“Mas Aris ....”Aris yang baru saja membuka mata kebingungan ketika mendapati Dinara berada di dekatnya, dan lebih kebingungan lagi mendengar suara samar-samar dari ponselnya. Suara yang tentu saja sudah sangat dikenalinya.“Oh, shit!!” Aris menelan ludahnya kasar. Dia tentu dengan cepat bisa menyadari apa yang baru saja terjadi. Di alam bawah sadarnya tadi, ia sedang memeluk Alea, menyentuh gadisnya itu dengan lembut seperti yang biasa dilakukannya, tetapi ternyata ia melakukannya bukan pada kekasihnya melainkan pada istri belianya, Dinara.Aris menoleh ke arah ponselnya, layar di sana masih menampakkan wajah cantik Alea. Ia pun tentu tahu bahwa sambungan teleponnya dengan Alea masih ON, seperti yang selalu terjadi pada keduanya. Aris menyugar kasar rambutnya, sebelum meraih ponselnya di atas meja.“Aku jelasin nanti, Sayang,” katanya lalu mengakhiri panggilan tanpa menunggu Alea menjawab.Mata elang Aris kini tertuju penuh pada Dinara yang terlihat salah tingkah. Entah apa yang ada
Aris berkendara sambil terus memutar otak, berkali-kali pria itu terlihat mencengktam kemudi hingga ruas-ruas tangannya terlihat memutih. Dinara yang duduk di sampingnya sudah terlihat jauh lebih segar setelah tadi Novi menyuapinya bubur hangat. Obat yang dibelikan Aris di apotek tadi juga banyak membantu gadis itu melawan hangover-nya. Maka setelah Dinara tak lagi muntah-muntah, juga tak ada lagi aroma alkohol yang menguar dari tubuh gadis itu, Aris memilih untuk segera berpamitan pada Novi. Apalagi beberapa tetangga terlihat sangat jelas mondar-mandir di depan rumah Novi seolah sedang mencari tahu tentang keberadaan tamu di rumah itu.Aris menghela napas kasar, ia tahu sedang menghadapi banyak masalah karena semalaman tak pulang ke rumah. Bukan saja menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dari Oma Lili, tetapi juga tentunya pertanyaan dari Alea. Apalagi keadaan Dinara pagi ini membuatnya terpaksa tak datang ke kantor. Ia bahkan memilih menonaktifkan ponselnya tadi ketika beberapa ka
“Pejamkan matamu, Nara sayang.”“Om Aris mau ngapain?”“Just closed your eyes. Biar Om yang kerja, biar Om yang urus. Oma Lili nggak akan percaya alasan alasan kuno tanpa bukti.”Meski terlihat ragu-ragu, tetapi Dinara menuruti saja perintah Aris. Gadis itu perlahan memejamkan mata. Aris terpaku beberapa detik ketika wajah keponakannya dengan mata terpejam itu kini tepat berada di depannya. Pria itu mengerjap berkali-kali memperhatikan dengan saksama wajah istri belianya yang ternyata sangat cantik. Dinara memiliki garis wajah persis ibunya, tetapi alis tebal gadis itu menurun dari ayahnya. Dan bibir mungil itu ... Aris tanpa sadar menggigit bibirnya sendiri teringat bahwa ternyata dia lah lelaki pertama yang menyentuh bibir mungil itu.“Om ....” Suara lembut Dinara membuyarkan lamunan Aris tentang bibir Dinara. Ia menggeleng berkali-kali agar ingatan tentang bibir mungil itu pergi dari kepalanya.“Hm. Jangan bergerak, Nara.” Aris kembali memberi perintah sebelum akhirnya maju hingga
“Om.” Dinara masih memanggil. “Kalo nanti Oma nggak percaya terus tinggal di rumah ... kita gimana?”“Ya mau nggak mau Om tidur di kamar kamu.”Dinara terdiam, entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu saat ini.“Kalo sampai Oma masih nginap di rumah, jangan bikin celah yang bisa bikin Oma curiga. Kita sekamar dan harus tampil sebagaimana normalnya suami istri. Makin normal dan makin meyakinkan, makin cepat Oma pergi. Sebaliknya, semakin kita menampakkan hal yang aneh, tentu saja Oma akan semakin lama tinggal di sana.”“Emang normalnya itu seperti apa, Om?”Aris menggaruk tengkuknya. “Kamu banyak nanya, Nara!”“Biar Nara bisa tau mesti ngapain.”“Normalnya itu ... ya mesra-mesraan, sering-sering keramas pagi dan juga ... sering-sering ada tanda seperti ini di leher kamu.”Dinara menghembuskan napasnya dengan kasar, membayangkankan bagaimana Aris membuat tanda di lehernya tadi membuat jantungnya kembali berdetak kencang.“Dan satu lagi, Nara.” Aris menatap dalam-dalam mata Dinara. “Ka
“Ponselku kehabisan baterai dari semalam, Ma.” Aris duduk di hadapan ibu angkatnya dengan sikap sopan seperti biasa. Sejak tiba di rumah mewah milik kakak angkatnya yang kini dihuni Aris dengan Dinara, Oma Lili memang sudah menunggu di ruang tengah, seolah sudah tau jika anak angkat dan cucu kesayangannya itu akan pulang ke rumah.“Ponsel Nara juga tidak bisa terhubung dari kemarin.” Oma Lili menatap tajam pada Aris.“Oh, kalo itu Nara sepertinya emang sengaja memblokir nomor Mama.” Aris menjawab santai lalu menikmati ekspresi kesal dari wanita tua yang masih terlihat segar di hadapannya.Aris memang sudah menyusun sandiwara ini di depan ibu angkatnya. Kesepakatannya dengan Dinara dalam perjalanan tadi membuat Aris-lah satu-satunya kini yang berada di hadapan Oma Lili. Aris yang khawatir Dinara akan salah bicara memutuskan menggendong gadis itu tadi setibanya mereka di rumah. Pria itu lalu memberi kode pada Oma Lili untuk tidak bicara dulu karena ia sedang berkonsentrasi pada gadis ya
“Kayak ... ehm ... Nara kayak mau terbang. Ehh ... bukan. Kayak ada yang terbang di perut Nara. Ehh ... bukan. Itu kayak ... geli tapi menyenangkan.”Aris menyeringai. Cara Dinara menggambarkan ciumannya membuat Aris semakin yakin bahwa gadis itu memang masih sangat polos.“Nara ...,” panggil Aris lembut.“Iya, Om.” Dan cara Dinara menjawabnya dengan nada yang sama lembutnya membuat Aris menelan ludahnya. Ia tak pernah tahu bahwa gadis itu memiliki sisi kelembutan seperti ini, Dinara yang dilihat Aris selama ini adalah gadis belia beranjak dewasa yang keras kepala dan tak pernah ramah padanya.“Selain dengan Kenzo, Nara pernah punya pacar lain?”Dinara menggeleng, Aris menghela napasnya.“Sejak kapan Nara pacaran sama Kenzo?”“Sejak Nara SMA, Om. Sejak .... “ Dinara menggantung kalimatnya, gadis itu menatap mata Aris mencari tahu apakah pria di hadapannya ini layak untuk mendengar cerita hidupnya. “Sejak Mama dan Papa meninggal.” Dinara akhirnya menyelesaikan kalimatnya dengan suara b
Aris sudah berkali-kali datang ke rumah ini, sebuah rumah minimalis modern dengan deretan pot bunga yang tersusun rapi memanjakan mata di bagian teras depan. Sebuah gambaran rumah yang selalu menjadi impian Aris untuk menjadi bagian dari pemiliknya. Rumah milik orang tua Alea, ke sana lah Aris melajukan kendaraannya setelah tadi menerima telepon dari Alea.Di teras rumahnya, Alea sudah menunggu sang kekasih datang ke sana. Gadis itu bangkit dari duduknya di kursi teras ketika kendaraan roda empat milik kekasihnya sudah terparkir di depan rumah.“Hai, Sayang!” Aris menyapa saat melihat Alea di sana, namun saat hendak mencium pipi gadis itu, Alea menghindarinya.“Nggak enak. Ntar diliat Ayah,” kata Alea.“Sorry.” Aris tersenyum memahami. “Ayah kamu manggil aku?”“Iya, Mas. Kalo bukan Ayah yang minta, mana berani aku nyuruh Mas Aris ke sini siang-siang gini.”Aris berhenti sejenak, baginya jarak antara teras dan pintu utama rumah Alea terlalu dekat sehingga ia tak bisa berlama-lama deng
“Any explanation, Mas?” Alea sudah duduk di kursi depan mobil Aris kini, sementara Aris duduk di belakang kemudi.“Tadi itu nggak sengaja, Lea. Bahkan saat aku meluk Nara, yang kubayangin itu kamu, yang kurasakan itu sedang meluk kamu. Kamu tau kan aku selalu menginginkanmu.” Aris berbicara sambil sesekali menoleh ke kiri. Dalam pandangan lelaki itu, Alea siang ini nampak begitu cantik dengan setelan blouse berwarna peach dipadu rok selutut, rambut Alea yang dikuncir ke atas membuat Aris harus berkali-kali menelan ludahnya sejak melihat Alea keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian tadi.“Dengan cara kamu menjamah dia seperti tadi pagi, itu nggak sengaja, Mas?” Alea masih menuntut penjelasan.“Ya mau gimana lagi, yang kubayangin itu kamu, Sayang. Makanya tangannya nggak bisa diem, kamu tau sendiri kan gimana tanganku kalo sama kamu.” Aris sepertinya sudah yakin bahwa Alea akan mengerti, karena memang seperti itulan Alea-nya, selalu mengerti dirinya, selalu memahami inginnya. Hal