Sasha masih mematung ditempatnya duduk, ia menatap Evan tak percaya, "Kenapa kamu mengatakan semua saya saya? Apa untungnya buat kamu? Bahkan selama bekerja dengan kamu saya selalu bersikap tidak ramah," tukas Sasha masih tak mengerti dengan pengakuan Evan yang tiba-tiba. Tawa Evan yang renyah bahkan terdengar seperti auman di telinga Sasha. "Tidak ada yang gratis di dunia ini Sasha, bahkan sebuah informasi! Dengan mengatakan semua sama kamu, saya akan kehilangan pekerjaan saya dan saya mungkin harus selamanya meninggalkan Indonesia, walaupun memang itu yang saya inginkan," sahut Evan, matanya menerawang menatap ikan hias yang berenang-renang di aquarium restoran. "Jadi apa yang kamu mau? Kalau uang, kamu udah tau kan bagaimana kondisi keuangan saya!" cetus Sasha tak sabar. Evan terkekeh, "Bahkan hutang kamu yang cuma satu milyar aja kamu gak bisa bayar! Gimana saya mau minta uang sama kamu!" sahut Evan tajam. Sasha terkejut, "Dari mana kamu tau? Sejauh apa kamu mengobservasi
Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok Thailand terlihat lengang, tidak terlalu banyak orang yang melakukan penerbangan malam hari. Sasha berdiri di depan gerbang check in bandara bersama Evan, mendengarkan setiap instruksi Evan dengan seksama. Berusaha untuk tidak meluputkan satu katapun demi keselamatannya. "Oke Sha, kamu harus check in, sebentar lagi pesawat on board," tukas Evan sambil mengedikan matanya ke arah gerbang check in. Sasha menarik nafas panjang, berusaha untuk menenangkan perasaan takut yang menguasai dirinya. "Take care, ingat semua yang saya bilang, dan satu lagi, saya mengandalkan kamu untuk memastikan Allysa baik-baik saja, tolong jangan kecewakan saya," pesan Evan sungguh-sungguh. Sambil agak berkaca-kaca Sasha mengangguk, "I will, don't worry about that, thanks ya Van karena sudah mengurungkan niat untuk melakukan hal buruk kepada saya," ucap Sasha tulus. Evan mengangguk, "I did that for Allysa, seumur hidup saya melakukan kejahatan, belum pernah say
"Sasha? is that you?" tanya Daniel saat melihat Sasha berdiri di depannya. Begitu juga Raga dan Gianna, mereka menganga menatap Sasha dalam tampilan yang berbeda. Sasha membuka wig dan kacamatanya, dalam hitungan detik Daniel menghambur memeluk Sasha erat. "What is happening?! Are you okay?" tanya Daniel sambil memeriksa tubuh Sasha. "Thank God I'm okay Babe, listen there's something I need to tell," tukas Sasha, membuat semuanya terdiam. Dengan perlahan Sasha mengambil amplop cokelat yang terletak di atas meja, amplop tersebut masih tertutup rapat, belum ada yang berani membukanya, karena mereka tak tahu apa yang ada di dalamnya. Sasha mengeluarkan satu buah ponsel, flashdisk dan selembar kertas, lalu meletakkan semuanya di atas meja, membuat Daniel, Raga dan Gianna mengerutkan kening tak mengerti. Setelah menenggak segelas air putih, Sasha menceritakan semuanya pada Daniel, Raga dan Gianna. Wajah Daniel dan Raga pucat, keduanya sama-sama ngeri saat membayangkan Sasha harus mel
Sasha menatap semua yang berada di ruangan, meminta pendapat, apakah harus menerima telepon tersebut atau tidak. Tak ada yang bereaksi, mereka semua tampak terperangah. Setelah memantapkan hati, Sasha mengangkat telepon tersebut. Ia menggeser tombol berwarna hijau dengan perasaan berdebar, lalu menekan tombol speaker dan menunggu, beberapa detik, tak terdengar suara apapun. "Let's make a deal," BAM suara Olivia terdengar jelas dan jernih, Daniel sudah nyaris mengambil alih telepon namun Sasha mencegahnya dan menyuruh semua yang ada di sana untuk tak bersuara. "Penawaran apa yang bisa kamu tawarkan untuk tindak kriminal memalukan yang sudah kamu lakukan," tukas Sasha dengan suara jijik penuh kebencian. "Banyak," sahut Olivia ringan. "Uang, koneksi, nyawa Evan, hidup kamu dan keluargamu," saat Olivia mengatakan itu Sasha menyelanya. "Jangan pernah berani main-main dengan keluarga Saya! Berani sentuh keluarga Saya seujung kuku pun Saya pastikan kamu akan menyesal sampai ke kerak ne
Allysa berdiri dengan mata jernihnya di depan Sasha, ia tampak heran dan menatap Sasha dengan penuh tanda tanya. "Jadi kakak siapanya Ayah?" tanya Allysa bingung. "Aku temannya Ayah, mulai sekarang dan seterusnya aku teman kamu juga! Jadi kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku!" tukas Sasha dengan posisi berdiri di atas lutut menjajari tinggi badan Allysa. Setelah tiga jam mengobrol dan bermain bersama Allysa, Sasha sudah bisa dengan mudah mengambil hati Allysa. "Tante, kalau ada apa-apa tolong hubungi saya ya, saya akan dengan senang hati datang ke sini," ujar Sasha kepada Ibunda Evan yang menyambut Sasha dengan tangan terbuka, apalagi waktu Sasha mengatakan bahwa Evan masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja. *****Sasha dan Daniel sedang sibuk membereskan kekacauan di Luke & Park Communications yang terkena imbas akibat pemutusan kerjasama dengan MW Food saat tiba-tiba Heidi menelepon Sasha. "Your Mom!" pekik Sasha saat melihat nomor Heidi muncul di layar ponselnya.
Hujan turun dengan lebat, Sasha dapat melihat butirannya turun dan mengalir dengan deras di dinding kaca Penthouse. Malam ini Sasha memutuskan untuk menginap di Penthouse Daniel, karena Gianna mengatakan dia baik-baik saja, maka Sasha berjanji akan mampir ke apartemen Gianna keesokan paginya. Daniel yang baru saja selesai mandi menghampiri Sasha dan memeluk Sasha dari belakang. "I'm glad you're back," tukas Daniel tulus. Sasha tersenyum, meraih jemari Daniel dan mengecupnya pelan. "It's like a dream, aku masih merasa ini gak nyata, baru kemarin aku ketakutan menyamar di Bandara, sekarang aku di kamar Penthouse dengan kamu dan cincin ini benar-benar di luar ekspektasi aku," ujar Sasha sambil tetap menatap ke depan, melihat air hujan yang masih turun dengan lebatnya. "I know, ready or not Sha, aku mau kita terus sama-sama, pernikahan will let me to protect you always, aku gak akan ngebiarin satu orang pun menyakiti kamu," tukas Daniel sungguh-sungguh. "Jadi kapan kita akan menikah
Venue resepsi pernikahan Daniel dan Sasha di taman sebuah hotel sudah didekorasi dengan sangat apik. Mereka sengaja mengusung tema tropical garden party agar terasa lebih hangat dan kekeluargaan. "Gila Gila Sha! Badai banget lo asli!" pekik Gendis saat melihat Sasha dalam balutan baju pengantin berwarna putih tanpa lengan, yang menunjukkan lekuk tulang bahunya yang sempurna. Sasha tersenyum malu-malu, ia juga sudah memuji dirinya sendiri terus menerus sejak pertama kali melihat bayangan dirinya di cermin tadi. "Kakaaaak kayak princess!!!! Katia mau pake baju kayak punya kakak!" tukas Katia sambil memeluk kaki Sasha. Sasha tertawa, "You will Baby, one day yaaaa! Kamu juga cantik kok pakai baju itu, kayak little princess!" ujar Sasha tangannya memegang lembut pipi Katia. Jasmine tampak agak murung, memandang Sasha dengan tatapan sedih. Sasha merentangkan tangan, "Sini Jas!" panggil Sasha lalu memeluk Jasmine saat ia sudah berada di dekat Sasha. "Gak akan ada yang berubah setelah
"Mom are you sure about this?" tanya Daniel untuk yang kesekian kalinya. Heidi mengangguk yakin. Ia mengulurkan sesuatu pada Sasha. "I no longer need this," tukasnya sambil tersenyum. Daniel yang tak tahu apa-apa merasa penasaran dan mengambil kertas itu dari tangan Heidi. Kertas tersebut merupakan kertas perjanjian yang pernah Sasha berikan pada Heidi. Di perjanjian itu Sasha berjanji jika dalam waktu tiga bulan Sasha tidak mampu mengembalikan semua aset milik Daniel kembali dari tangan Muchtar Hartono, maka Sasha akan meninggalkan Daniel untuk selama-lamanya. Daniel menatap Sasha tak percaya, "So this was what made my mom become nice to you?" tukas Daniel terperangah. Sasha hanya mengigit bibir, tak tahu harus berkata apa. Heidi tersenyum, "Yeah, melihat kegigihanmu rasanya tak ada alasan untuk tidak bersikap baik padamu," ujar Heidi pada Sasha. Malam itu, setelah resepsi pernikahan, Heidi berencana untuk berangkat ke Oslo, Norwegia. Daniel dan Sasha sampai bertanya berkali-k