Share

BAB. 6 Bertemu Bule Kesasar

Zemi segera membaca kartu nama pria itu,

"Rahez Finley. Nama yang indah." gumamnya, pelan.

"Cih! Gue nggak butuh laki-laki, lagi!" serunya. Lalu Zemi segera membuang kartu nama pria itu di dalam tong sampah yang berada di dekatnya.

Sesampai di kasir, Zemi ingin segera melunasi tagihan rumah sakit sahabatnya. Namun sang kasir berkata,

"Maaf, Mbak. Tagihan untuk pasien bernama Agnes Amora telah dilunasi semuanya." tuturnya.

"Apa?" Kaget, Zemi.

"Mbak nggak salah orang kan? Nama teman saya, Agnes Amora."

"Tidak, Mbak. Saya nggak salah. Memang pasien bernama, Agnes Amora."

"Okay. Baiklah kalau begitu." Zemi pun kembali melangkah menuju ke ruangan UGD.

Sesampai di sana. Dia pun segera memberitahukan kepada Agnes. Jika semua biaya rumah sakit telah dilunasi.

"Hah? Tapi siapa yang melunasinya, Zem?" tanya Agnes, ikut bingung juga.

"Kata kasir tadi, namanya, Tuan Edward Wilson. Apakah Lo kenal orang itu?" sergah Zemi, kepada temannya.

Agnes berpikir sebentar. Dia samar-samar ingat, jika ada seseorang bertubuh tegap yang menggendongnya di pangguannya, sepanjang jalan menuju ke rumah sakit. Ingin rasanya, dirinya membuka mata dan melihat wajah pria itu dengan seksama. Namun kepalanya yang sangat pusing tidak dapat diajak kompromi saat itu.

"Hello, Nes?" Suara Arlyn, tiba-tiba saja membangunkannya dari lamunannya tentang pria misterius itu.

"Apakah kamu mengenal pria itu?" Kali ini, Arlyn yang bertanya.

Lalu dengan cepat Agnes menjawab,

"Nggak, aku tidak mengenal pria itu."

"Mungkin saja, mobilnya yang menabrak Lo kali, Nes? Wah perlu dikasi pelajaran tuh orang!" tukas Zemi mulai terpancing emosinya.

"Gue setuju! Kita tungguin orang itu datang ke sini. Kita gebukin rame-rame!" Arlyn ikut menimpali sambil mengepalkan tangannya.

Walaupun ketiganya adalah perempuan. Namun mereka sangat jago bela diri. Agnes, Arlyn dan Zemi, ketiganya sama-sama pemegang sabuk hitam pada cabang olahraga karate.

Namun sayangnya. Walaupun mereka pemegang sabuk hitam karate. Tapi tetap saja perasaan mereka telah dipermainkan oleh para pria bejat.

"Lyn, Zem ... please. Gue hanya ingin ke luar dari tempat ini sesegera mungkin. Tolong jangan menambah masalah lagi." Lalu Agnes pun menceritakan kepada kedua temannya. Jika mobil pria itu tidak sempat menabraknya. Akan tetapi dia yang jatuh tersungkur tepat di depan mobilnya.

Setelah ketiganya berunding. Ketiganya pun akhirnya pulang ke kost-kostan mereka. Kali ini Arlyn yang menyetir mobil. Jalanan Jakarta mulai macet karena sudah waktunya jam pulang kantor tiba.

Arlyn dengan sigap memutar mobil dan melajukannya di sebuah jalan alternatif yang akan membawa mereka lebih cepat tibanya.

Arlyn yang sedang berkonsentrasi menyetir, tiba-tiba saja dikejutkan dengan seorang pengendara sepeda yang muncul begitu saja, melintas di depan mobil mereka.

Untung saja, Arlyn menginjak rem mobil dengan cepat. Beruntungnya lagi, sang pengendara sepeda itu, dengan sigap menghindar. Sehingga tabrakan tidak sempat terjadi. Akan tetapi malangnya, pengendara sepeda itu, bersama sepedanya jatuh tersungkur di pinggir jalan.

"Sial! Jangan-jangan mobil Lo lecet nih, Zem!" ucap Arlyn, yang lebih mempedulikan mobil temannya. Dibandingkan kondisi orang yang terjatuh dari sepeda itu.

"Ya ampun, Lyn. Kok Lo malah mengkhawatirkan mobil, sih? Buruan Lo cek orang yang hampir Lo tabrak itu." tukas Zemi, mengingatkan temannya.

"Okay!" jawab Arlyn, lalu turun dari mobil.

Sesampai di luar mobil. Dia bukannya menghampiri orang yang jatuh itu. Arlyn malah sibuk memeriksa mobil Zemi. Siapa tahu ada yang lecet.

Bersamaan dengan itu, pria yang baru saja terjatuh dari sepeda, mencoba untuk berdiri sempurna kembali.

Dia lalu memeriksa bagian tubuhnya. Ternyata tidak ada luka lecet atau sejenisnya. Beruntungnya pria itu memakai helm dan perlengkapan safety lainnya saat mengendarai sepedanya. Jika tidak, mungkin tubuhnya akan luka-luka.

Di seberang jalan. Dengan berkacak pinggang, Arlyn meneriaki orang itu,

"Woi! Bule kesasar!" teriaknya, sesaat setelah pria tinggi besar itu melepas helmnya. Aura orang asing mulai terlihat di wajahnya.

Si pria yang diteriaki seperti itu, segera menoleh ke arah di mana suara indah itu berasal.

Arlyn pun memulai ceramahnya. Memarahi dan mengomeli pria blasteran itu.

Tidak sekali pun pria itu membalas ocehan Arlyn. Dia malah menatap takjub dengan kecantikan yang dipancarkan oleh gadis di depannya, saat ini.

Pria bule itu pun, mulai mendekati Arlyn.

"Kalau jalan, Lo pakai mata, dong! Bukan dengkul!" Gerutunya, tajam.

Tingkah Arlyn yang sedang memarahi pemuda tampan itu. Tak luput jadi tontonan gratis kedua temannya yang berada di dalam mobil.

"Arlyn kok beda banget hari ini, ya? Suka marah-marah aja, dari tadi." tutur Agnes, bingung.

"Lagi PMS kali tuh, anak!" sahut Zemi, sekenanya.

Sejenak nyali Arlyn menciut, saat pria itu malah mulai mendekatinya. Dia takut dimarahi balik olehnya karena dirinya yang berkata-kata dengan sangat pedas.

Namun kenyataannya malah berbeda. Sang pria malah berbicara lembut kepadanya,

"Maaf, Nona. Jika perbuatan saya membuat perjalanan Anda, menjadi terganggu."

"Nyadar juga, Lo!" ketus Arlyn, lagi.

"Perkenalkan nama saya, Tiano Pisceso." Ucapnya. Entah kenapa, pria itu tiba-tiba tertarik dengan gadis yang berada di depannya, saat ini.

"Maaf! Ini bukan ajang perjodohan! Permisi!" tukas Arlyn, saat matanya mulai menelisik seluruh bagian tubuh pria itu, terlihat baik-baik saja, dan tidak ada satu pun yang lecet.

Dia pun masuk ke dalam mobil. Lalu kembali melajukannya dan meninggalkan pria itu, yang terpaku menatap kepergiannya.

"Lyn, bagaimana pria tadi?" tanya Zemi kepadanya.

"Aman, kok. Tidak terjadi apa-apa dengannya."

"Terus, pria itu bilang apa, Lo marahin gitu?" tukas Agnes, ikut penasaran.

"Nggak ada. Dia malah ngajak kenalan sama gue. Idih ... modus banget!"

"Terus akhirnya bagaimana?"

"Ya gue tolaklah, Zem! Masa iya, gue terima? Dih, tidak ada lagi pria dalam kamus hidup gue! Kalian bisa pegang kata-kata gue ini!" ucapnya tegas. Di hadapan kedua sahabatnya.

"Sama, Lyn. Gue juga. Mulai saat ini, gue nggak butuh pria lagi. Lebih baik gue fokus kerja dan berkarier. Supaya suatu saat keinginan gue terwujud untuk dapat berkeliling dunia." Agnes juga ikut mengutarakan isi hatinya.

"Wah hebat kalian!" puji Zemi, kepada kedua temannya.

"Jadi Lo sendiri bagaimana Zem? Apa masih mengharapkan Si Andra, sontoloyo itu?" sindir Arlyn.

"Ih ... amit-amit! Ya kagaklah. Gue juga sama seperti kalian, dong. Mulai sekarang gue fokus berkarier dan berinvestasi sebanyak mungkin. Demi kemakmuran hidup gue di masa depan!"

tutur Zemi, tak mau kalah.

"Sepertinya kita harus membicarakan hal ini dengan serius, deh!" tukas, Agnes kepada keduanya temannya.

"Yap, itu ide bagus! Kita memang harus membicarakan hal ini." seru Arlyn, lagi.

Tak terasa, mereka pun akhirnya sampai di sebuah kost-kostan khusus wanita di daerah Jakarta Selatan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ZekWar77
Lanjut..........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status