Honda Accord terbaru berwarna crystal black pearl itu membelah jalan tol Jagorawi malam itu, mengantarkan Dirga dan Andien ke tempat tujuannya.
"Iya Ummah, ini udah di Tol."
"...." "Iya maaf Ummah. Tadi ada hal penting yang harus Andien dan Kak Dirga bicarakan." "...." "Iya Ummah, Andien janji ga akan begini lagi." "...." "W*'alaikumsalam Ummah."Mereka berdua sampai di rumah Andien lewat pukul 22.00, sudah lewat jam malam mengingat rumah itu dihuni dua orang anak usia sekolah. Andien langsung membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan setelan piyama lengan pendek dan celana panjang berbahan kaos berwarna broken white polos. Perempuan itu memilih untuk melihat ketiga malaikat kecilnya yang sudah terlelap terlebih dahulu, menciumi mereka satu per satu. Bahkan Eldra, putra kesayangannya sempat terbangun dan memeluk leher Andien, mencium pipi mamanya dan bergumam "El sayang Mama" kemudian tertidur pulas kembali. Sem
"Kenapa kalian bertiga sekeluarga cepat pindah saat itu? Apa karena Eric?" Hamdan memulai dengan mengorek kejadian lama yang cukup menggegerkan lingkungan mereka saat itu. Dirga paham, yang dimaksud bertiga oleh Hamdan adalah dirinya, Borne dan Ian. Mereka memang terkenal tak terpisahkan sejak kecil - sejak jaman ngaji bareng di sebuah Madrasah di depan masjid. Bahkan ibu mereka seringkali membeli sarung kodian yang akhirnya membuat mereka terlihat kompak seperti saudara kandung tanpa kemiripan paras sama sekali. "Iya Om. Yang saya ingat, hari itu tiba-tiba Papa pulang dari rumah sakit lebih cepat. Langsung ke kamar saya, mencari-cari sesuatu sampai
"Jadi, kamu sudah atau belum pernah menikah?" Hamdan memulai pertanyaan barunya. "Saya duda, Om." jawab Dirga singkat. Hamdan diam sesaat. Memperbaiki posisi duduknya hingga sedikit menyamping agar berhadapan dengan pria yang dicintai puterinya tersebut. "Cerai hidup atau cerai mati?" "Cerai hidup, sekitar lima tahun yang lalu, Om."
"Perempuan itu menjauh?" tanya Hamdan lagi. Ia ingin memastikan perjalan cinta puterinya kali kedua ini. Memastikan kepantasan dari pria yang dalam waktu singkat bisa meluluhkan hati beku puterinya kembali. "Lucunya, Medusa itu gencar meminta saya kembali. Setelah laki-laki yang menghamilinya lebih memilih istri dan keluarga kecilnya. Setelah akhirnya dia kehilangan janinnya karena keguguran." Dirga menjawab pertanyaan Hamdan dengan tersenyum sinis. Hamdan memijit pelipisnya. Perasaannya tidak enak. Bukan karena pemuda ini, tapi karena julukan Medusa yang diberikan oleh Dirga. Artinya, perempuan itu amat sangat mungkin mengganggu hidup puterinya kan?
"Papaaaaaa... banun! Mmmaah!" "Mmmaah!" "Papaaaaa" Bocah kecil itu terus saja berceloteh memanggil Dirga seraya menepuk-nepuk pipi Dirga dengan tangan kecilnya. Bibir kecilnya berulang kali menciumi pipi pria yang dengan senang hati dipanggilnya Papa. Sang Ibu hanya terkekeh mengamati kelakuan lucu bocah itu sambil duduk di meja di samping sofa yang dijadikan tempat terlelap oleh Dirga. 
Dirga sampai di kantor nyaris pukul sepuluh. Kemacetan sepanjang jalan Bogor - Jakarta nyaris menghabiskan mood dan tenaganya pagi itu. Borne masuk ke ruangnya, membawa segelas es kopi susu ukuran large yang ia pesan lewat aplikasi di ponselnya. "Buat balikin mood lo!" ujar Borne seraya meyodorkan gelas kopi itu kepada Dirga. Dirga menerimanya, mengaduk cairan itu, menancapkan
Ian masuk ke ruangan CEO 3D Design Corp tepat pukul dua siang. Ia mengetuk meja kerja Borne - yang masih sibuk double checking beberapa dokumen dan design sebelum masuk ke meja CEO. "Bentar, nanggung dikit lagi!" ucap Borne tanpa menengok ke arah Ian. "Lo masuk aja langsung." "Lo ikut, bro! Penting ini." perintah Ian sambil melangkahkan kakinya ke ruang kerja Dirga. Mengetuk kayu kokoh itu beberapa kali, Ian lantas langsung
Sementara di tempat lain, seorang pria terus memukuli samsak di hadapannya hingga buku-buku jarinya memerah, meradang, perih. Kesal bukan main setelah melihat perempuan yang sejak lama ia cintai keluar dari gedung perkantoran di mana sang mantan suami mengembangkan usahanya. "AAAAAAARRRRRGGGHHHHH!!!" teriaknya nyaring. Ia menghentikan aksi brutalnya dan membaringkan dirinya yang masih terengah-engah di atas lantai kayu. Ingatannya memutar kembali berbagai kejadian bahagia yang sempat ia lalui dengan perempuan itu. Masa-masa sebelum Dirga datang mengganggu tali kasihnya dengan Viona. Berkali-kali Ditya berusaha mendapatkan hati Viona kembali, berkali-