Kecupan itu semakin agresif. Belinda menjelajahi setiap lekukan leher Raffa yang candu. Aroma sabun menggelitik penciumannya hingga ingin terus mengendusnya."Kamu wangi, Raf. Aku suka." Sembari mengendus, jemari Belinda mengelus lembut permukaan leher sang kekasih, merambat ke tengkuk, lalu meremat helaian rambut Raffa.Sementara Raffa mengungkung tubuh Belinda dari belakang, melingkarkan tangannya ke perut rata itu, kemudian menelusup masuk ke dress dan meraba kulitnya. Naik perlahan, lantas berhenti di buah dada sintal dan kenyal milik Belinda. Ukuran yang menurut Raffa semakin besar dan padat."Bel, ini ukurannya kenapa tambah gede." Raffa berbisik, sembari memilin puncaknya yang mengencang. Belinda melenguh, mendesah sensual kala Raffa bermain-main di dadanya."Raf... eugh...." Bibir Belinda menyambut ciuman Raffa yang masih berada di balik punggungnya. Melumat dan menyesap bergantian hingga suara decapan bibir mereka menggema di seluruh ruangan luas itu. Ruang tamu nampaknya men
Paginya, Belinda yang masih memejamkan mata merasa terusik dengan sentuhan-sentuhan nakal yang berasal dari tangan Raffa. Perempuan itu menggeliat, kala buah dadanya terasa diremas dan dipijat lembut. Tanpa sadar bibirnya bahkan mengeluarkan desahan. Raffa menyeringai, memandang Belinda yang sangat terlihat cantik dan seksi saat masih tidur seperti ini. Ditambah dengan desahan erotis yang meluncur dari bibirnya yang merekah. Pemuda itu memang sengaja melakukannya, mengganggu tidur sang kekasih lantaran tak tahan disuguhi pemandangan indah di samping bantalnya. Memeluk Belinda dari balik punggung seperti ini, memudahkannya menjangkau buah dada yang ukurannya bertambah itu. Membenamkan wajahnya di tengkuk perempuan yang tengah mengandung benih cintanya. Mengendusi setiap helaian rambut pirang Belinda yang wangi. "Raf." Bola mata Belinda akhirnya terbuka sempurna, niatnya yang ingin bangun siang tak bisa terwujud lantaran gangguan dari Raffa. Tubuhnya selalu bereaksi dengan sentuhan pe
"Raf, ada yang mau tanyain." Belinda berucap ragu, wajar jika dia bersikap demikian sebab Raffa tak pernah sekali pun menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Melihat sang kekasih menyendu, Raffa segera mendekat, memegang kedua lengan Belinda seraya berkata, "Apa, Bel? Kamu mau nanya apa?" Ditatapnya lekat-lekat wajah cantik nan menggemaskan itu. Manik Belinda menyelami sesaat arti dari tatapan Raffa yang begitu memancarkan cinta padanya. Ada perasaan yang tidak bisa dia jabarkan kala memikirkan nasib janin yang dikandungnya. Dia dan anaknya butuh seorang figur yang tak hanya melindungi, tetapi juga bisa dipercaya. Selama ini, memang Belinda tak pernah sekali pun bertanya apa pun soal keluarga Raffa. Keberadaan pemuda itu saja rasanya sudah cukup melengkapi kehidupannya kelak.Akan tetapi, ini bukan soal dirinya saja. Saat ini ada nyawa lain yang berhak tahu dari mana asal-usul sang calon ayah. Belinda tidak ingin, suatu saat kelak anaknya akan mempertanyakan siapa kakek dan nenekn
Jam kerja akhirnya telah selesai. Kini, waktunya Raffa bersiap untuk pulang. Rasa rindu kepada sang wanita pujaan sudah tak bisa ditahan lagi, dengan buru-buru Raffa membereskan meja kerjanya, kemudian bergegas meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba-tiba saja Raffa kepikiran untuk menemui ayah terlebih dahulu. Niatnya ingin memberi kabar jika Belinda sudah ada bersamanya dan saat ini tengah mengandung janinnya. Sudah seharusnya begitu, bukan? Jika menundanya malah akan semakin memperburuk keadaan. Raffa hanya tidak mau membuat orang-orang di sekitarnya bersedih terutama sang ibu. Apa pun risiko yang terjadi setelah ini, dia benar-benar harus siap. Entah itu penolakan atau pun persetujuan yang dia dapat setelah berkata jujur kepada sang ayah. Raffa akan menerima konsekuensi atas perbuatannya itu. Yang terpenting adalah bagaimana cara meyakinkan kedua orang tuanya supaya mau menerima dan merestui hubungannya dengan Belinda.Degup jantungnya berdetak sangat kencang. Raffa seakan hen
"Bel! Belinda? Sayang...?" Raffa yang baru saja pulang, langsung mencari keberadaan sang pujaan hati di setiap sudut ruangan. Melangkah tergesa-gesa, sambil memanggil nama itu.Namun, pada saat dia hendak membuka pintu kamar, Belinda terlebih dulu membukanya dari dalam. Perempuan itu baru saja selesai mandi saat mendengar suara Raffa memanggilnya."Bel." Pemuda itu sontak memeluk tubuh berbalut jubah mandi tersebut dengan sangat erat. "aku kangen." Mengecup bibir Belinda berulang-ulang hingga sang empunya menggeliat kegelian."Raf, pelan-pelan." Belinda berusaha menarik wajahnya dari serangan bertubi-tubi dari Raffa. Bayangkan, dia kini dililit dengan begitu erat dan dihujani kecupan-kecupan mesra. Dari mulai bibir, pipi, hidung, lekuk leher, lalu berhenti sebentar untuk menyesap permukaan kulitnya."Raf..." Belinda mendesah geli. "Raffa...." Bukannya melepaskan, Raffa justru mengangkat tubuh Belinda dengan sekali angkat. Belinda yang terkejut sontak mengalungkan tangannya di antara l
Sempat berputar-putar dan mengelilingi seluruh Mall, Raffa dan Belinda akhirnya keluar dengan membawa banyak sekali kantung belanjaan. Ada sekitar lima kantung yang isinya pun berbeda-beda. Raffa membelikan semua kebutuhan kekasihnya, dari mulai susu hamil sampai apa pun yang diinginkannya."Kamu enggak kira-kira, Raf. Itu kebanyakan, tahu!" Belinda tak henti mengoceh sejak di dalam Mall sampai berada di dalam mobil. "Buat apa coba kamu beli susu hamil dari semua merk? Buang-buang duit." Lantaran kesal, Belinda memilih menatap ke luar jendela. Bayangkan saja, Raffa membelikannya susu hamil dari berbagai merk dan bermacam varian. Memang, Belinda akan meminum itu setiap hari? Belum tentu juga dirinya cocok minum susu hamil. ck! Melengos sekilas, sambil terkekeh pelan. Raffa menggeleng heran karena Belinda masih saja membahas hal itu. Lalu, dia pun segera memberi penjelasan supaya Belinda tidak lagi merasa kesal padanya. "Kan buat jaga-jaga, Bel. Siapa tahu susu yang merk itu rasanya
Ruangan itu mendadak hening, sesaat Raffa menyampaikan niatnya kepada Bima. Sementara Bima, hanya diam sambil menggulirkan bola matanya, menatap bergantian Raffa dan Belinda.Tadinya, Bima pikir jika Raffa tidak akan pernah berani menemuinya secara langsung dan secara terang-terangan seperti ini. Namun, persepsinya selama ini tentang Raffa sedikit goyah. Dari segi usia, Raffa memang terlihat sangat muda dan nampak masih labil. Ternyata, di luar penampilannya, pemuda berusia 23 tahun itu mempunyai pemikiran dan tindakan yang matang.Sempat, tak percaya. Akan tetapi, Bima patut memberikan Raffa kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya layak untuk Belinda. Dari segi materi, Bima yakin jika Raffa bisa memenuhi itu semua. Mobil ada, tempat tinggal pun Raffa punya, bahkan bisa dikatakan sangat layak untuk ditempati.Lalu, pekerjaan?Ah, Bima hampir lupa menanyakan hal itu."Kamu sekarang kerja apa? Jangan bilang kalo kamu masih kerja di Kelab malam?" tanya Bima, menebak-nebak profesi Raff
"Hei." Tepukan di pundak, membuat Belinda tersentak. "Ngelamunin apa?" tanya Raffa, memegang tangan sang kekasih yang kini menatapnya.Raffa merasa penasaran dengan apa yang saat ini tengah dipikirkan perempuan itu sebab wajah yang awalnya ceria seketika berubah murung.Belinda menggeleng pelan, seraya melipat bibir. Tak lama setelah itu dia pun mengulas senyum. Meraih tangan Raffa lalu mengecupnya."Aku cuma keinget masa lalu aku. Dulu, waktu pertama kali aku ke rumah ini," ucap Belinda yang Raffa pikir ingin membuka obrolan.Alis Raffa menaut. "Terus?" Dia seolah memancing Belinda untuk bercerita lebih."Aku udah pernah cerita sebelumnya sama kamu. Soal permasalahan rumah tanggaku dengan Mas Bima yang sejak awal memang enggak bahagia."Raffa mengangguk. Tentu saja dia masih ingat itu semua. Beberapa bulan yang lalu, Belinda sering menceritakan permasalahan rumah tangganya. Tak hanya bercerita, kekasihnya itu pun sering menangis apabila mengingat kebodohannya yang mau dinikahi Bima.