“Pergilah! Aku mengizinkan kamu bersama dengan istri yang kamu cintai. Mengertilah keadaanku! kita menikah terpaksa dan tanpa cinta. Jadi, beri aku waktu.” Sesaat Belva merasa begitu puas. Ia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya dari segala problematika ini.
Soal berdosa dan lain sebagainya, mungkin ia kesampingkan dulu. Daripada melayani setengah hati, apalagi dalam keadaan yang dibohongi, lebih baik seperti ini dulu saja. Ia meminta untuk sendiri.
Dari sorot wajah Ravin pun cukup menjelaskan, bahwa ia hanya sebatas nafsu saja dengan Belva, bukan atas dasar cinta kalau saja tadi mereka langsung terbuai dilautan cinta.
***
“Jadi cerita saat kamu bilang Belva kawin lari itu memang benar?” tanya Alana.
Setelah tadi banyak berbincang dengan Belva, akhirnya Ravin kembali ke kamar istri pertamanya. Mereka sedang di atas kasur, Ravin bersandar di paha Alana, sementara wanita itu mengusap lembut rambut sang suami. Romantis sekali.
“Ya. Tapi statusnya tetap masih perawan, karena setelah menikah, dia ternyata belum pernah berhubungan dengan suaminya. Bahkan sampai mereka bercerai di hari yang sama.” Ravin berujar lugas.
“Berarti, 4 bulan yang lalu Belva sempat menikah lalu berpisah diwaktu yang sama? kenapa secepat itu dia memutuskan untuk berpisah?” Alana terheran.
“Karena emosi. Dan mungkin terlanjur kecewa. Lagipula, Belva akan terlalu lama menunggu jika masih mempertahankan pernikahannya dulu.” Ravin tersenyum getir.
“Kalau mereka tidak bercerai, mungkin kalian tidak akan menikah! dan aku akan tetap menjadi istri satu-satunya untukmu!” keluh Alana.
Ravin mengusap jemari lentik istrinya kemudian berkata lembut, “Kalau pun mereka tidak bercerai, Belva akan tetap sendirian dan tetap menikah denganku. Kami tidak berdaya menentang keluarga. Itulah kelemahannya!”
“Rumit.” Komentar Alana. Meski sebelumnya ia sudah menerima keputusan itu, tetapi rasa kecewa dan cemburu tentu saja tak akan luput dari hatinya. Wajar, naluri seorang perempuan. Mana ada yang sanggup dan tabah jika melihat suaminya menikah lagi.
“Tapi, gimana kalau misalnya nanti keluargamu ingin berkunjung kemari? ingin melihat keadaan kamu dan Belva?” tanya Alana tiba-tiba.
“Itu tidak akan terjadi. Karena sebelum keluarga kemari, aku akan mengajak Belva pindah ke rumah barunya,” kata Ravin sembari tersenyum. Ia memang sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
“Oh ya, apa progres rumahnya bisa diselesaikan dalam waktu 3 bulan ini?” tanya Alana. Dalam hal apa pun yang akan dilakukan sang suami, tentu saja ia sudah mengetahuinya. Ravin sangat terbuka pada Alana.
Ravin mengangguk dan menjawab. “Harusnya dalam dua bulan juga sudah bisa selesai. Aku minta kontraktor lebih cepat menyelesaikan tugasnya, karena khawatir kalau Oma dan Ayah akan datang dalam waktu dua bulan ini.”
Lengang sejenak. Alana tampak berpikir.
“Saat mereka kemari, pasti yang pertama ditanya adalah soal anak. Bagaimana kalau kamu mendapatkan pertanyaan itu?” tanya Alana serius.
Sedangkan Ravin hanya tertawa kecil. “Jawab saja sudah ada. Di dalam sini!” katanya sembari mengusap lembut perut Alana.
“Bukan yang ini maksudku!” balas Alana. Wajahnya cemberut.
“Anakmu dan Belva yang akan ditanya!” sambungnya tegas.
Ravin mengangkat wajah menatap sang istri yang tampak cemberut. Kemudian mengusap lembut pipi mulusnya.
“Itu soal mudah. Yang jelas, dalam waktu dekat ini tidak mungkin mereka langsung ingin menggendong seorang anak.” Ravin tersenyum lalu mengecup bibir Alana.
“Tapi walau bagaimanapun, kamu dan Belva harus bisa bersatu, Mas. Kelak, keturunan dari kalianlah yang akan selalu dinantikan.” Alana tersenyum. Wajahnya terlihat santai namun serius. Membuat Ravin pun tak bisa lagi berkomentar.
“Belva tak bisa aku sentuh dalam waktu dekat ini. Entahlah ....”
***
Suara telepon berdering di ponsel Belva, membuatnya agak terkejut. Ia melihat layar dan nama Tigor yang tengah membuat panggilan. Rekan kerja sekaligus managernya, yang kebetulan selama 2 tahun kebelakang sedang menggantikan posisi Belva dalam projek besar di Australia. Tanpa ragu, Belva menjawab panggilan tersebut.
“Hallo, Tigor? Ada apa?”
“Hai, Belva. Apa kamu baik-baik saja?” Suara pria diseberang panggilan terdengar cemas.
Belva mengernyit dan kembali bertanya, “Aku baik. Memangnya kenapa?”
“Aku baru dengar kabar kalau Arav meninggal di sel tahanan. Ada apa dengan dia, Bel? pasti kamu tau sesuatu?” tanya Tigor bersungut-sungut.
Lengang beberapa saat. Biasanya Belva memang sangat terbuka pada managernya itu. Namun, urusan mendadak soal pernikahannya dengan Ravin, membuat Belva tak bisa banyak berkata-kata. Soal kematian Arav pun, ia belum sempat bercerita pada Tigor.
“Dia mengakhiri hidupnya. Kecewa karna aku menikah dengan pria lain,” ucap Belva. Terdengar suara pekikan kecil di seberang panggilan. Seolah sangat terkejut mendengarnya.
“A-apa? kamu menikah lagi?” Tigor tercengang. “Belva, ini ada apa sih sebenarnya? kok kamu gak cerita kalau kamu nikah? dan sama siapa kamu nikah?”
Belva diberondong pertanyaan oleh pria itu. Ia tak bisa banyak bicara saat ini. Benaknya masih penuh akan banyak hal. Apalagi fakta mencengangkan lainnya adalah pria yang dinikahinya ini ternyata sudah beristri.
“Aku bingung mau jelasin dari mana, Tigor. Ini sangat mendadak.” Belva menghela napas. Terlihat sangat lelah.
Pria di seberang panggilan pun hanya bisa membuang napas dan mengusap wajah dengan gusar. Sepertinya memang ada sesuatu yang tidak baik dari rekannya itu.
“Oke. Besok aku landing ke Jakarta. Kita harus ketemu dan bicara!” kata Tigor.
“Aku gak ada di Jakarta. Aku sekarang tinggal bersama suamiku di Bali,” ujar Belva.
“Tidak masalah. Di mana pun kamu berada, besok kita harus bertemu. Ini pasti ada yang gak beres!” balas Tigor.
“Jangan terlalu dipikirkan. Apa pun yang terjadi, aku tetap baik-baik aja, kok.” Belva berusaha menenangkan.
“Ya, tapi faktanya kamu sedang tidak baik-baik aja!” balas Tigor.
“Sok tau! emangnya kamu bisa lihat aku bahagia atau tidak?” tantang Belva.
“Itu mudah buat aku.” Tigor terdengar percaya diri.
Belva menaikkan kedua alis. “Oh ya, apa yang membuat kamu begitu yakin?”
Di sana, Tigor hanya tersenyum tipis, kemudian berujar. “Kalau kamu sedang bahagia, harusnya sekarang kamu tidak menjawab teleponku. Harusnya kamu sedang bersama suamimu, bukan malah berbicara dengan pria lain.”
Belva tersenyum, bibirnya bergetar menahan tangis. Tiba-tiba ia pun merindukan kehadiran Tigor. Keadaan yang menghimpitnya itu membuat ia membutuhkan tempat untuk bersandar dan bercerita.
Belva menarik napas dalam-dalam, tak bisa lagi berkomentar dan menimpali ucapan pria itu. Ia berusaha tetap tenang. Lebih tepatnya tak ingin terkesan sedih.
“See you, Tigor. Aku menunggu kamu!”
Meskipun tidak melihat langsung, meski jarak mereka sangat jauh, tetapi Tigor cukup peka untuk dapat merasakan kepedihan di hati Belva saat ini.
“Jangan menangis. Tunggu aku, setelah itu kamu boleh menangis sepuasnya dalam pelukanku!” kata Tigor, yang malah membuat Belva langsung mengakhiri panggilan dan menumpahkan tangisnya sendirian.
Dapat dikatakan, setelah Arav, Tigor adalah pria satu-satunya yang dekat dengan Belva. Pria itu bisa menjadi sahabat, saudara, atau kakak. Susah senangnya Belva, Tigor selalu ada untuknya. Bahkan di awal kerja sama mereka, pria itu yang mulanya selalu mengganggu, menggoda hingga pernah Belva benar-benar kesal dan marah.
Namun, perlahan karena sudah hafal dengan sikap dan perangai Tigor yang periang, ceria, humoris dan manis, membuat Belva nyaman berteman dengannya. Pria itu bisa sekaligus menjadi tempat hiburan untuk Belva.
Kebetulan juga pria tampan bernama Tigor itu masih single. Soal drama percintaan, ia jarang sekali bercerita pada Belva.
Ada notifikasi pesan di ponsel. Belva mengusap layar dan melihat Tigor mengirimkan pesan.
Tigor : Tidur. Besok kita jalan-jalan. Ada emoticon senyuman manis yang tersemat.
Belva tersenyum dan membalas.
Belva : Yakin mau ajak jalan-jalan istri orang?
Tigor : Apa salahnya? Aku managermu! orang yang paling dekat denganmu sebelum suamimu itu, iya ‘kan?
Belva terkekeh sendiri. Kemudian kembali membalas.
Belva : Baiklah, besok kita bertemu di tempat yang sudah aku pilih itu ya! jangan lupa kado pernikahannya.
Tigor : Undangan saja nggak ada, untuk apa aku siapkan kado. Kawin dadakan pake minta kado! Kini emoticon kesal yang disematkan.
Belva hanya tertawa geli. Ia tahu itu sebuah umpatan lucu dari Tigor. Pria itu selalu berhasil menghiburnya bahkan untuk hal kecil sekalipun.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Belva masih terjaga, dan mungkin akan sulit untuk terpejam. Rasanya masih begitu menyedihkan berada di posisinya saat ini. Ia memilih untuk beranjak dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga.
Sempat bingung ingin melakukan apa malam-malam begini. Ia menilik ke arah dapur. Teringat bahwa tadi sore ia pun membawa makanan banyak.
“Kebetulan banget aku laper!” Belva langsung melangkah cepat menuju dapur.
Namun, saat melewati sebuah kamar, ia mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar yang ia yakini adalah kamar utama. Lebih jelasnya kamar Alana dan Ravin. Suara itu seperti rengkuhan yang tengah menikmati sesuatu.
Deg!
Belva tahu apa yang terjadi didalam kamar itu. Ia membuang napas kasar. Ekspresinya begitu kesal dan langsung berjalan cepat menuju dapur.
Sesampainya di dapur, Belva langsung menarik kursi dan duduk dengan perasaan bercampur aduk.
“Sialan! pria yang sangat menyebalkan. Bilangnya ingin berlaku adil, baru di usir dari kamar istri muda langsung begituan sama istri tua!”
Belva mendengus dengan kasar. Ia merasa kesal bukan karena cemburu, melainkan masih kecewa dengan sikap Ravin yang pembohong. Dan, menurutnya pria itu juga lumayan munafik. Walaupun dulu Belva sangat memuja Ravin, tetapi baginya itu hanyalah kisah masa lalu sewaktu remaja. Saat ini tipikal prianya bukan lagi seperti Ravin. Apalagi setelah mengetahui banyak kekurangan yang menonjol dari pria itu.“Aku laporin aja sama Om Givari dan Oma Tarra, biar mampus tuh si Ravin!” gerutu Belva, ia membuka kaleng minuman soda lalu meneguknya.“Nyonya ...” Suara Bi Yola membuat Belva nyaris menyemburkan lagi minuman dari mulutnya.Ia menoleh dan menghela napas. “Ya ampun, Bi. Bikin kaget aja!”Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dan merasa tak enak. “Maaf, Nyonya. Kok belum tidur? Apa ada yang bisa saya bantu?”“Oh, nggak ada, Bi. Saya ... cuma lagi gak bisa tidur aja. Maklum kalau ditempat baru memang agak lama adaptasinya.” Belva berujar lugas. “Bibi sendiri ngapain? kok udah larut gini be
Mendengar seluruh cerita tentang kesaksian Bi Yola dalam perbincangan Ravin dan Alana, membuat Belva tak tahu harus berkomentar apa.“Saya juga tidak menginginkan pernikahan ini, Bi. Itu sebabnya aku sendiri yang meminta Ravin untuk kembali ke tempat istri tuanya.” Belva menghela napas, kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi.“Tapi, soal hubungan Ravin dan Alana yang ditentang keluarga, jujur saja aku baru tau,” sambung Belva. “Memangnya apa yang salah dari Alana? dia kan cantik, model, kalau gak salah anak seorang pengusaha juga! kenapa keluarga Ravin menolak wanita seperti Alana?”“Balik lagi ke tradisi dan standar yang sudah ditetapkan sama keluarga Tuan Ravin, Nyonya. Mereka kan menginginkan keturunan ningrat juga. Jaman sekarang kan banyak orang kaya, pengusaha, tetapi silsilah keluarganya tidak ada yang berdarah biru.” Bi Yola menjelaskan.“Ah, lebay banget ya. Padahal kan nikah ya nikah aja. Ngapain pake liat silsilah segala! Selagi orang itu baik dan sama-sama cinta
Panggilan tidak terjawab. Sesaat setelah melihat nama pemanggil, Ravin termangu dengan benak yang berputar. Menebak-nebak asal siapa pria bernama Tigor itu. Ia menilik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Sepertinya Belva masih membutuhkan waktu untuk berganti pakaian.Namun, saat akan beranjak, ponsel sang istri kembali menyala. Kali ini sebuah pesan masuk dari nama yang sama. Ravin melirik singkat dan sempat membaca sebagian pesan itu.Tigor : Dua jam lagi aku tiba di Bali. Aku akan langsung menuju lokasi.Ravin mengeryit. Sepertinya pria itu telah melakukan janji temu dengan istrinya. Tak lama kemudian, Belva yang baru selesai berganti pakaian langsung keluar dan kembali terkejut saat melihat Ravin masih berada di dalam kamarnya.“Loh, kamu masih di sini?” tanya Belva seraya mengeringkan rambutnya.Ravin tak langsung menjawab. Sejenak ia memperhatikan istrinya yang pagi ini terlihat lebih segar dan cantik. Mengenakan blouse hitam dan celana jeans dengan rambut coklatnya y
Notifikasi pesan berbunyi. Belva yang sedang gusar karena kedatangan Ravin secara tiba-tiba langsung melihat pesan itu. Matanya membulat, pasti Tigor sudah tiba di tempat itu.Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Sampai di ujung sebuah meja dekat jendela kaca besar, ia melihat seorang pria tampan dengan setelan kasualnya sedang mengangkat tangan dan melambai ke arahnya. Itulah Tigor.Beva pun tersenyum dan memberikan kode agar Tigor ke tempatnya. Kemudian, Ravin pun menoleh ke arah Tigor lalu menyipitkan mata dan berekspresi datar.“Kenapa dia duduk di sana?” tanya Ravin.“Gak tau!” balas Belva.“Dia benar managermu atau ....” Ravin menyelidik. Membuat Belva menatapnya dengan sengit.“Atau apa? kamu akan mengira aku selingkuh?” Belva geram. Mengerti arah pikiran suaminya.“Kalau dia memang orang terdekatmu, kenapa harus duduk jauh dari kita? harusnya ya hampiri saja kita di sini!” kata Ravin santai.Belva terdiam dengan ekspresi yang sangat muak. Malas berdebat dengan suaminya. Ke
Belva mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Entahlah, aku seperti terjerat selama-lamanya!”“Apa kamu punya rencana? Maksudku apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanya Tigor lagi.Hening beberapa saat, hanya terdengar suara deburan ombak dan angin yang bertiup lembut.“Aku ingin lebih sibuk. Aku tidak ingin banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi, kita harus membuka cabang besar di sini. Aku akan membuat boutique sekaligus membuka kelas desainer. Keduanya harus berbeda tempat. Supaya aku tidak stay di satu tempat saja,” jelas Belva.Tigor mengangguk mengerti. “Itu gampang. Aku akan bantu mengurus segala keperluannya. Bahkan, jika kamu izinkan, aku akan memulainya besok!”“Baguslah.” Belva menghela napas lega dan tersenyum. “Setelah urusan butik selesai, aku mau kita juga mengadakan event besar seperti di Jakarta dua tahun lalu. Kalau perlu lebih besar lagi. Kali ini kita bisa mengundang dan mengajak kerja sama dari rekan di Australia.”“Okay. Ide bagus! kebetulan sekali untuk i
Suasana mendadak hening. Belva termangu saat Tigor malah bertanya seperti itu. Namun, tak lama kemudian pria itu pun tergelak. Melihat ekspresi Belva yang menurutnya sangat lucu.“Tegang amat, Neng!” kata Tigor sambil terus tertawa.Sementara Belva langsung meninju pelan lengan pria itu. Menyebalkan sekali ketika Tigor susah sekali di ajak bicara serius.“Aku serius, Tigor! kamu senang banget becanda.” Belva menggerutu.“Ya nggak dong, Bel. Gini-gini aku masih normal kali!” ujar Tigor yang kali ini membuat Belva tersenyum.“Syukurlah...” Belva menghela napas lega. Kemudian kembali bertanya, “Tapi kamu pernah pacaran gak, sih?”Sejenak Tigor menerawang. Memperlambat waktu dan membuat Belva kembali penasaran.“Ah, aku tuh sebenarnya paling males kalau bahas masa lalu. Karena gak ada yang menarik dari kisah aku itu!” seru Tigor. Membuat bahu Belva merosot.“Setiap orang pasti punya kisah yang menarik. Udah jatahnya setiap orang punya!” timpal Belva yang sok tau. Ia hanya ingin terus mema
Belva menghela napas. Karena malas berdebat, jadilah ia mengakhiri kesenangannya hari ini.“Ya sudah, antar aku pulang!” kata Belva.Tigor hanya tersenyum kemudian mereka beranjak dari pantai. Mereka bergegas menuju area parkir mobil.Belva di antar oleh Tigor untuk pulang. Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Ravin. Ia hanya menilik sesaat, membiarkan ponselnya terus berdering hingga panggilan tidak terjawab.“Kenapa gak di angkat?” tanya Tigor.“Paling juga marah-marah dia!” jawab Belva.“Dia khawatir kali sama kamu!” kata Tigor. Dia hanya terus berusaha mengingatkan Belva akan statusnya saat ini.“Kan ada istri tuanya. Tanpa aku juga dia pasti baik-baik aja!” ketus Belva.“Bukan itu ... dia pasti mencemaskan kamu, Belva. Bagaimanapun kan sekarang kamu itu istrinya. Sudah menjadi tanggung jawabnya!” seru Tigor.&ld
Kalimat itu tanpa disengaja tiba-tiba membuat hati Alana sakit. Sejenak ia termangu dan menoleh ke arah dapur. Melihat madunya yang sedang bersenda gurau dengan asyik bersama ART.“Ya sudah, kalau begitu pergilah! lagipula kemarin kita sudah bersama bukan?” Alana berusaha menerima dan bersikap wajar.“Tidak apa-apa, kan?” tanya Ravin, memastikan.“Tidak apa. Pergilah! kalau begitu, aku mau langsung beristirahat saja, Mas.” Alana tersenyum kemudian masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu dengan sedikit memaksa. Membuat Ravin menggeser posisi dengan cepat.“Alana, tunggu!” Ravin menahan pintu yang hendak tertutup.“Ya, Mas?” sahut Alana. Nada suaranya pun terdengar lemah. Sepertinya dia kecewa.“Kamu gak marah kan sama aku?” tanya Ravin.Alana menarik napas dalam, kemudian menjawab, “Andai aku marah, aku gak punya hak untuk melarangmu bersama istri muda. Ini