Seperti yang ia katakan tadi pagi, kalau hari ini akan ada pelajaran tambahan. Yap, tepat saat jam menunjukkan pukul 5 sore barulah kelas usai. Tak semua kelas, hanya saja terkhusus untuk siswa dan siswi kelas 3.
Raut murung tercetak di wajah Karel saat keluar dari kelas. Sebuah amplop di tangannya, jadi masalah yang sedang ia pikirkan saat ini.
Kebingungannya sedikit tersentak saat rengkuhan lengan Rena mencapai pundaknya.
“Lo bawa mobil?” tanya Rena.
“Gue tadi diantar, soalnya mobil lagi bermasalah,” jawabnya memberikan alasan.
“Gue anter, ya,” ujar Puja.
Tadinya ingin berkata tidak, tapi surat undangan di tangannya membuat pikirannya kembali berubah.
“Oke,” jawabnya akan ajakan Puja.
Jadilah, ia diantar oleh Puja. Seperti biasa, Puja paling berani hanya sekadar mengantar sampai pagar jika sore begini. Karena dia tahu, jika di waktu ini papanya ada di rumah.
Puja dan Kare
Segera membawa Karel kembali pulang ke rumah. Jujur saja, hatinya begitu terasa teriris jika mendapati gadis ini terus menangis tanpa henti. Tak ada ada yang terucap dari bibir itu, hanya air mata dan isakan tangis yang jadi perantara.Turun dari mobil dan membawa gadis itu masuk. Yap, tatapan sendu, bahkan bulir air mata itu terus saja turun bergelinding di pipinya.Arland dan Kiran yang mendapati keduanya datang, segera menghampiri dengan raut cemas. Ya, cemas karena dari tadi keduanya menghubungi Ziel dan Karel, mereka bahkan tak menjawab panggilan telepon satupun.“Karelyn, kamu kenapa, Nak. Apa yang terjadi?” tanya Kiran cemas dan khawatir karena mendapati gadis itu datang dalam keadaan menangis. Bahkan matanya sembab.Tak mendapat jawaban dari Karel, kini pandangan Arland dan Kiran terarah pada Ziel.“Ada apa, Zi?”“Om sama Tante selama ini tahu, kan ... kenapa Papa mengabaikanku?”“Maks
Sudah satu jam ia menunggu kedua orang tuanya kembali, tapi belum ada tanda tanda mereka akan pulang. Mencoba menelpon pun justru keduanya tak ada yang merespon sama sekali.Ziel berjalan menuju dapur, menghampiri Bibik yang sedang beberes.“Bik.”“Ya, Den?”“Aku mau nyusul Mama Papa. Karel udah tidur, kalau ada apa apa langsung hubungi aku, ya,” jelasnya.“Baik, Den,” sahut wanita paruh baya itu paham.Ziel segera bergegas untuk pergi, tapi ketika hendak memasuki mobil, niatnya terhenti mendapati sebuah mobil yang memasuki area rumah. Ya, kendaraan milik orang tuanya.Mengurungkan niatnya dan menunggu di teras.“Papa sama Mama dari mana?”Tak mendapatkan jawaban, tapi melihat wajah mamanya, ia yakini jika wanita paruh baya itu habis mennagis. Matanya masih tampak merah.“Mama nangis?”“Ada sesuatu yang ingin papa bicarakan sama k
Matanya masih terpejam, saat jantungnya terasa berdetak tak karuan. Kejadian barusan, seakan benar-benar sudah berada di depan matanya.Sebuah sentuhan di kepalanya, membuat fokusnya langsung beralih. Membuka matanya dan kaget saat dihadapkan pada seseorang yang terlihat kesakitan dihadapannya.Ringisan itu membuatnya langsung kaget dan segera beranjak dari posisinya yang ternyata ia sadari berada di dekapan Ziel.“Kak Ziel, Kakak ... Kakak kenapa? Kakak baik-baik saja, kan,” tangisnya langsung pecah, apalagi saat mendapati darah segar mulai mengalir dari arah belakang kepala cowok yang tengah berada dalam pangkuannnya itu.“Jangan seperti ini, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, ku mohon.”Menangis sejadi jadinya ketika genggaman tangan Ziel di tangannya terasa semakin mengerat. Dia batuk, diiringi oleh darah yang keluar dari mulutnya hingga perlahan tangan itu melemah dan benar-benar tak sadarkan diri.“Ka
Dokter memberikan izin untuk bisa menemui Ziel di ruang ICU. Hanya saja tak boleh berbarengan, alias harus gantian. Kiran mendapat giliran yang pertama kali masuk dan menemui putranya. Lanjut dengan Arland dan hingga akhirnya Karel.Ragu, itulah yang dirasakan Karel saat hendak melangkah masuk menemui cowok itu. Tapi ia ingin benar benar memastikan terlebih dahulu, bagaiamana kondisi Ziel saat ini.“Sayang, kamu masuk dulu, ya. Om sama Tante mau menemui dokter,” ujar Kiran pada Karel saat gadis itu hendak masuk.“Iya, Tante.”Setelah mendapatkan ijin dari dokter, ia masuk diantar oleh seorang suster jaga. Tangannya gemetar, hawa dingin dan aroma obat-obatan yang makin kuat seakan menyerangnya. Saat melangkah masuk, hingga pintu ruangan itu terbuka ... suara monitor mulai terdengar di indera pendengarannya. Ya, suara yang menurutnya menak
Kiran mengarahkan pandangan pada Arland, seakan bingung mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ziel. Seketika kembali menatap putranya sambil tersenyum.“Ziel, kamu masih lemah. Jangan banyak bicara dulu,” respon Kiran mengalihkan pertanyaan Ziel.“Dia nggak terluka, kan?” Menahan rasa sakit di kepalanya, tapi saat pertanyaannya perkara Karel tak mendapatkan jawaban, itu justru lebih menyakitkan. “Dia di mana?”“Zi, kamu tenang dulu,” sahut Arland berusaha menenangkan Ziel. Ia tak ingin jika kondisi putranya malah kembali buruk saat tahu kondisi sebenarnya. “Karel nggak kenapa-kenapa. Dia nggak terluka, karena kamu sudah berhasil menyelamatkann dia. Sekarang kamu tenang dan jangan banyak berpikir dulu.”Papanya bilang Karel tak kenapa-kenapa, tapi dia di mana? Kenapa dia tak ada di sini? Apa mereka berbohong.Ingin beranjak sebenarnya dari posisi ini, tapi rasanya benar-benar belum kuat.
Ziel hendak bangun dari posisi tidurnya, tapi Kiran melarangnya untuk bangun.“Jangan banyak bergerak, kondisimu masih lemah, Nak. Jangan membuat Mama cemas lagi.”Ya, kepalanya benar-benar terasa sakit. Sakit, hingga rasanya tak tertahan. Tapi jika menyangkut Karel, rasa sakit itu bisa ia abaikan.Ziel kembali ke posisi tidurnya, ketika mamanya melarang untuk bangun. Menatap fokus pada mamanya, bahkan ia seolah menelisik jauh ke dalam manik mata wanita paruh baya yang ada dihadapannya ini.“Mama sedang berbohong padaku?”“Maksud kamu apa, Zi?”“Mama yang bilang, kalau kebohongan akan berdampak lebih besar jika diteruskan. Jika mama membohongiku satu kali, lain aku nggak bisa lagi memberikan kepercayaan pada mama tentang hal apapun juga.”Peringatan yang diberikan Ziel seakan menghantam hatinya. Ya, benar. Bahkan ia sendiri yang berulang kali mengatakan dan
Kiran masih duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan rawat Ziel. Setelah mendapatkan obat penenang, putranya sekarang dalam keadaan tertidur. Ya, setidaknya itu bisa sedikit membuat hati dia tenang.Pikirannya kini diliputi rasa khawatir tentang Karel. Ditambah lagi dengan Arland yang belum kembali, membuat dirinya semakin tak baik-baik saja dalam berpikir.Berniat untuk kembali menghubungi suaminya lewat telepon, tapi niat itu terhenti saat dua orang tampak berjalan cepat menghampiri dirinya. Langsung bangkit dari posisi duduk, menyambut mereka.“Ya ampun, Karel ... kamu dari mana aja, sih, Nak.” Bergegas menghampiri Karel dan memeluk gadis itu.“Maaf, Tante,” ucap Karel memeluk Kiran erat. “Aku bikin kalian semua khawatir. Maaf,” tambahnya merasa bersalah.Kiran mengangguk paham. Ia tak butuh penjelasan Karel saat ini, tapi yang jadi fokus utamanya adalah kondisi Ziel. Dia menginginkan gadis ini.“Kak Ziel gimana Tante?” tanya Karelyn.“Tadi sempat drop, karena dia ngotot mau
Ziel sudah dipindah ke ruang perawatan, itu pertanda jika kondisi dia mulai membaik. Meskipun dokter mengatakan kalau dia butuh waktu beberapa hari untuk memulihkan luka, apalagi di bagian kepala, tetap saja sikap keras kepala dia tak bisa ditahan. Karena belum apa-apa, sudah menelepon sekretarisnya di kantor untuk membahas pekerjaan. Ditambah lagi dengan adanya Karelyn yang berada di sekitarnya, seolah apa yang dia rasakan jadi tak begitu penting dibandingkan kondisi gadis itu.“Mama kenapa?”Kiran menggeleng, tapi raut wajahnya mungkin sudah bisa ditebak oleh Ziel. Duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur putranya itu.“Jangan menyalahkan dia,” ujar Ziel langsung.“Apa yang kamu katakan, sih, Nak. Karel itu posisinya sama denganmu di hati Mama. Justru sekarang mama memikirkan kalian berdua,” jelas Kiran.Karel tampak tertidur di sofa dengan sebuah sweater yang dia tutupkan sebagai selimut. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, wajar jika dia mengantuk dan lelah. Apalag