Beberapa kali aku melirik jam perak yang melilit di pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir pukul 9, tapi Dirly belum juga menampakkan dirinya.
Aku memang sengaja menunggunya di parkiran, karena pagi ini sebelum masuk kelas aku berniat untuk bertemu dulu dengan Dirly. Setelah kejadian menguras emosi yang kemarin menimpaku, sudah tentu aku harus meminta maaf padanya.
Terutama tentang pukulan Esa yang membuat sudut bibirnya sobek hingga mengeluarkan darah. Meskipun itu perbuatan si cowok kejam, tapi kalau bukan karena aku, bogem mentah dari tangan Esa pun gak akan melayang telak melukai Dirly.
Kuharap dia bisa memaafkan perlakuan kasar Esa. Bukan karena aku ingin membela cowok itu, tapi aku hanya tidak mau kalau Dirly menyimpan dendam kesumat dan berujung dengan gontok-gontokkan lagi saling membalas dendam.
Aku mengetuk-ngetukkan ujung sneaker hitam ku ke tanah yang dialasi rumput-rumput hijau di bawahku. Dirly
“Demi Tuhan, lo junior paling beruntung di kampus ini. Diperebutkan sama dua senior ganteng yang rela berbuat konyol kayak gitu, demi untuk bisa bersama lo. Gokil! Gue jadi iri sama lo."Aku menghela napas panjang saat mendengar tuturan kalimat yang Anna lontarkan. Ya, dia adalah salah satu di antara teman-temanku yang juga sudah melancarkan komentarnya terhadapku mengenai kelakuan cowok-cowok nekat itu.Entah mereka berniat memuji atau justru mengejek, aku sama sekali tidak ambil pusing. Aku hanya mencemaskan skor Dirly yang tertinggal beberapa angka dari Esa.“Gue pasti menang, dan gue harap lo gak pura-pura lupa saat kemenangan berpihak ke gue nanti,” kicau Esa percaya diri di tengah wajahnya yang sudah dibanjiri buliran keringat sebesar-besar biji jagung.Aku sampai harus menelan ludahku sendiri saking ngerinya melihat mereka. Bagaimana bisa mereka melakukan battle gila ini? Di saat semua orang waras mengadakan pertandingan adu kekuatan dalam be
“Tria, gue minta maaf Tria. Gue beneran menyesal karena udah ngambil tindakan yang justru malah bikin gue kalah sendiri. Demi Tuhan! Niat gue cuman pengin bantu lo agar terlepas dari jeratan Esa aja, tapi gue—““Tapi lo gak pikir panjang sebelum mengambil tindakan!” sentakku seraya menghentikan langkah yang sekaligus membuat Dirly mengejarku sedari aku melengos pergi dari hadapan kedua cowok itu.Napasku memburu, selain sedikit kecapekan karena langkah cepatku aku pun merasa lelah dengan keadaan ini. Dirly terlalu membuatku kecewa, tindakannya itu sama sekali gak bisa untuk dibenarkan.“Gue tau Tria....” Lirihnya nyaris berbisik, sesaat dia kembali menundukkan kepalanya. “Tapi gue terpaksa melakukan itu, gue pikir dengan cara itu Esa bakalan nyerah dan tumbang sebelum mencapai puncak....” lanjutnya yang sudah menatapku lagi dengan sorot penyesalan.“Tapi kenyataannya, dia lah yang keluar sebagai pemenangnya,"
Kepalaku sesekali melongok ke sana kemari, melihat keadaan yang masih aman terkendali. Aku merasa lega karena pelarianku ini sepertinya akan berhasil. Setelah kurasa semuanya aman, maka ku putuskan saja untuk langsung mencari jalan sekaligus melarikan diri dari si pemaksa.Kuharap, dia tidak akan menemukanku dengan mudah. Setelah mempercepat waktu sarapan dan buru-buru berpamitan pada tante Netha sebelum anaknya terbangun, kali ini aku harus berhasil dengan misiku.Aku mendecak sambil menggaruk kepala, taksi pun rasanya tidak sedang berpihak kepadaku. Saat aku membutuhkan, justru dia malah tidak muncul sama sekali. Huft....Aku melenguh panjang. Berharap rencanaku bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Setelah semalam dia hampir membuatku mati karena kesal, aku jadi semakin risih berada di dekatnya. Dan lagi, ada apa dengan jantungku?Saat semalam dia menatapku sangat intens, jantungku malah lang
Ku tuliskan kenangan tentang.Caraku menemukan dirimu.Tentang apa yang membuatku mudah.Berikan hatiku padamu.Takkan habis sejuta lagu.Untuk menceritakan cantikmu.Kan teramat panjang puisi.Tuk menyuratkan cinta ini.Telah habis sudah, Cinta ini....Tak lagi berpijak, Untuk dunia.Karena tlah ku habiskan, Sisa cintaku hanya untukmu....Aku mengetuk pintu ruangan senat yang terbuka. Kulihat di dalamnya sedang ada Esa dan juga dua cowok lainnya yang sedang asyik memetik gitar untuk mengiringi nyanyian Esa. Lalu ketika pandangan dia mengarah padaku, dia pun langsung mengangkat tangannya sebagai isyarat bahwa si pemetik gitar harus segera menghentikan permainannya dulu.Aku pun masih berdiri di ambang pintu saat Esa sendiri sudah beranjak dari duduknya. Dia kemudian melangkahkan kedua kakinya sambil menatapku heran. “Queen, tumben ke sini. Lo kangen gue, ya?”Gelak tawa
Matahari sudah di penghujung petang.Kulepas hari dan sebuah kisah.Tentang angan pilu yang dahulu melingkupiku.Sejak saat itu langit senja tak lagi sama.Sebuah janji terbentang di langit biru.Janji yang datang bersama pelangi.Angan-angan pilu pun perlahan-lahan menghilang.Dan kabut sendu pun berganti menjadi rindu.Aku mencari, Aku berjalan.Aku menunggu, Aku melangkah pergi.Kau pun ... tak lagi kembali.(Monita Tahalea – Memulai kembali)Prok prok prok.Seketika, aku pun menghentikan permainan gitar yang mengiringi beberapa bait lagu yang baru saja aku nyanyikan di bawah langit senja.Kepalaku menengadah dengan mata sedikit menyipit, ku dapati sosok Esa yang sedang berdiri di sampingku sambil bersidekap santai setelah bertepuk tangan sesaat lalu.
"Yuk!" ajak lelaki bertubuh jangkung ini merangkul bahuku.Makin hari, dia makin seenaknya aja. Apalagi setelah kejadian semalam, kurasa dia bakal semakin gencar untuk memonopoli ku.“Ah, si Papi gangguin anaknya aja. Ngapain sih nongol tiba-tiba di sana. Udah kayak jelangkung aja,” gerutu Esa ikut bangkit dari rebahannya.“Papi gak sengaja kok lewat kamar Tria. Pintunya kebuka, jadi Papi iseng aja ngintip diam-diam,” tukas om Gaga mencengangkan.Aku mengerjap tak percaya. Itu, om Gaga, kan? Dia papinya Esa, kan? Usianya bahkan udah dia atas level dewasa, kan? Tapi dari cara berbicaranya, kenapa om Gaga terlihat biasa aja di saat seharusnya seorang ayah akan menegur anaknya jiga berada di kamar lawan jenisnya dalam keadaan posisi kami seperti tadi.“Iseng sih iseng, tapi jangan sampe ngerusak suasana lah!” protes Esa cemberut.Aku perhatikan secara seksama, kenapa dia mendadak terlihat lucu ya saat sedang cemberut begitu?“Iya deh maafin Pa
Aku sedang berjalan terburu-buru di sepanjang koridor. Selama berjalan pun aku memfokuskan perhatianku ke layar ponsel. Sebuah referensi penting sedang aku baca dan aku harus segera sampai di perpustakaan untuk mencari beberapa buku yang akan ku gunakan sebagai bahan pokok makalah yang baru aku dapatkan lagi dari dosen yang berbeda.Bruk.“Aduh.” Secara serempak, aku dan juga seseorang lainnya saling mengaduh.Aku merunduk, memungut sebuah kamus tebal yang mungkin terlepas dari genggaman orang yang bertabrakan denganku tanpa disengaja. Sebenarnya ini salahku, karena sepanjang aku berjalan fokus ku hanya di layar ponsel. Sementara jalanan yang ku lalui tidak terlalu aku pedulikan. Sampai akhirnya, seseorang harus menjadi korban tabrakan dengan tubuhku ini.“Maaf, gue lagi buru-bur—“ Seketika, aku menggantungkan ucapanku saat melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang.“Merlin,” gumam ku menyebut nama orang yang sudah ku tabrak barusan.Dia tersenyum
AUTHOR’S POVKu tatap dua bola matamu.Tersirat apa yang kan terjadi.Kau ingin pergi dariku, meninggalkan semua kenangan.Menutup lembaran cerita.Oh sayangku aku tak mau....Ku tahu semua akan berakhir.Tapi ku tak rela lepaskan mu.Kau tanya mengapa aku tak ingin pergi darimu.Dan mulutku diam membisu.Salahkah bila diriku terlalu mencintaimu.Jangan tanyakan mengapa karena ku tak tahu.Aku pun tak ingin bila kau pergi tinggalkan aku.Masihkah ada hasrat mu tuk mencintaiku lagi.Apakah yang harus aku lakukan.Tuk menarik perhatianmu lagi.Walaupun harus mengiba agar kau tetap di sini.Lihat aku duhai sayangku....Salahkah bila diriku terlalu mencintaimu.Jangan tanyakan mengapa karena ku tak tahu.Aku pun tak ingin bila kau pergi tinggalkan aku.Masihkah ada hasratmu tuk mencintaiku lagi.(Fatin Sidqia Lubis – Salahkah aku terlalu mencintaimu)Seorang perempuan menyeka air matanya pasca lagu ya