiba saja suara Mika kembali membuat dada Mona berdebar-debar.

"Baru pulang belanjanya, Mon?" tanya Mika sembari menuruni anak tangga satu per satu, hingga akhirnya sampailah ia berada di anak tangga terkahir.

"Iya, Bu. Maaf kalau lama, tadi harus muter-muter pasar buat cari bahannya. Waktu mau pulang, nunggu ojek juga nggak datang-datang," ucap Mona berusaha setenang mungkin.

"Kan saya sudah bilang kalau ke pasar bawa motor saja. Gapapa loh motor saya dipakai." Kali ini Mika berjalan mendekat ke arah Mona.

"Kamu belanja apa saja? Coba saya cek, barangkali ada yang kurang."

Mika ingin mengambil kantong kresek merah yang ditenteng oleh Mona. Akan tetapi, Mona langsung menjauhkan kantong kresek itu.

"Ada ikannya, Bu. Kalau dibuka di sini takutnya bau amis."

"Halah gapapa. Cuma dibuka aja kok."

Mika kembali ingin mengambil kantong itu, namun lagi-lagi Mona menahannya.

"Mon! Berikan!" Nada suara Mika begitu datar.

"Ba–baik, Bu. Maaf ...." Mona menyerahkan kantong tersebut. Lalu dengan cepat Mika mengambilnya dan membukanya.

"Loh, kok isinya kayak gini?!" Mika menatap isi kantong kresek yang ternyata hanya berisi bekas-bekas kantong kresek yang jumlahnya banyak.

"Mon? Apa ini?" Mika mengeluarkan satu per satu kantong itu sembari sesekali menatap sengit ke arah Mona.

Lagi-lagi Mika hanya bisa menggeleng saat mendapati bongkahan batu berada di bagian paling bawah.

Sebenarnya Mika sudah menebak, jika Art-nya itu tak hanya pergi ke pasar. Namun Mika juga curiga jika Mona bertemu dengan suaminya di luar sana. Mengingat Mona pergi lebih dari 2 jam. Apalagi ada sebuah hotel bintang tiga yang jaraknya tak jauh dari pasar. Hanya saja ia cukup terkejut karena pergi ke pasar hanyalah alasan belaka.

"Ma–maaf, Bu. Itulah sebabnya kenapa saya tadi tidak memberikan kantong kresek ini ke Ini. Di jalan tadi saya baru menyadari jika kantong ini tertukar dengan pemilik toko, Bu. Ah, iya. Begitulah, Bu. Kantong itu tadi tertukar."

"Oh, ya? Masa kamu tidak menyadari sih?"

"Beneran, Bu. Soalnya itu ada batunya, jadi sama beratnya."

Mika mencebik.

"Yaudah, kamu mau ambil kembali barang belanjaanmu sekarang?"

"Kan kalau jam segini udah tutup, Bu. Jadi besok Mona baru bisa mengambilnya."

Sebenarnya Mika ingin membuat Mona mati kutu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Akan tetapi, Mika memilih untuk pura-pura percaya saja.

Belum sempat Mika berucap, tiba-tiba suara tangisan Nando terdengar. Bergegas Mika melangkah lalu menaiki setiap anak tangga.

"Huh, syukurlah, selamat ...." Lagi, Mona mengusap dadanya yang berdebar-debar.

Bergegas ia melangkah tergopoh-gopoh menuju kamar, tentu setelah memasukkan kembali seluruh kantong kresek yang tadi dikeluarkan oleh Mika.

Begitu masuk kamar, Mona langsung mengunci pintu. Wanita muda itu bergegas melangkah menuju ranjang.

Ia lepaskan satu per satu jaket dan celana kulot yang dipakainya tanpa menyadari ada sosok yang memantaunya melaluinya sambungan cctv.

"Astaga ... benar-benar niat banget ini orang," lirih Mika. Ia menggelengkan kepala, sebab begitu celana kulot dan jaket dilepaskan, ternyata Mona hanya memakai kaos merah yang ketat dengan belahan dada rendah. Bahkan, karena terlalu ketat dan rendahnya, dua benda kenyal di dada Mona menyembul dengan begitu jelasnya.

Tak hanya itu, keseksian Mona ditambah dengan dirinya yang hanya memakai celana levis yang panjangnya tak lebih dari 30 cm.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g heran pelakor selalu terdepan sekarang. krn istri sah kebanyakan tolol dan dyngu jadi gampang dibohongi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status