Pendingin ruangan pun masih belum mampu menyejukkan ruangan yang terlanjur memanas akibat tautan dari dua insan yang masih saling menatap dalam. Arkasa masih menekuk sebelah tangannya—menopang agar bobot tubuhnya tak menimpa Alana sepenuhnya. Sementara sebelah tangannya masih menahan dua tangan kurus sang gadis diatas kepala. Tanpa diduga, Alana justru melayangkan satu kecupan kecil singkat di ranum Arkasa yang menganggur. Kejadian itu terlalu cepat, bahkan Arkasa yang berusaha memastikan bahwa semuanya ada dibawah kendali pun merasa kecolongan.
Tak ada lagi cengiran ataupun racauan khas Alana, yang Arkasa lihat hanyalah netra sayu dan rona merah di kulit putih Alana telah mengacaukan fokusnya. Lelaki itu tak berkedip, kini menatap penuh minat dan balas melancarkan serangan pada ranum sang gadis yang terbuka. Keduanya berbagi pagutan, kian dalam bahkan hingga perlahan Arkasa melepaskan kedua tangan Alana yang tadi dia bawa diatas kepala. Tangan sang gadis pe
Sibuk berlari diatas treadmill dengan kecepatan sedang, lengan ikut mengayun seirama. Sepasang earpods menutupi dari bisingnya dunia luar sementara pandangan mata elang itu masih fokus kedepan. Sebenarnya tak seratus persen fokus seperti biasanya. Arkasa Dean Pradipta hanya mencoba mengalihkan pikirannya dari distraksi luar biasa yang benar-benar mengganggunya sejak semalam. Setelah mandi kemarin, laki-laki itu bahkan tak bisa tidur dengan pulas. Terus menyibukkan diri dengan justru membuka kembali risetnya dan melanjutkan pekerjaannya. Dirinya baru sempat tertidur sekitar pukul 4 pagi dan akhirnya bangun kembali pukul setengah tujuh. Dia ingin menyucikan pikirannya dengan cara berusaha produktif. Tapi bayang-bayang manis bibir dan sentuhan hangat Alana terus berputar dalam kepalanya. Arkasa setengah meringis namun terkadang justru senyam-senyum tak jelas. Sungguh dia merasa konyol seperti menjadi remaja puber yang dipenuhi hormon gila. Bagaim
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berada di The Oculus, berkunjung ke museum, dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Manhattan.Seharian bersama Arkasa menguak banyak sisi baru dari lelaki itu yang tak banyak dia ketahui sebelumnya. Alana tak sadar bahwa orang seperti Arkasa sebenarnya punya banyak kesamaan dengannya terutama dalam selera arsitektur, bacaan, dan bahkan suasana favorit. Seperti sekarang ini, keduanya sama- sama tersesat dalam pekatnya malam. Taman ini mungkin akan sangat ramai pada siang hari, namun pada malam hari jadi cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang sempat berpapasan dengan mereka—itupun sibuk dengan aktivitas masing-masing, tentunya.Langkah keduanya beriringan, perlahan dan pasti namun tanpa ada pembicaraan apapun yang menggaun
"Kamu yakin saya boleh tidur disini?" Alana menaikkan satu alisnya, memandang heran Arkasa yang nampak ragu sembari memeluk bantal guling putihnya. Beberapa waktu lalu, dengan percaya diri suaminya itu menawarkan hubungan serius dalam pernikahan mereka dan berusaha akan menjadi suami yang sesungguhnya. Dia bahkan tak memberikan Alana kesemmpatan untuk menolak sama sekali. Sekarang Alana tengah memberinya kesempatan. Sebagai suami istri, bukankah merupakan hal yang normal untuk tidur bersebelahan di satu ranjang yang sama? Berkacak pinggang karena mulai jengah dengan keanehan Arkasa. Sekarang ini Alana merasa bahwa seakan-akan dirinyalah yang agresif karena meminta Arkasa untuk menghuni sebelahnya di kasur yang sama. Dia hanya membantu Arkasa untuk mewujudkan curahannya tadi. Tapi respon Arkasa ini seolah-olah lelaki itu terlalu polos dan suci yang bahkan tak berani mendekati wanita. Apa- apaan ini? "Aku memberi kamu kesempatan lho, mas! Lagipula ini hanya tid
Alana tak tahu sebelumnya kalau sinar mentari juga bisa menambah pancaran karisma seseorang. Tak mau bergerak dan justru terpaku pada pahatan mahakarya yang tengah bernafas teratur sembari satu tangannya masih memeluk pinggang kecil Alana posesif. Sekarang ini belum ada niatan bagi Alana untuk bergerak bangkit atau melakukan apapun. Biarkan saja dia berkecamuk dalam pikiran sembari menikmati pemandangan pagi yang tak boleh terlewatkan. Dalam hati Alana merutuk, bisa- bisanya selama sebulan ini dia melewatkan pemandangan wajah polos Arkasa yang tengah tertidur. Lelaki itu nampak seperti bayi meskipun berada di usia awal tiga puluhan. Wajah tegas dan tatapan dinginnya tak berlaku saat dia sedang mode istirahat begini. Diam- diam dia merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk memandang dekat wajah tampan lelaki yang mungkin dulu banyak dibayangkan sebagai tokoh fiksi saat dia masih remaja. Senyum simpulnya terpancar, namun tak berapa Alana menggeleng
Setelah menempuh perjalanan panjang yang super melelahkan, pasutri yang tanpa sengaja kompak mengenakan atasan dan kacamata berwarna hitam itu akhirnya tiba di Indonesia. Arkasa menarik dua buah koper yang berisi barang miliknya dan sang istri. Sementara didepannya, Alana menjinjing tas kerja dengan langkah sedikit diseret. Sejak turun dari pesawat memang Alana terlihat agak lemas dan tak fokus. Beberapa kali ia hampir tersungkur, menabrak orang lain ataupun salah arah jalan. Untung saja Arkasa suami siaga yang dengan sigap menuntunnya hingga sampai mobil. Meskipun dalam kondisi yang kurang baik, Alana masih sempat menerbitkan senyum ramah pada supir keluarga Pradipta yang hari ini menjemput keduanya di bandara. Setelah memastikan bahwa Alana masuk kedalam mobil dengan aman, barulah Arkasa membantu sang supir untuk memasukkan barang bawaan kedalam bagasi. "Langsung pulang, pak?" tanya pak supir sebelum keduanya masuk kedalam mobil. Arkasa nampak berpikir sebentar l
Memasang senyum kaku selama hampir empat puluh menit rasanya benar- benar membuat otot wajah terasa sakit. Alana meneguk kembali kopinya yang sudah dingin hanya untuk menghilangkan kecanggungan yang menerpa. Kembali ia memasang senyum manis basa-basi ketika dua orang dan satu manusia jadi-jadian dihadapannya mengutarakan jenis kerjasama yang mereka inginkan untuk projek kali ini. Alana mengangguk sopan mengiyakan permintaan client super VIP-nya itu. Sejujurnya permintaan itu bukanlah hal sulit dan ia sangat yakin timnya lebih dari mampu untuk mengerjakan dengan baik projek kali ini. Hanya saja, dia tak pernah menyangka akan duduk satu meja bersama dengan wanita berusia empat puluhan yang terang- terangan meliriknya sinis sejak tadi. Veronica Delani, wanita yang berstatus sebagai istri sah dari Saddam Giovandra. Alana memang tahu bahwa Veronica dikenal sebagai social butterfly atau justru malah lebih terlihat seperti penjilat kalangan atas. Tapi siapa sangka ternyata
Alana terkesiap kala Arkasa yang entah muncul darimana menarik dan mendekap pinggangnya posesif. Penampilan lelaki itu masih sama seperti tadi pagi saat mengantarnya. Seingatnya tadi setelah mengantarnya, Arkasa langsung melenggang ke kampus karena ada jadwal ajar. Alana mendongak sekilas, mendapati satu senyuman ringan namun berarti terukir di bibir tebal Arkasa. Sorot matanya nampak tenang meskipun satu alisnya yang terangkat bisa jadi mengartikan sesuatu yang berbeda.Bukan hanya Alana, kehadiran Arkasa juga turut mengagetkan baik Rosaline maupun Saddam yang membeku di tempat masing- masing. Meskipun Arkasa masuk dengan senyuman ramah, tapi jelas semua yang berada disana paham apa maksud dari tarikan tersebut."Mas?"Arkasa menoleh sebentar kearah Alana yang memandangnya sedikit bingung. Lebih tepatnya bingung mengapa Arkasa yang tiba- tiba bisa berada disini.Lelaki tiga puluh tahun itu tersenyum kecil sembari mengusap pelan lengan A
"Kenapa kesini?"Memindai suasana luar yang terlihat cukup ramai, Alana menengok kearah Arkasa yang tengah memarkirkan mobil. Lelaki itu mematikan mesin lalu balas melirik Alana, "saya lapar, kita berdua juga baru sarapan roti satu slice tadi pagi," jawabnya datar.Alana tak mau banyak mendebat Arkasa, terutama setelahbantuan lelaki itu. Sungguh, Alana belum bisa melupakan wajah panik Saddam dan cengo Veronica di depan cafe tadi. Karena ia cukup puas dengan hasil kerja Arkasa, kini Alana berniat membayarnya setidaknya dengan mengikuti saja kemana Arkasa membawanya.Keduanya masuk kedalam rumah makan yang cukup sederhana. Arkasa memang lama tinggal di negeri orang, tapi kalau sudah kembali ke tanah air, dia jadi lebih suka makanan-makanan khas disini. Tipikal yang meskipun sultan namun tetap merakyat. Untuk makan sendiri, Arkasa juga bukan tipikal yang pilih-pilih dan harus di resto