Aku bergegas pulang dari rumah Ambar untuk mengambil souvenir arisan yang ketinggalan. Namun alangkah kagetnya ketika kulihat dari ambang pintu. Mas Harso suamiku sedang berduaan dengan seorang wanita seksi.
"Mas, kalian sedang apa?"Mas Harso terkaget dan menoleh ke arahku.
Aku menatap Mas Harso dan wanita itu bergantian. Dari pakaiannya yang seksi dan kurang bahan, wanita itu sudah terlihat seperti wanita penggoda. Aku menatapnya tajam, ingin menimbang sejauh apa keberaniannya. "Rum, udah pulang? Ini Hilma temennya, Reni!" Mas Harso mencarikan keadaan. Wajahnya sedikit terkejut melihat kemunculanku yang mendadak. "Hai, Mbak!" Dia tersenyum padaku. Namun entah kenapa, aku melihatnya sebagai senyuman penuh tantangan. "Hai," balasku dengan senyum singkat. "Kamu kenapa udah pulang, bukannya biasnya arisannya lama 'kan ya?" tanya Mas Harso lagi sepertiHari itu akhirnya selesai. Reni mengantarkan wanita menyebalkan itu hingga ke depan pagar. Kali ini sepertinya aku akan sedikit kejam. Tidak apa sesekali sebagai ganjaran karena sudah merusakkan lemariku.Aku tidak menghiraukan keberadaannya yang wara-wiri tidak jelas. Sepertinya dia sedang mecari-cari celah untuk berbicara pada Mas Harso. Aku yakin, itu mengenai rencana busuk yang sudah dibuatnya.Aku sedang mencuci cumi waktu dia lewat. Dia menghampiri suamiku yang tengah membenahi tanaman anggrek di tepi kamar mandi. Kebiasaan Mas Harso jika punya tanaman baru dia akan menyimpannya dulu di dalam untuk beberapa hari.“Mas, minta bantu boleh gak? Temen aku ada yang minta di cangkokin pohon rambutan, dia suka tanam-tanaman juga,”ucapnya. Suamiku menoleh ke arahnya.“Bentar ya Dek, Mas lagi tata pohon anggrek dulu! Kamu siapin aja alat-alatnya! Plastik, tanah sama pisau,” uca
Pagi itu aku melihat wajah Reni pucat. Pagi-pagi sekali sudah ada di ruang tengah. Tumben, pikirku. Aku tetap melanjutkan langkahku ke dapur. Baru saja aku hendak membuka pintu kamar mandi. Adik iparku tersayang berlari dari ruang tengah dan menyerobot.“Mbak, Rum! Aku duluan!” pekiknya sambil terus menutup pintu dengan keras. Aku tersenyum geli.Akhirnya aku memanaskan air untuk membuat kopi. Mas Harso baru saja menyelesaikan sholat shubuh dan masih di kamarnya. Ali datang dari dalam dengan sudah mengenakan seragam.“Mbak, Rum! Aku boleh pinjem duit dulu gak?”Tumben Ali pinjam uang padaku. Aku melirik wajahnya yang sudah segar.“Tumben Li? Buat apa?” tanyaku.&
“Mbak, bukan mau ikut campur! Kalian kan gak bakal selamanya numpang di sini! Namanya orang yang udah rumah tangga tuh harus punya rencana untuk memiliki rumah sendiri. Mbak cuma mau mastiin jika kalian memang bener merencanakan semuanya dengan baik.”Aku masih berbicara secara halus. Mengingat ada Mas Harso dan Ali. Reni tidak akan mengeluarkan nada terlalu tinggi jika ada keduanya. Aku pun akan bersikap sama.“Oh, jadi Mbak Rumi keberatan nampung kami di sini? Kami hanya sedang mencari rumah dengan harga yang murah saja. Mbak tahu sendiri kan, Mas Ali baru saja kerja. Gajinya juga masih jauh di bawah Mas Harso pastinya!”Dengan wajah memelas dia duduk menghampiri Ali. Menarik satu kursi di sampingnya.“Kamu jangan salah faham, Dek! Mbakmu cuma ingin kalian segera memiliki rumah!”Kini suamiku berada di pihakku. Bag
Mobil online yang kutumpangi berjalan merayap. Akhirnya sampai juga di tempat Ali kuminta menunggu. Terlihat Ali sedang duduk di tepi pembatas jalan sambil sesekali melihat ponselnya. Aku segera membuka kaca mobil dan melambaikan tangan ke arahnya.Dia bergegas menghampiriku. Menatap sekilas wajahku seperti sedang mencari tahu, sakit apa sebetulnya?“Ayo! Cepetan!” ucapku pada Ali dengan lantang. Karena suara berlomba dengan kencangnya deru mesin kendaraan.Dia mengngguk dan segera masuk ke dalam mobil. Memilih duduk di depan, di samping Pak Supir.“Jalan, Pak!” ucapku pada pengemudi mobil online itu. Lelaki itu mengangguk dan segera memacu kendaraan yang kami tumpangi.Aku kembali melihat jam tangan, sudah lima belas menit berlalu. Mungkin Mas Harso sudah sampai ke tempat itu. Aku segera mengusap layar ponsel dan mencari kontaknya pada aplikasi berwar
"Bagian mana saja yang disentuh wanita itu?”Mataku menyalak menatap lelaki yang wajahnya masih terlihat keget itu. Kaget atau senang melihat pemandangan indah di depan mata, cih!Mas Harso tiba-tiba memelukku. Namun aku mendorongnya menjauh. Pikiran dan hatiku belum bisa berdamai.“Rum! Maafin Mas gak percaya perkataanmu!” lirihnya sambil kembali berusaha memelukku.“Lepas! Aku gak sudi dipeluk oleh tangan yang sudah memegang wanita lain!” pekikku sambil menyingkirkan tubuh Mas Harso. Aku bergegas berjalan meninggalkannya dengan Ali.“Rum! Kami belum melakukan apa-apa!” pekiknya sambil mengejarku. Ali
"Tapi, Ali bilang mereka tidak memiliki tabungan sepeser pun! Bisakah pakai uang tabungan kita dulu Rum?!”Pertanyaan Mas Harso membuat seluruh nadi dan persendianku berontak. Apakah aku akan rela memberikan seluruh tabunganku untuk membiayai operasi orang yang telah berencana menikamku dari belakang?“Mas, lihat kan sekarang buktinya? Meskipun kita memberikan tumpangan gratis dan menanggung seluruh biaya hidup mereka tapi mana? Jangankan mereka berpikir untuk mengumpulkan DP rumah? Untuk dana emergency saja mereka tidak punya! Sia-sia saja semua yang Kamu lakukan buat mereka selama ini, Mas!” Akhirnya kutumpahkan uneg-uneg yang selama ini kupendam.“Iya, setelah ini Mas janji akan mencarikan mereka kontrakan biar mereka belajar hidup mandiri!” ucap Mas Harso.“Aku berangkat dulu, Mas!” ucapku tanpa menjawab pertanyaannya. Segera kuayunkan langkah hen
“Harso, Reni kan masih sakit! Selama dia belum pulih, saya akan merawatnya di rumah kalian!” ucap Tante Haminah sambil menatap suamiku.“Apa?! Ide gila macam apa ini? Reni seenak hatinya mengajak orang lain tinggal di rumahku?”Aku maju selangkah mendekat pada kedua ibu dan anak itu. Kutatap lekat wajah Reni yang terlihat memang masih pucat.“Ren, alhamdulilah kalau Ibu kamu mau ikut rawatin kamu! Kebetulan Mbak sudah bayarin kontrakan buat kalian tinggal nanti, sayang kalau gak ditempati! Itu Mbak kasih gratis buat kamu di bulan pertama, ya itung-itung tanda sayang kakak buat adiknya,” ucapku sambil tersenyum dan mengerling pada adik iparku itu.Enak saja mau ajakin pasukan tinggal. Yang ada bisa jantungan aku menahan kesal. Sepertinya perangai Tante Haminah tidak jauh berbeda dengan anaknya.“Kho Mbak Rumi ma
"Kemana semua barang-barang itu pergi? Apakah di rumah ini ada hantu? Memang ada ya hantu yang suka dengan beras dan ayam?”Akhirnya aku mencari bahan masakan lain dalam kulkas untuk kumasak. Beruntung masih ada ba’so dan rebusan tulang iga. Sepertinya aku akan membuat capcay dan sop iga.Kusimpan kelapa ke dalam kulkas. Entah nanti akan kubuat apa. Jodohnya ternyata sudah diambil orang. Nasibnya kelapa menjadi tidak jelas seperti ayam surrundeng yang tidak jadi kumasak.Baru saja kumemutar kompor untuk merebus air terlabih dulu, sebuah notifikasi pesan masuk dari Mas Harso.[Rum, udah masak belum? Gak usah banyak-banyak masaknya, Mas makan di tempat Ali] tulisnya.[Ok, tumben Ali punya makanan lebih?] tanyaku.[Iya, untung ada Tante Haminah! Dia yang masak!] tulisnya.[Ooo….] Hanya