"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!
"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"
Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh.
"Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.
Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!"
"Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."
Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi.
"Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"
Aku mengangguk.
"Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."
Roy melangkah maju. "Roy, please. Tunggu. Dia itu agresif kalau ditanya soal tanda tangan, sertifikat, atau sesuatu yang berbau seperti itu. Jadi tolong untuk kesehatan jiwanya jangan terburu-buru."
Roy memicingkan mata. "Dia? Si bule itu gangguan jiwa? Gak mungkin! Dia terlihat sangat sehat dan sangat bersih. Dia pasti pura-pura gila entah karena alasan apa."
"Roy, tadinya aku pikir dia gak bermasalah. Namun saat dia mengalami pencetus, dia itu bisa kumat dan mencelakai diri sendiri maupun orang lain. Jadi jangan gegabah menanyakan apapun yang berbau harta pada Romi."
Roy berbalik dan benar-benar menghadapku. "Mbak, kayaknya perhatian banget sama dia. Jangan bilang mbak jatuh cinta sama dia?!"
Aku tertawa. "Kamu jangan bercanda Roy! Aku melindunginya karena tak lebih dari posisiku sebagai perawat spesialis kejiwaan. Bukan karena aku ada perasaan khusus padanya."
Roy tersenyum. "Benarkah Mbak gak ada perasaan apapun padanya?"
"Sure! He is not my type."
Sejenak Roy menghela nafas. Mungkin menghembuskan nafas lega.
"Tapi aku harus menanyakan dimana sertifikatnya sebelum Romi waras dan menjual tanah ini, lalu kemana semua pasien pergi?"
Aku terkejut. 'Ternyata masalah Romi tidak sesederhana yang kupikirkan.'
"Wah seserius itu ya? Tapi tenang saja. Sepertinya Romi tidak akan tega membiarkan pasien di sini telantar, Roy."
"Darimana kamu yakin?" tanya Roy ragu.
"Hatiku yang mengatakannya."
"Pppftt! Jaman sekarang tuh dipikir pakai logika, Mbak. Jangan karena orangnya good looking semua perbuatannya terlihat baik."
Aku memandang Roy. "Tenang saja. Aku juga takkan membiarkan hal itu terjadi. By the way, aku kerja lagi ya," pamitku pada Roy.
"Hm, iya."
Aku mulai melangkahkan kaki menjauh dari Roy saat tiba-tiba teringat sesuatu.
"Roy, apa boleh aku bertanya tentang apa saja yang telah dikatakan Om padamu tentang rumah sakit ini?"
Roy memandangiku dengan dahi berkerut.
"Boleh. Tapi syaratnya diner dulu. Bagaimana? Bisa kan?"
Aku tertawa. "Kamu yakin mau diner denganku? Aku kan kakak sepupumu?"
Roy mencebik. "Memang kenapa kalau diner dengan kakak sepupu? Perasaan kan memang tidak bisa dibohongi?!" jawab Roy mantap.
Kali ini aku yang mengerutkan dahi. Pak tentara kali ini aneh. Tapi demi mendapat keterangan tentang rumah sakit ini dan Romi, aku akan melakukan apapun.
"Sure. Jam berapa?"
"Jam 7 malam."
"Deal! Aku kerja lagi Roy," pamitku melambaikan tangan dan menjauh menuju kamar pasien di ruang Bougenville.
Romi tampak sedang tertawa sambil menumpuk batu-batu di antara rumpun Bougenville bersama beberapa pasien yang lain, saat aku mendekat.
"Sus, aku punya harta karun," lapornya dengan mata berbinar.
"Wah, benarkah?" tanyaku ikut berlutut diantara para pasien.
"Mana coba harta karunnya?" tanyaku tersenyum pada empat pasien yang sedang berkerumun di situ.
"Ini."
Romi memberikan sebuah batu berukuran segenggam telapak tangan padaku.
Aku terkejut saat mendapati sebuah kertas tertempel di sana. Sepertinya Romi menggunakan nasi untuk melekatkannya ke batu.
"Baca saat sendiri," bisiknya di telingaku sambil cengengesan.
Aku mengangguk dan melepaskan secarik kertas itu dan langsung memasukkannya ke dalam saku seragam.
"Sus, tahu nggak bedanya suster sama harta karun?" tanya Romi sambil menatapku tajam.
"Enggak tahu Rom. Emang apaan sih?"
"Kalau harta karun bisa dimiliki dengan cara digali. Kalau Suster bisa dimiliki dengan cara dinikahi."
"Eaaaa ... Eaaaa ...."
Pasien lain otomatis tertawa-tawa melihat kami sambil bertepuk tangan. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.
'Ah elah, serunya. Tapi aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Terlalu sering digombali pasien ODGJ ganteng tuh rasanya nano-nano. Ditolak tapi baper. Tapi kalau diterima, kok rasanya nggak mungkin. Dahlah. Aku baca surat ini saja."
"Main yang baik-baik ya. Jangan lupa yang hari ini keluarganya datang berkunjung, agar siap-siap di kamar masing-masing," tukasku dan mereka hanya tersenyum saja.
"Suster kembali ke ruang perawat dulu ya," sambungku lagi sambil melambaikan tangan kiri pada mereka. Karena tangan kananku kumasukkan ke saku untuk memegang kertas pemberian Romi.
"Tunggu Sus."
Aku membalikkan badan ke arah Romi. "Ya Rom?"
"Suster kidal ya?" tanya Romi dengan wajah polos.
"Enggak. Emang kenapa?"
"Kirain kidal, Sus. Soalnya Suster selalu pakai tangan kiri. Kiri-man Tuhan untukku."
Dan kali ini, pipiku benar-benar bersemu merah. Duh Gusti!!!
***
Aku ke kamar mandi dan membuka secarik kertas. Kertas itu berukuran mungil dan hanya terdapat sepotong tulisan alamat.
"Tolong ke rumahku. Ini alamatnya."
Sebuah alamat tertera dengan jelas di bawah tulisan itu.
Hanya itu saja yang ada di kertasnya. Seolah-olah dia tidak bisa bercerita panjang lebar tentang kondisinya di sini karena ada yang mengawasinya.
Aku menghela nafas. "Baiklah. Mari kira ke rumah Romi nanti setelah makan malam dengan Roy. Aku akan lihat ada apa di rumah Romi.
***
"Cantik amat, Mbak. Mau kemana?" tanya Anita saat aku keluar dari kamar.
Aku memakai gaun lengan pendek selutut, warna ungu muda dan rambut sebahuku yang tebal kubentuk cepol ala Korea. Dan merias wajahku dengan foundation dan bedak tipis, maskara, dan lipgloss. Untuk eyeshadow dan pemerah pipi, aku masih belum terlalu bisa mengaplikasikannya.
"Sudah siap?" tanya Roy keluar dari kamarnya.
Roy tampak sangat tampan dan gagah dengan kaus semi sweater lengan panjang warna navi dengan celana bahan drill warna hitam.
Kurasakan Roy dan aku sama-sama saling melotot. "Kamu keren kek Mas Iko Uwa*s," pujiku tulus.
Tak kusangka pipi Roy menjadi semerah tomat.
"Mbak juga cantik. Mirip Jessica milla. Tapi mode gahar," kata Roy tertawa.
"Asem."
"Dih, kalian mau kondangan ya. Ajakin aku dong. Gimana sih, kok aku ditinggal sendirian cuma sama satpam depan rumah. Mama dan papa ke kondangan juga." protes Anita.
"Kita mau jadi detektif." "Kencan!"
Tak kusangka aku dan Roy menjawab bersamaan.
Anita tertawa lebar. "Cie, detektif kencan! Semoga sukses ya," tukas Anita.
Roy mencubit pipi Anita dengan gemas. "Ya sudah, aku berangkat dulu, Dek," pamit Roy.
***
Kafe dan resto dengan konsep indoor dan outdoor yang kami datangi terasa romantis. Dikelilingi pagar berupa tanaman mawar merah dengan lampu taman yang menyala indah. Dan di sepanjang jalan masuk dari gapura yang terbuat dari bunga merambat, dipenuhi oleh deretan payung yang terbuka dan digantung menyerupai atap rumah.
"Meja reservasi atas nama Roy?" sapa Roy pada resepsionis.
Perempuan muda berambut panjang itu tersenyum pada kami. "Silakan, nomor 23. Dan ini menunya."
Resepsionis itu mengulurkan buku menu pada kami.
"Ayo Mbak," ajak Roy setelah meraih buku menu tersebut sambil berjalan mendahuluiku.
"Kamu sudah sering datang ke tempat ini?" tanyaku sambil memandang berkeliling kafe dan resto ini.
Roy mengangguk.
"Cie, sama cewek ya?!" tanyaku kepo
"Sama teman-teman, waktu ngerjain tugas sekolah. Kadang juga waktu reuni," jawab Roy sambil menulis menu di atas selembar kertas.
"Mbak, aku pesen gurami bakar, kentang goreng dan hot cappucino satu. Mbak pesan apa?" tanya Roy sambil memberikan buku menu.
Aku membolak balik buku menu. Dan memilih sate padang dan sup buah.
Roy mengangkat tangannya dan memanggil pramusaji kafe saat aku melihat seorang laki-laki dan perempuan yang baru saja masuk melalui gapura dari bunga.
Aku mendelik. Mereka terlihat mesra sekali. Keduanya tampak saling ngobrol dan sesekali mereka tertawa bersama.
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya.
"Wah, ada hubungan apa mereka?!"
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it
Om Andri terkejut dan menatapku. "Apa kamu bilang?"Aku menatap Om Andri lekat-lekat. "Om mau kan menyelamatkan rumah sakit tempat Om bekerja?""Absolutly, Yes!" Seru om Andri yakin."Karena itu mari bebaskan Romi dan bantu memindahkan dia ke tempat yang aman. Gimana?"Om Andri terlihat kebingungan. Akupun menceritakan padanya tentang pengacara Romi dan surat-surat Romi. Tanpa mengikutkan bagian yang dikeroyok para begundal.Om Andri terlihat kaget dan beberapa kali menggelengkan kepala saat mendengar ceritaku."Kamu sangat keren! Aku tidak menyangka kamu begitu berani memperjuangkan rumah sakit jiwa ini!"Aku tersenyum. "Saya hanya tidak ingin para pasiennya terancam tidak punya tempat bernaung. Mereka sudah cukup tergilas oleh ujian mengalami gangguan jiwa. Jika mereka kehilangan rumah sakit ini, saya tidak bisa membayangkan mereka akan kemana selanjutnya. Karena itu Om, mari kita berjuang bersama.""Kamu yakin bahwa setelah Romi kita bebaskan, dia akan menyerahkan sertifikat tanah
Flash back on :'Tragedi gendong menggendong barusan memang hal yang memalukan. Mungkin sebaiknya aku meminta maaf terlebih dahulu pada Roy,' bisik hatiku. Aku menghela nafas dan memutuskan keluar kamar setelah hampir 2 jam tertidur. Dengan mengendap-endap, aku melihat situasi. Sepertinya sepi. Entah kemana Roy. Kalau Anita jelas masih sekolah. Jam di dinding masih menunjuk angka 12.Aku menghela nafas saat menyadari rumah ini begitu sepi."Ah, haus banget. Mending minum air dingin."Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin dari rak di pintunya. Setelah menuntaskan dahaga, dari kerongkongan, aku berniat kembali ke kamar. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada terigu cakra kembar dan kopi sachetan yang teronggok manis ingin dibelai.Selintas ide mendadak muncul. Aku memang tidak terlalu mahir memasak dengan bumbu rempah-rempah lengkap aneka menu lauk berat seperti aneka santan, rawon, atau gulai. Tapi untuk masalah ngadon roti, akulah juaranya. Tentu saja asal ada mixer
"Halo, dengan mbak Yulia? Kami dari keluarga pak Jamal. Suami saya mengalami kecelakaan. Dan sekarang sedang berada di UGD. Kontak teratas yang ada di panggilan masuk ponselnya adalah nomor ponsel mbak Yulia."Degg!!!Pak Jamal kecelakaan? Pasti ini ada kaitannya dengan urusan Romi?"Ya Allah, kok bisa kecelakaan, Bu?! Bagaimana ceritanya? Apa ada saksi mata?""Alhamdulillah selamat. Tapi tangan kanannya patah dan sebentar lagi dioperasi. Apa mbak Yulia bisa kesini besok setelah kondisi suami saya stabil?" tanya istri pak Jamal."InsyaAllah bisa, Bu. Saya usahakan. Ibu chat saja alamat rumah sakit dan di ruangan mana pak Jamal dirawat.""Baiklah Mbak. Soalnya kata pak Jamal, ada yang hendak dibicarakannya dengan mbak Yulia.""Baiklah, Bu. Kalau begitu saya kerja dulu."Aku mengakhiri panggilan telepon dan memandang Dimas lekat-lekat. "Apa kamu pelakunya?"Dimas memicingkan mata. "Melakukan apa?" Dimas mengedikkan bahu dengan wajah bingung."Jangan pura-pura gak tahu, Dim. Kamu sudah k