"Ini maksudnya apa, Mbak? Hutang? Mas Abi punya banyak hutang?" Tanpa disangka Elfira mengejar hingga ke dapur, menanyakan kebenaran dari apa yang baru saja aku katakan.
Aku menoleh sambil tersenyum, lalu menatap wajahnya yang terlihat semakin memucat dengan perasaan tidak karuan.Ingin rasanya menjambak rambutnya, mencakar wajahnya, lalu membanting tubuhnya ke lantai, namun enggan mau melakukan sebab itu termasuk kekerasan. Aku tidak mau menghabiskan banyak waktu di persidangan, apalagi jika harus mendekam di balik jeruji besi karena apa yang telah aku lakukan. Biar tangan Allah saja yang bekerja, dan aku sebagai hamba cukup meminta keadilan atas apa yang sudah Mas Abi dan Elfira lakukan."Kenapa? Kamu nggak nyangka ya kalau Mas Abi punya hutang? Banyak, Dek. Banyak sekali. Nanti juga kamu tahu siapa saja yang bakalan nagih ke dia, karena mulai detik ini saya sudah tidak mau lagi ikut mengurus masalahnya. Pusing kepala saya karena harus membagi penghasilan restoran untuk membayar hutang.Makanya, Dek. Kalau mau nyari selingkuhan itu jangan tanggung-tanggung, minimal dekati pejabat yang sudah ketahuan kaya raya. Jangan rebut suami teman sendiri. Jangan jadi pagar makan tanaman. Sekarang kamu tahu kan kalau Mas Abi itu tidak seperti kelihatannya. Memang sih, setiap lelaki pasti hanya menunjukkan kelebihannya di depan pelakor, sedang kekurangannya hanya ditunjukkan di depan istri sah, termasuk semua hutangnya.Berkilauan di luar belum tentu di dalamnya juga sama, Dek. Karena orang luar itu hanya tahu baiknya Mas Abi, tidak tahu keburukannya sama sekali. Pelakor itu selalu diperlakukan manis, bahkan mungkin semua permintaannya akan dituruti. Tetapi ingat satu poin, ya Dek. Seorang pria yang mudah tergoda dengan bujukan wanita yang bukan istrinya, itu menandakan bahwa dia bukan laki-laki setia. Oke, sekarang kamu berhasil meluluhlantakkan hati juga rumah tangga saya, tetapi lihat saja, suatu saat kamu juga akan merasakan hal yang sama, sebab selingkuh itu seperti sebuah penyakit, akan kambuh lagi suatu saat jika si pria sudah bosan sama kamu!"Mulut Elfira terkatup rapat. Bibirnya terlihat bergetar sementara mata wanita di hadapanku mulai memerah entah menahan amarah atau tangis aku tidak peduli. Mungkin kata-kata yang keluar dari mulut ini menyakiti hatinya, tetapi apa yang sudah dilakukannya pun telah menggoreskan luka yang mungkin tidak akan mudah diobati."Assalamualaikum!" Terdengar suara manja Zarina mengucapkan salam.Aku menarik napas panjang berkali-kali, berusaha untuk tetap tegak berdiri menutupi kebusukan Mas Abi di depan sang putri.Suara derap kaki terdengar melangkah mendekat, seiring munculnya Zarina sambil mengelus perut yang kian terlihat membukit.Ya Allah, bahkan tinggal menghitung hari kami akan memiliki seorang cucu tetapi Mas Abi malah menodai pernikahan perak kami dengan cara menjijikan seperti ini."Eh, ada Mbak Fira? Pantes saya ucap salam nggak ada yang jawab, ternyata Bunda lagi di belakang sama ceesnya!" ucap Zarina seraya berjalan menghampiri, mengambil tanganku untuk disalami lalu mencium bagian punggungnya dengan penuh khidmat."Duh, bumilnya Bunda. Bagaimana kabar kamu, Sayang?" Mencium pipi bidadari hatiku yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu."Alhamdulillah, seperti yang Bunda lihat, saya semakin sehat!" Dia tertawa lalu menjabat tangan Elfira."Oh, iya, Dek. Bukannya tadi katanya kamu buru-buru? Nanti kesiangan loh!" Menatap ke arah Elfira, mengusir dia dengan cara halus sebab tidak mau kalau sampai wanita itu membongkar skandalnya dengan Mas Abi di depan Zarina."Oh, iya, Mbak. Saya pulang dulu, assalamu'alaikum!" pamitnya kemudian."Mbak Fira kenapa? Kok wajahnya pucat sekali? Dia juga nggak seperti biasanya. Apa dia lagi ada masalah?"Aku merespons dengan kedikan bahu kemudian mengajak Zarina ke ruang keluarga."Sayangnya Bunda mau minum apa? Pasti bumil kehausan?""Nggak usah, Bun. Terima kasih. Nanti kalau haus saya buat minuman sendiri!""Oke deh. Tapi Bunda kepingin manjain kamu bagaimana dong? Kita kan jarang bertemu loh?""Yasudah saya mau sirup leci saja, Bun. Pengen yang seger-seger!""Oke!" Menautkan telunjuk dengan ibu jari membentuk huruf O lalu segera ke dapur membuat minuman yang diminta anak pertamaku.Ponsel yang sejak tadi sedang aku isi baterai terlihat berkedip-kedip, menandakan kalau saat ini ada yang sedang menghubungi.Aku memang sengaja menyeting ponsel dengan mode senyap, karena untuk saat ini sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun kecuali anak-anak.'Ayah menghubungi' itulah yang tertera dilayar. Aku mengabaikannya, karena berbicara dengannya saat ini sama seperti menggores luka di dinding hati."Tante! Tante! Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!"Ah, rasa sesak kembali memenuhi rongga dada jika mengingat cerita Sabrina.Mengambil gawai milikku, melepas kabel pengisi baterai lalu memblokir nomor kontak Mas Abi. Untuk sementara sebaiknya kita tidak dulu saling bicara, meskipun tahu mendiamkan suami itu dosa hukumnya."Ini, Sayang. Sirup leci yang kamu pesan!" Membawa nampan berisi dua gelas sirup lalu meletakkannya di atas meja."Terima kasih, Bun!""Kembali kasih!"Zarina meneguk perlahan minuman yang aku buatkan, setelah itu aku mengajaknya pergi untuk membeli perlengkapan bayi yang belum sempat ia beli.***Pukul empat sore, seperti janji Zarina kepada suaminya aku mengantarnya pulang. Walau Revan sedang berada di luar kota aku tetap mengajari anakku untuk tetap diam di rumah karena tidak bagus seorang istri terlalu sering keluar jika suaminya sedang tidak ada."Terima kasih, ya Bun. Hati-hati di jalan, nanti kapan-kapan aku main lagi ke rumah Bunda!" ucapnya sambil tersenyum lalu melambaikan tangan."Oke, Sayang. Kamu kalau butuh sesuatu jangan sungkan menghubungi Bunda!"Zarina menganggukkan kepala.Aku segera menyalakan mesin mobil, membunyikan klakson, memutar kendaraan perlahan meninggalkan kediaman anak serta menantuku, sambil berdoa dalam hati semoga rumah tangga putriku selalu dalam lindungan Allah. Cukup ibunya saja yang dikhianati suami, jangan sampai anakku ikut merasakannya, sebab ini terlalu menyakitkan.Mas Abi yang telah berbuat, maka dia jugalah yang harus menanggung akibatnya, bukan anak-anak."Bunda dari mana? Kenapa nomor Ayah Bunda blokir?" Mas Abi bertanya setengah berbisik ketika aku baru keluar dari mobil.Aku menoleh ke parkiran, dan sepertinya Zafir sudah pulang dari sekolah. Pantas saja dia berbicara dengan nada pelan, takut terdengar oleh anak-anak rupanya."Saya sengaja memblokir nomor Mas supaya Mas tidak menggangu saya terus!" jawabku santai."Saya mengganggu kamu? Maksudnya apa, Bunda? Saya ini suami kamu loh, Bun?" Ekspresinya terlihat kesal."Saya tahu Mas itu suami saya, makanya saya sedang belajar menjauh dari Mas supaya nanti jika sudah waktunya kita berpisah rasanya tidak terlalu sakit!""Tidak akan ada perpisahan diantara kita berdua, Bun. Ayah mencintai Bunda, dan anak-anak juga membutuhkan kita berdua!""Insyaallah mereka akan mengerti mengapa bundanya memilih menepi dari pernikahan ini." Mengayunkan kaki meninggalkan suami, segera masuk ke dalam kemudian menghampiri Zafir yang sedang santap sore sendirian, menemani dia hingga selesai, mendengar cerita tentang keseharian jagoanku di sekolah juga keluhannya karena hari ini dia ujian matematika dan Zafir memang kurang menguasai pelajaran itu."Bun, nanti kalau nilai matematika saya merah apa Bunda bakalan marah?" Dia bertanya dengan mimik sedikit takut.Bibir ini mengukir senyum, lalu menggenggam jemari kekarnya. "Memang Bunda pernah marah kalau Adek mendapat nilai merah?"Dia menggeleng perlahan."Adek tahu, Bunda itu tidak pernah menuntut Adek untuk mendapatkan nilai sempurna, asalkan Adek tetap berusaha. Nilai matematika Adek memang selalu di bawah delapan, tetapi nilai pelajaran yang lainnya kan selalu unggul. Adek tidak jago berhitung, tetapi Adek jago di bidang yang lain. Dan satu lagi, Adek paling jago bikin hati Bunda meleleh karena perhatian serta kasih sayang Adek!"Zafir tersenyum, kemudian menggeser posisi duduknya dan memelukku.Sementara Mas Abi, dia hanya memerhatikan dari kejauhan, tidak berani mendekat, apalagi bergabung lalu menggodaku seperti biasanya.***Malam kian merangkak larut. Kesunyian terus menyelimuti karena antara aku dan Mas Abi tidak lagi saling bicara walaupun masih tidur di dalam kamar yang sama.Hilang sudah kehangatan yang selalu mengiringi malam, lenyap sudah kasih itu seiring dengan air mata yang terus memburai dari balik kelopak."Bun!" Setelah lebih dari tiga jam saling diam, Mas Abi akhirnya memanggil namaku.Dia menggeser posisi tidurnya lebih mendekat, akan tetapi aku lebih memilih berpura-pura tidur, sebab tidak siap jika harus melayaninya walaupun tahu jika seorang istri menolak ketika hendak digauli oleh suaminya maka malaikat akan melaknat di sepanjang malam.***Suara azan yang berkumandang membangunkan aku dari lelapnya tidur. Aku segera membaca doa, mengganti seprai yang baru saja dipakai karena di situ seperti tercium aroma minyak wangi Elfira. Mungkin sebelum pulang Mas Abi terlebih dahulu mampir ke rumah perempuan itu sehingga wangi parfumnya tertinggal di pakaian lalu menempel di seprai kamarku."Bukannya seprainya baru ganti kemarin, kenapa Bunda ganti lagi?" Terdengar suara berat Mas Abi.Aku meneruskan aktivitas tanpa menoleh, karena rasa sakit terus menusuki jika bersitatap dengan Mas Abi."Bunda tolong bicara, jangan diam terus seperti ini. Ayah capek dicuekin. Ayah juga punya perasaan, Bunda!" Dia mulai sedikit meninggikan nada bicara, berjalan menghampiri lalu merebut seprai yang ada di tangan dan melemparnya ke sembarang tempat."Ampuni Ayah. Maaf. Tolong jangan begini terus, Bun. Ayah tahu kalau Ayah salah karena sudah mengkhianati Bunda. Tapi demi Allah, Bun. Demi Allah rasa cinta itu hanya untuk Bunda. Ayah hanya main-main saja dengan Elfira. Ayah khilaf. Ayah tidak mencintai dia!" Mas Abi berlutut di depanku, terus menggenggam tanganku sambil menangis tergugu."Minta maafnya sama Allah, bukan sama saya. Kamu sudah berzina dan tahu kan hukumnya berzina itu seperti apa?" Aku berkata seraya menyingkirkan tangan Mas Abi lalu keluar dari kamar untuk melaksanakan ibadah wajib dua rakaat.Tidak ada yang berubah di setiap pagi. Sambil menunggu anak-anak pulang dari musala aku selalu menyiapkan teh hangat juga sarapan untuk semua, lalu berjibaku dengan pekerjaan lainnya karena kebetulan Asisten Rumah Tangga di rumah ini sedang cuti melahirkan.Meskipun dalam hati menyimpan luka begitu dalam aku harus tetap tersenyum, menjalani peran seperti biasa tanpa menunjukkan bahwa saat ini keadaanku sedang tidak baik-baik saja.Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk bercerita, mengungkapkan segalanya kepada anak-anak sebab tidak mungkin selamanya menyimpan luka ini sendiri. Aku tidak akan sanggup."Bun!"Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahu ini, menoleh lalu tersenyum saat melihat Zafran anak keduaku."Sudah pulang, Anak Saleh?" tanyaku kemudian, dengan senyum terukir di bibir.Zafran tidak menjawab, dia malah menghambur memelukku.Ah, ada apa ini? "Kenapa, Sayang?" Aku bertanya seraya membelai rambutnya yang sudah sedikit memanjang."Nggak t
"Memangnya berapa hutang Ayah ke kamu, Van?" tanyaku, mengulik informasi dari menantu karena selama ini Mas Abi tidak pernah cerita apa-apa tentang hutangnya."Nggak banyak, Bun. Hanya tiga puluh lima juta, tapi kan Bunda tahu sendiri uang saya sudah habis dipakai untuk renovasi rumah, jadi tabungan saya sudah habis, sisa yang dipinjam Ayah saja karena memang uang tersebut dialokasikan untuk biaya persalinan Zarina!" jawab Revan terdengar sungkan."Yasudah, tolong kamu jaga baik-baik Zarina, sebentar lagi Bunda ke rumah sakit sekalian bawa uangnya!""Baik, Bun. Kalau bisa jangan lama-lama, ya Bun. Soalnya Zarina nanyain Bunda terus.""Iya, Van. Ini Bunda sudah mau siap-siap.""Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan Bunda."Tidak sama sekali, Sayang.""Assalamualaikum, Bun!"Aku menutup sambungan telepon setelah menjawab salam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya menahan kesal karena diam-diam Mas Abi meminjam uang kepada menantunya tanpa sepengetahuan darik
Sambil menahan air mata aku memilih pulang ke rumah, ingin menenangkan hati yang terasa begitu sakit luar biasa. Katanya jodoh itu cerminan diri. Tetapi kenapa jodohku ternyata memiliki sifat asli seperti ini? Apa sembah sujudku selama ini tidak diterima, Ya Rabb?Bertahun-tahun lamanya aku selalu berusaha menjadi manusia yang baik serta bertaqwa, menjalankan perintah Allah tanpa ada satu pun yang dilanggar, tidak pernah lalai melakukan ibadah baik yang wajib maupun sunah supaya mendapatkan ketenangan hidup juga jodoh terbaik, namun nyatanya jurang terjal tetap menghalangi kebahagiaan yang aku pikir akan kekal abadi.Apa mungkin cerminku retak sehingga bayangannya tidak sesuai dengan apa yang selalu dilakukan, atau sebenarnya selama ini aku terlalu sombong, terlena dengan kehidupan dunia sampai merasa menjadi orang paling baik juga taat hingga Allah mengirimkan cobaan seberat ini sebagai teguran agar aku mengoreksi diri?Mobil milik Mas Abi sudah terparkir di halaman rumah, menandaka
“Jadi kamu sudah tahu semua, Fran? Kamu tahu kalau ayah kamu selingkuh?” tanyaku sambil menatap tidak percaya wajah anakku.“Kamu nggak usah pura-pura syok, Bunda. Pasti kamu yang kasih tahu dia kan? Kamu sengaja menelanja*gi saya di depan anak-anak supaya saya terlihat buruk di mata mereka!” tuding Mas Abi.Buk!Sebuah tinju mendarat di rahang pria itu, membuat dia terhuyung lalu jatuh terjerembap.“Jangan sakiti Bunda saya, atau Anda akan berurusan dengan saya! Saya sudah tahu semuanya sejak dulu. Saya sering memergoki Anda pergi dan berkencan dengan perempuan lacu* itu, tetapi sengaja diam karena saya tidak mau menyakiti hati Bunda. Saya tidak mau melihat Bunda menangis, tetapi karena sekarang Bunda sudah tahu semua makanya saya pun berani berbicara. Saya tahu Bunda sangat mencintai Anda, begitu menghormati Anda karena menganggap Anda itu laki-laki alim juga sempurna, padahal Anda tidak ubahnya seperti sampah!” maki Zafran panjang lebar, terus menunjuk wajah Mas Abi dengan api amar
“Menikahlah, saya ikhlas, daripada kalian terus menerus melakukan dosa zina.”“Dan ingat satu hal, Mbak. Saya akan melaporkan Zafran ke polisi supaya dia dihukum karena sudah berani menyakiti ayahnya sendiri!” Dia mulai berani mengancam.“Silakan saja, karena saya juga pasti akan melaporkan Adek ke kantor polisi atas kasus perzinaan juga perselingkuhan. Bagaimana?” Aku mengancam balik, lalu melenggang masuk meninggalkan mereka berdua dengan perasaan sakit yang semakin memenuhi rongga dada.Mungkin ini sudah saatnya aku menepi, menjauh dari kehidupan Mas Abi mencari kebahagiaan sendiri.Aku memiliki anak-anak yang begitu menyayangi diriku, dan mereka pasti akan senantiasa menjagaku hingga akhir waktu.Mengetuk pintu kamar Zafran, menggenggam hendelnya lalu mendorongnya perlahan ketika mendengar sahutan dari dalam. Pemuda berperawakan hampir sama seperti Mas Abi itu rupanya baru selesai melaksanakan salat malam, tersenyum kepadaku lalu berjalan mendekat dan menghambur memelukku.“Maaf
"Apa-apaan ini, Bun? Kenapa kamu bawa warga ke sini?" tanya Mas Abi, menatap tidak percaya ke arahku."Supaya kalian berhenti melakukan zina!" jawabku."Kamu sudah gil* ya? Saya ini suami kamu!""Sebentar lagi akan menjadi mantan!""Saya tahu sekarang, sebenarnya kamu sudah ada laki-laki lain sehingga begitu bersemangat menikahkan saya dengan Fira kan?"Mataku terpejam, dalam hati mengucap istighfar. Selalu saja memutar balikkan fakta. Bukannya mengakui kesalahannya, tetapi malah menuduhku melakukan hal yang sama. Memang susah berbicara dengan manusia yang hatinya telah tertutup oleh dosa."Terserah, Mas. Saya tidak lagi peduli kamu mau menuduh saya seperti apa!" ucapku setelah terdiam beberapa saat."Saya tidak mau menikah dengan Fira karena saya tidak pernah mencintai dia!" Dengan terang-terangan Mas Abi mengatakan hal itu di depan teman berzinanya, membuat air mata lolos dari kedua sudut netra Elfira."Bukannya kamu selalu bilang katanya cinta mati sama aku, Mas? Kenapa sekarang ma
Aku mengambil oksigen secara rakus, segera keluar dari rumah Elfira, diantar oleh ibu-ibu yang terlihat prihatin dengan kejadian ini."Sabar, ya Bu!" ucap Bu RT sambil mengusap bahuku.Senyuman, hanya itu respons yang aku berikan, sebab ketika ingin berbicara, tenggorokan terasa kering dan lidah mendadak menjadi kaku, sulit sekali untuk digerakkan."Apa saya boleh minta nomor Bu Hanin?" tanya wanita berhijab panjang menjuntai itu terlihat ragu. "Bukan maksud apa-apa, hanya ingin bersilaturahmi, supaya kalau ada apa-apa di sini saya bisa memberitahu Ibu. Tapi itu kalau Ibu berkenan, kalau tidak nggak apa-apa!""Boleh kok, Bu!" jawabku, lalu menyebutkan dua belas digit angka nomor teleponku, bahkan terlihat ibu-ibu lainnya ikut mencatat."Terima kasih, Bu. Saya turut prihatin atas apa yang menimpa Ibu!"Lagi, aku hanya merespons dengan ukiran bibir, kemudian masuk ke dalam mobil milik Mas Abi tanpa peduli lagi dengan jerit tangis E
"Apa ini yang sudah membuat Bunda sering menangis? Soalnya akhir-akhir ini saya sering melihat Bunda menangis sendiri," ucapnya sambil membalas tatapanku."Sudah tidak usah dipikirin, ya Sayang." Membelai rambutnya."Saya tidak mau kalau Ayah sampai pergi, Bun.""Masih ada Bunda di sini. Ada Kak Fran, Kak Zarina, juga Bang Revan yang bakal selalu sayang sama Adek.""Kenapa Ayah tega menyakiti Bunda? Kenapa Ayah lebih memilih Mbak Fira daripada kita, Bun.""Kita lihat dedek bayi aja yuk? Tidak usah dibahas lagi, sebab kalau dibahas terus menerus malah akan membuat Zafir merasa sakit hati.""Tapi Bunda nggak akan ninggalin saya sama Kakak kan?"Aku menggeleng sambil tersenyum. "Kalian ada nadi dan hidupnya Bunda, jadi Bunda tidak akan pernah bisa hidup tanpa kalian semua. Bunda rela kehilangan Ayah, rela kehilangan semua, akan tetapi tidak akan bisa jika harus berpisah dengan kalian!"Remaja berusia delapan belas