Zemi segera membaca kartu nama pria itu,
"Rahez Finley. Nama yang indah." gumamnya, pelan."Cih! Gue nggak butuh laki-laki, lagi!" serunya. Lalu Zemi segera membuang kartu nama pria itu di dalam tong sampah yang berada di dekatnya.Sesampai di kasir, Zemi ingin segera melunasi tagihan rumah sakit sahabatnya. Namun sang kasir berkata,"Maaf, Mbak. Tagihan untuk pasien bernama Agnes Amora telah dilunasi semuanya." tuturnya."Apa?" Kaget, Zemi."Mbak nggak salah orang kan? Nama teman saya, Agnes Amora.""Tidak, Mbak. Saya nggak salah. Memang pasien bernama, Agnes Amora.""Okay. Baiklah kalau begitu." Zemi pun kembali melangkah menuju ke ruangan UGD.Sesampai di sana. Dia pun segera memberitahukan kepada Agnes. Jika semua biaya rumah sakit telah dilunasi."Hah? Tapi siapa yang melunasinya, Zem?" tanya Agnes, ikut bingung juga."Kata kasir tadi, namanya, Tuan Edward Wilson. Apakah Lo kenal orang itu?" sergah Zemi, kepada temannya.Agnes berpikir sebentar. Dia samar-samar ingat, jika ada seseorang bertubuh tegap yang menggendongnya di pangguannya, sepanjang jalan menuju ke rumah sakit. Ingin rasanya, dirinya membuka mata dan melihat wajah pria itu dengan seksama. Namun kepalanya yang sangat pusing tidak dapat diajak kompromi saat itu."Hello, Nes?" Suara Arlyn, tiba-tiba saja membangunkannya dari lamunannya tentang pria misterius itu."Apakah kamu mengenal pria itu?" Kali ini, Arlyn yang bertanya.Lalu dengan cepat Agnes menjawab,"Nggak, aku tidak mengenal pria itu.""Mungkin saja, mobilnya yang menabrak Lo kali, Nes? Wah perlu dikasi pelajaran tuh orang!" tukas Zemi mulai terpancing emosinya."Gue setuju! Kita tungguin orang itu datang ke sini. Kita gebukin rame-rame!" Arlyn ikut menimpali sambil mengepalkan tangannya.Walaupun ketiganya adalah perempuan. Namun mereka sangat jago bela diri. Agnes, Arlyn dan Zemi, ketiganya sama-sama pemegang sabuk hitam pada cabang olahraga karate.Namun sayangnya. Walaupun mereka pemegang sabuk hitam karate. Tapi tetap saja perasaan mereka telah dipermainkan oleh para pria bejat."Lyn, Zem ... please. Gue hanya ingin ke luar dari tempat ini sesegera mungkin. Tolong jangan menambah masalah lagi." Lalu Agnes pun menceritakan kepada kedua temannya. Jika mobil pria itu tidak sempat menabraknya. Akan tetapi dia yang jatuh tersungkur tepat di depan mobilnya.Setelah ketiganya berunding. Ketiganya pun akhirnya pulang ke kost-kostan mereka. Kali ini Arlyn yang menyetir mobil. Jalanan Jakarta mulai macet karena sudah waktunya jam pulang kantor tiba.Arlyn dengan sigap memutar mobil dan melajukannya di sebuah jalan alternatif yang akan membawa mereka lebih cepat tibanya.Arlyn yang sedang berkonsentrasi menyetir, tiba-tiba saja dikejutkan dengan seorang pengendara sepeda yang muncul begitu saja, melintas di depan mobil mereka.Untung saja, Arlyn menginjak rem mobil dengan cepat. Beruntungnya lagi, sang pengendara sepeda itu, dengan sigap menghindar. Sehingga tabrakan tidak sempat terjadi. Akan tetapi malangnya, pengendara sepeda itu, bersama sepedanya jatuh tersungkur di pinggir jalan."Sial! Jangan-jangan mobil Lo lecet nih, Zem!" ucap Arlyn, yang lebih mempedulikan mobil temannya. Dibandingkan kondisi orang yang terjatuh dari sepeda itu."Ya ampun, Lyn. Kok Lo malah mengkhawatirkan mobil, sih? Buruan Lo cek orang yang hampir Lo tabrak itu." tukas Zemi, mengingatkan temannya."Okay!" jawab Arlyn, lalu turun dari mobil.Sesampai di luar mobil. Dia bukannya menghampiri orang yang jatuh itu. Arlyn malah sibuk memeriksa mobil Zemi. Siapa tahu ada yang lecet.Bersamaan dengan itu, pria yang baru saja terjatuh dari sepeda, mencoba untuk berdiri sempurna kembali.Dia lalu memeriksa bagian tubuhnya. Ternyata tidak ada luka lecet atau sejenisnya. Beruntungnya pria itu memakai helm dan perlengkapan safety lainnya saat mengendarai sepedanya. Jika tidak, mungkin tubuhnya akan luka-luka.Di seberang jalan. Dengan berkacak pinggang, Arlyn meneriaki orang itu,"Woi! Bule kesasar!" teriaknya, sesaat setelah pria tinggi besar itu melepas helmnya. Aura orang asing mulai terlihat di wajahnya.Si pria yang diteriaki seperti itu, segera menoleh ke arah di mana suara indah itu berasal.Arlyn pun memulai ceramahnya. Memarahi dan mengomeli pria blasteran itu.Tidak sekali pun pria itu membalas ocehan Arlyn. Dia malah menatap takjub dengan kecantikan yang dipancarkan oleh gadis di depannya, saat ini.Pria bule itu pun, mulai mendekati Arlyn."Kalau jalan, Lo pakai mata, dong! Bukan dengkul!" Gerutunya, tajam.Tingkah Arlyn yang sedang memarahi pemuda tampan itu. Tak luput jadi tontonan gratis kedua temannya yang berada di dalam mobil."Arlyn kok beda banget hari ini, ya? Suka marah-marah aja, dari tadi." tutur Agnes, bingung."Lagi PMS kali tuh, anak!" sahut Zemi, sekenanya. Sejenak nyali Arlyn menciut, saat pria itu malah mulai mendekatinya. Dia takut dimarahi balik olehnya karena dirinya yang berkata-kata dengan sangat pedas.Namun kenyataannya malah berbeda. Sang pria malah berbicara lembut kepadanya,"Maaf, Nona. Jika perbuatan saya membuat perjalanan Anda, menjadi terganggu.""Nyadar juga, Lo!" ketus Arlyn, lagi."Perkenalkan nama saya, Tiano Pisceso." Ucapnya. Entah kenapa, pria itu tiba-tiba tertarik dengan gadis yang berada di depannya, saat ini."Maaf! Ini bukan ajang perjodohan! Permisi!" tukas Arlyn, saat matanya mulai menelisik seluruh bagian tubuh pria itu, terlihat baik-baik saja, dan tidak ada satu pun yang lecet.Dia pun masuk ke dalam mobil. Lalu kembali melajukannya dan meninggalkan pria itu, yang terpaku menatap kepergiannya."Lyn, bagaimana pria tadi?" tanya Zemi kepadanya."Aman, kok. Tidak terjadi apa-apa dengannya.""Terus, pria itu bilang apa, Lo marahin gitu?" tukas Agnes, ikut penasaran."Nggak ada. Dia malah ngajak kenalan sama gue. Idih ... modus banget!""Terus akhirnya bagaimana?""Ya gue tolaklah, Zem! Masa iya, gue terima? Dih, tidak ada lagi pria dalam kamus hidup gue! Kalian bisa pegang kata-kata gue ini!" ucapnya tegas. Di hadapan kedua sahabatnya."Sama, Lyn. Gue juga. Mulai saat ini, gue nggak butuh pria lagi. Lebih baik gue fokus kerja dan berkarier. Supaya suatu saat keinginan gue terwujud untuk dapat berkeliling dunia." Agnes juga ikut mengutarakan isi hatinya."Wah hebat kalian!" puji Zemi, kepada kedua temannya."Jadi Lo sendiri bagaimana Zem? Apa masih mengharapkan Si Andra, sontoloyo itu?" sindir Arlyn."Ih ... amit-amit! Ya kagaklah. Gue juga sama seperti kalian, dong. Mulai sekarang gue fokus berkarier dan berinvestasi sebanyak mungkin. Demi kemakmuran hidup gue di masa depan!" tutur Zemi, tak mau kalah."Sepertinya kita harus membicarakan hal ini dengan serius, deh!" tukas, Agnes kepada keduanya temannya."Yap, itu ide bagus! Kita memang harus membicarakan hal ini." seru Arlyn, lagi.Tak terasa, mereka pun akhirnya sampai di sebuah kost-kostan khusus wanita di daerah Jakarta Selatan.Kembali ke rumah sakit,Rahez baru saja tiba di ruang VVIP tempat sang Oma sedang dirawat.Diruangan itu, Ada dua orang wanita yang paling dirinya sayangi di dunia ini, sedang fokus menatap layar lebar di depannya. Sebuah iPad milik Asisten Frans, menjadi daya tarik keduanya. Sampai-sampai keduanya tidak mengetahui jika Rahez sudah berada di tempat itu.Namun sang asisten menyadari jika atasannya telah sampai di ruangan itu."Tuan Muda?" kaget, Frans. Dia buru-buru keluar dari ruangan mewah itu, dengan alasan mau mengurus obat-obatan untuk Oma Rika."Rahez ... cucu Oma? Kamu sudah lama datang?" tanya Oma Rika, senang melihat cucunya sudah berada di situ."Aku baru saja, sampai, Oma," ucap, Rahez. Lalu mendekati ranjang di mana sang nenek sedang terbaring lemah."Rahez, kamu kalau sudah tiba dari tadi, kok nggak menyapa Oma dan Mami? Kamu ini, kebiasaan banget, deh!" gerutu Mami Gita, kepada putranya."Maaf ... Mi, Oma. Lagian dari tadi Oma dan Mami fokus ke iPad. Memangnya lagi liha
Namun Edward harus menelan rasa kecewa setelah mengetahui jika gadis itu telah dijemput oleh keluarganya."Sial banget, gue!" umpatnya, pelan. Tidak ada informasi yang berarti tentang gadis itu. Edward hanya mengetahui namanya, Agnes Amora. Gadis berbibir seksi, yang telah mampu membuatnya penasaran setengah mati.Edward lalu ke luar dari rumah sakit itu dengan langkah gontai. Diikuti Mark, sang asisten."Bagaimana, Bos? Apakah kita pulang sekarang?" tanya Mark kepada atasannya, yang terlihat sedang galau."Yap! Kita pulang. Emangnya Lo mau berkemah di sini?" ketus, Edward."Puas Lo, gue kehilangan jejaknya?" ucap Edward, lalu berjalan masuk ke dalam mobil dan membating pintunya dengan keras."Yaelah, Bos Edward. Si Agnes Amora yang hilang di telan bumi. Malah gue yang kena semprot! Elah ... gini amat hidup gue!" tuturnya, lalu ikut masuk ke dalam mobil.Sepanjang perjalanan pulang ke kediamannya. Edward memilih diam dan memejamkan matanya. Entah kenapa bayangan gadis itu, semakin n
"Sabtu depan? Memangnya kita mau ke mana Bunda?" tanya Edward, penasaran."Temani Bunda, arisan." "Apa? Arisan? Ketemu ibu-ibu dong? Yang bener aja deh, Bund. Aku kan anak lajang. Bukan ibu-ibu, seperti Bunda. Nggak mau, ah! Bunda pasti tahu kan, jika hari Sabtu jadwalku untuk bermain golf." Edward mencoba untuk mengelak.Karena dia tahu betul maksud sang ibu. Yang ingin menjodohkannya dengan anak, dari ibu-ibu arisan itu."Ayolah, Ed. Kali ini saja. Setelah itu. Kita ziarah ke makam Ayah. Sudah lama kita tidak mengunjungi Beliau." ucap sang ibu, penuh harap.Mendengar jika mereka akan berziarah ke makam ayahnya. Hati Edward sedikit teriris sakit. Dia ingat betul disaat-saat terakhir ayahnya hidup. Edward tidak ada di samping Beliau. Sepertinya, dia harus mengalah kali ini kepada sang ibunda.Lalu dengan bijak Edward pun berkata,"Baiklah, Bund. Sabtu depan aku akan mengosongkan jadwalku. Aku akan temani Bunda ke mana pun Bunda perginya. Hanya saja, Bunda juga perlu tahu. Sampai kap
"Gile, para buaya darat pada ngumpul!" geram Arlyn."Ngapain sih, mereka ke sini? Kurang kerjaan banget, deh! Apa belum puas nyakitin hati kita!" Agnes juga ikut, menggerutu."Kalian tenang saja. Gue sudah bilangin Pak sekuriti untuk tidak mengizinkan mereka masuk ke area dalam kost." Zemi mencoba menjelaskan, kepada kedua sahabatnya."Kayaknya, sudah tidak aman lagi kita tinggal di sini. Tapi ... cari kost-kostan dengan harga terjangkau dan letaknya strategis di Jakarta, ini. Sangat susah." keluh, Arlyn, dan dibalas anggukan oleh Agnes."Terus kita harus bagaimana, dong?" sela, Arlyn panik."Bagaimana kalau setiap hari mereka nyamperin kita ke sini? Nggak asyik banget kan?""Iya sih, Lyn. Tapi kita mau pindah ke mana coba?" tukas Agnes, masih saja memikirkan isi dompetnya yang kosong.Setelah lama berdiam diri dan mendengarkan keluh kesah kedua sahabatnya. Zemi pun mulai angkat bicara kembali,"Kalian mau dengar kabar baiknya, nggak?""Mau dong, Zem! Bagaimana sih, Lo!" Ketus, Arlyn.
"Idih ... galak Lo, Lyn!" sela, Zemi."Biarin! Galak-galak juga milik sendiri!" sahut, Arlyn."Nyolot Lo, Arlyn!" Zemi tak mau kalah."Nyolot-nyolot juga milik sendiri!" Arlyn kembali menyahut. Perdebatan pun mulai terjadi diantara keduanya. Kepala Agnes tiba-tiba pusing mendengar ocehan kedua temannya itu."Zemi, Arlyn, stop! Hari sudah malam! Mending kita tidur. Besok kita pasti akan sibuk banget." nasehat Agnes, kepada keduanya."Gue belum ngantuk." tukas Zemi."Sama, gue juga. Makanya kami nge-rap. Ya kan, Zem? Dari pada suntuk." celutuk Arlyn."Ih, ogah! Mending gue tidur!" tutur Zemi, lagi."Ya udah, yuk. Kita tidur!" Arlyn juga menyahut."Nah, gitu dong. Kita pada tidur. Besok deh kalian lanjutkan lagi nge-rap-nya." saran Agnes."Idih, ogah nge-rap mulu! Yang ada pala gue makin pusing." tukas Arlyn.Ternyata keduanya sengaja berdebat hal tak penting. Untuk menghalau kegundahan hatinya. Apalagi hari ini mereka sama-sama apes diputusin oleh orang tersayang.Lalu ketiganya pun mu
"Thanks banget, guys. Gue gak bisa berkata apa pun kepada kalian saat ini. Gue janji, nanti kalau gue sudah dapat duit. Gue akan ganti ke kalian masing-masing," ucap Agnes, kepada kedua sahabatnya."Yaelah, Nes. Kita tulus bantuin Lo. Lo nggak usah mikirin apa-apa dulu," tukas Zemi."Ya, Nes. Satu orang kesusahan diantara kita, yang lain pasti akan membantu," Arlyn juga ikut menimpali.Dengan spontan, Agnes lalu merangkul kedua sahabatnya, dan menangis dalam pelukan mereka.Arlyn yang tidak biasa dipeluk-peluk begitu, segera berkata,"Ih ... ngapain Lo, Nes! Risih, tahu! Ngapain sih peluk-peluk? Gue masih normal, ya!" seru Arlyn lalu segera melepas pelukan Agnes dari tubuhnya."Memang deh, Lo! Aneh saja pikirannya. Ini pelukan persahabatan, tahu! Bukan karena hal lain," sergah Zemi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. "Aku sangat bahagia saat ini. Makanya aku memeluk kalian," ucap Agnes sambil tersipu."Ya udah, yuk. Kita tidur lagi. Besok kan kita mau pindahan. Ya, Zem?" tanya Arly
Ketiga gadis cantik itu, mulai merapikan apartemen tersebut. Mulai dari ruang tamu, ruang tv, dapur dengan mini bar dan juga satu kamar yang cukup luas yang dapat ditempati oleh tiga orang.Mereka mulai menyusun dan merapikan barang-barang pribadi mereka di dalam kamar. Ternyata sebelumnya Zemi telah membeli ranjang untuknya dan untuk kedua temannya. Masing-masing berukuran tiga kaki. Cukup untuk ditiduri satu orang dalam satu ranjang.Tak tanggung-tanggung Zemi membeli spring bed nomor satu. Sehingga sungguh sangat enak tempat tidur itu, untuk ditiduri."Zem, baiknya dirimu kepada kita!" celutuk Arlyn lalu mencoba membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk itu."Iya, dong. Zemi Rania, gitu lho!" pujinya kepada dirinya sendiri."Zem, lo tinggal hitung dengan benar ya, berapa utang kita berdua, ke Lo." tukas Agnes yang masih saja khawatir dengan isi dompetnya."Yaelah, kalian ini! Semua fasilitas gratis untuk kalian, guys!" ucap Zemi kepada keduanya."Apa?" kaget keduanya."Iya, semua f
"Tapi menurut gue, ya. Jago memasak bukan jaminan menjadi calon menantu idaman. Banyak aspek lainnya yang harus dilihat. Terus, gue mau nanya ke Lo berdua. Memangnya menantu idaman itu yang bagaimana sih, ciri khasnya?" tanya Agnes, kepada kedua sahabatnya."Kalau gue, sih. Jawabnya, i don't know!" tukas Zemi."Sama kita, Zem." Arlyn juga ikut berucap."Nah ... itu kan kalian saja nggak tahu kriteria menantu idaman yang seperti apa. Karena menurut gue hubungan menantu dan ibu mertua akan baik-baik saja, jika ada rasa saling." ucap Agnes kepada mereka."Rasa saling?" ujar keduanya bingung."Iya, rasa saling. Saling menghargai, saling menghormati, dan saling-saling lainnya!" seru Agnes."Prok-prok-prok." Arlyn dan Zemi tiba-tiba bertepuk tangan mendengar penjelasan Agnes yang menurut mereka sangat logis."Apaan sih, kalian? Malah bertepuk tangan!" cibirnya."Yaiyalah, Nes. Lo menyamai Mamah Dedeh yang sedang ceramah. Penuh logika dan sungguh menginspirasi." celutuk Zemi."Mamah Agnes, d