“Berhenti Leo aku tidak ingin melakukan ini.”
“Kenapa harus menahan hasrat sekarang? Kamu adalah istriku.” Leo kembali melingkarkan tangannya di kedua pinggang Mira. “Hari ini, kamu sangat cantik. Aku sudah tidak tahan.” Kembali dia, melekatkan bibirnya. Tubuh Mira yang mungil didekap dalam tubuhnya yang kekar, hingga tidak bisa leluasa.Dengan segala sikap menolak yang kekuatannya tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan suaminya. Mira berusaha lepas dari dekapan Leo. Namun, bukannya melepaskan, malah membuatnya semakin ingin menguasai dan menikmati tubuh istrinya.Tubuh Mira kemudian diangkat dan dihempaskan ke atas kasur dengan kasar. Dia mulai membuka kancing baju istrinya, saat tubuhnya menindih di atasnya. Menciumi tiap permukaan kulitnya dari wajah sampai Leher, hingga membuat napas Mira menderu-deru. Oksigennya berkurang karena tidak leluasa. Dadanya terasa pengap karena tindihan dan gerakan penuh hasrat dari sang suami.
Leo membopong tubuh Mira yang sedang lemah tak berdaya hingga ke kamarnya. “Kamu mabuk, ya Mir?” tanyanya sambil membenahi posisinya di ranjang. Mira tidak menjawab, dia sedang tidak nyaman dengan tubuhnya. “Aku tidak mau meminum minuman itu lagi. Seluruh tubuhku menjadi kacau, tidak enak begini,” batinnya. Tiba-tiba dia merasa ingin mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Cepat-cepat dia memberi kode kepada Leo untuk memberinya wadah. Suaminya paham yang dimaksud. Diambilnya tempat sampah terdekat. Mira sudah tidak dapat menahan lagi dan keluarlah semuanya. Setelah itu badannya merasa lebih baik. “Istirahatlah, Mir. Nanti biar Bibi Jum yang membuatkan obat pengar,” pinta Leo sambil membenahi selimut istrinya. Mira bergeming dan langsung menutup kedua matanya. Leo mulai tidak suka dengan perubahan sikap Mira. Namun, dia tidak berani bertanya. Takut menyebabkan pertengkaran dan akhirnya Mira pergi lagi dari rumah. Dia memilih inisiatif lain. Ingin mencari tahu sen
Leo teringat ,”Hmm ... mungkin kamu sekarang ada di rumah sakit. Bersama si sialan itu. Awas ya, akan kupergoki kalian,” gumamnya. Tangannya mengepal ketika mengingat kejadian kemarin. Lelaki gagah itu segera masuk kamar mandi dan dengan kecepatan yang luar biasa dia bergegas ke mobilnya dan melajukannya menuju rumah sakit. Setelah sampai di rumah sakit, Leo melangkahkan kakinya dengan mantap, serta penuh tekanan emosi. Tangannya mengepal. Rasanya siapa pun yang berada di depannya dan menghalangi jalannya sekarang, ingin dia lempar tinggi hingga tidak tampak keberadaannya. Emosinya sudah di puncaknya. “Sialan kalian. Awas, ya,” batinnya. Kedua kakinya kini telah berada di depan ruangan yang seingatnya merupakan kamar tempat Noval dirawat. Napasnya semakin menderu-deru hingga seperti mengeluarkan asap hitam pekat yang membuatnya tidak melihat keadaan sekitar. Dia lupa kalau berada di rumah sakit. Jantungnya semakin terpompa cepat membuatnya ingin m
Pak Satpam sebenarnya ragu akan membukakan gerbang. Matanya terus saja menuju lantai tiga di mana biasanya Leo berada di sana. “Apa yang ditunggu? Cepat buka gerbangnya!” pinta Mira terburu-buru. Bekas air matanya masih terlihat jelas. Nada bicaranya sedikit bergetar. Pak Satpam memulai membuka gerbang untuk Mira dengan menghela napas panjang, karena terpaksa melakukannya. Mira kemudian keluar dari rumah itu dalam keadaan menangis dan hanya membawa tas cangklong kesayangannya. Jiwanya saat itu bingung harus ke mana. Kalau pulang ke rumah Bapak dan ibunya, maka akan banyak pertanyaan yang harus dia jawab. Dia tidak mungkin mampu berbohong di hadapan mereka. Belum lagi setelah mendengar semuanya, mereka pasti akan sangat sedih. Mira tidak menginginkan itu. Air matanya kembali tidak terbendung merasakan kekalutan pikiran. kembali Kakinya terus saja melangkah tidak tentu arah. Tiba-tiba di pikirannya terbesit mengingat Noval. Membuat langkahnya berhen
Leo hampir saja melompat kegirangan mendengar hasil penyelidikan tanda tangan Mira itu. “Palsu. Baguslah sesuai dugaanku. Terima kasih Pak Wiliam.” “Sama-sama, Pak Leo.” Leo kemudian menutup teleponnya. Seketika, perasaannya merasa sangat menyesal atas perkataannya yang tidak mempercayai ucapan Mira kemarin. “Berarti ada seseorang yang sengaja ingin merusak hubunganku dengan Mira.” Leo berpikir sebentar. “Apa jangan-jangan ini juga perbuatan Noval? Selama ini, hanya dia yang jadi dalang perselisihan aku dan Mira. Kali ini aku tidak boleh gegabah. Akan aku selidiki dulu.” Leo sangat bersemangat. Dia yakin Mira bisa kembali lagi ke pangkuannya. Yang jelas dia ingin mencari tahu kebenaran dibalik surat cerai palsu itu. Di kapal pesiar, Mira maupun Noval sangat menikmati hari-harinya. Bagaimana tidak, seharian yang mereka lakukan hanya bersenang-senang di dalam kapal pesiar yang serasa berada di dalam kota terapung di tengah laut. Terkadang mereka ke
“Dua hari yang lalu. Saya mendapatkan surat cerai yang sudah ditanda tangani oleh Mira. Tapi Mira tidak merasa menandatangani apa pun. Waktu itu saya tidak percaya. Itu sebabnya dia pergi,” jelas Leo sambil menyeruput minumannya hingga habis. “Kemarin saya coba cek keaslian tandatangannya. Ternyata itu palsu. Saya menyesal tidak mempercayai Mira.” Wajahnya menunduk seolah menunjukkan penyesalan yang dalam. “Saya curiga dengan Noval. Jadi, saya menyelidikinya.” “Surat cerai? Sebentar, Noval dan saya punya teman akrab seorang pengacara. Siapa tau Noval meminta bantuannya.” Pak Burhan buru-buru mengambil selulernya dan menelepon seseorang. Tidak lama, dia pun menutup teleponnya. “Benar dugaanmu Leo. Surat cerai itu permintaan Noval. Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?” Leo menarik napas panjang yang dalam. “Sepertinya, saya harus segera menemukan istri saya, Pak Burhan. Perasaan saya tidak enak.” “Sepertinya itu yang terbaik.” Pak Bu
“Kamu pikir, siapa lagi aku?” ucap Leo. Noval melirik wajah lelaki gagah itu dari samping karena tangan dan lehernya terkunci tidak bisa bergerak sama sekali. Dia panik mencoba bernegosiasi agar mau melepaskannya. “Apa maumu?” “Cepat katakan, di mana Mira berada?!” “Bukankah kalian sudah bercerai. Dia bukan urusanmu lagi.” “Kamu pikir, aku gak tau siapa dalang pembuat surat cerai palsu itu!” Noval terkejut, “Apa?!” “Sudahlah. Sekarang waktunya kamu terus terang? Paling tidak punya etiket baik menolong Mira.” “Tidak akan,” teriak Noval sambil mencoba melepaskan diri. Mata dan wajahnya memerah merasakan emosi yang tinggi tapi tidak bisa melakukan apa-apa. “Kamu, keterlaluan!” teriak Leo. Tarikan tangannya semakin di kuatkan. Di kamar, tubuh Mira telah selesai di lulur dan wajahnya juga di rias secantik mungkin. Setelah itu, dia dipaksa untuk memakai pakaian seksi. “Lepaskan, aku gak m
“Aku harus membuktikan bagaimana lagi agar kamu percaya?” suaranya sangat memelas. Pipinya terus saja basah dengan air mata. Wajahnya kemudian tertunduk. Tubuhnya bersimpuh di hadapan Leo. “Aku pasrah kamu perlakukan seperti apa, asalkan kamu percaya.” Leo tersenyum melihat Mira. Dia menarik tubuhnya agar berdiri. “Aku mempercayaimu. Waktu di kapal pesiar. Aku bertemu dengan Noval. Aku mendengar semua percakapannya dengan Antonio. Kalau kamu dijual dengan harga tinggi karena masih perawan. Tentu saja Noval berusaha menjagamu, agar dia bisa mendapat uang lebih banyak.” Mira langsung memeluk Leo dengan erat. Dia masih tersedu-sedu. Namun, air matanya yang keluar, bukan air mata kesedihan tapi kebahagiaan. “Terima kasih mau mempercayaiku. Maafkan aku, Leo?” Lelaki itu melepaskan dekapannya. Dia memegang wajah Mira lembut dengan kedua tangannya agar bisa menatap matanya. “Aku juga minta maaf atas semuanya. Maukah kamu memaafkanku?” Mira me
Mira dan Leo kembali saling membuang senyuman melihat perilaku Mama. Mereka kemudian makan bersama sambil bercengkerama hangat. Selesai itu mereka kembali ke kamar masing-masing. Mira memulai hari-harinya seperti yang dia harapkan dulu sebelum menikah. Saling pengertian dan memahami. Hampir tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. Leo dan Mira sudah sama-sama merasakan cinta sedia kala.Leo tidak lagi pemarah, sifatnya semakin lembut karena pengaruh kelembutan Mira. Malam-malam mereka selalu dihiasi dengan malam kedua, ketiga dan seterusnya. Apalagi ketika hari libur. “Sayang, besok liburan ke puncak, yuk?” “Ngapain, sih. Enak di rumah aja ah.” Mira dari dulu memang nyaman berada di dalam rumah daripada harus kelayapan tidak jelas. Apalagi sekarang dia memiliki teman seumur hidup yang selalu menemaninya. Kehidupannya di rumah Leo terbilang sangat nyaman. Apa pun yang dia inginkan tinggal bilang saja. Semua jadi c