"Makhluk apa? Jadi penasaran," sahut Elsa.
Nenek Diah duduk terlebih dahulu di kursi dekat pintu. Tatapan matanya memandang fokus ke arah Edwin.
"Sebenarnya makhluk itu harus diusir, jangan sampai ada di rumah ini. Kalian mesti nyari orang pintar buat bantuin, nenek gak mau kalian jadi korban. Sudah lama nenek menyimpan rahasia ini dari kalian," terangnya.
"Rahasia?" Edwin mengerutkan keningnya lalu mendekati Nenek Diah.
Tiba-tiba saja wanita tua itu membuang wajah dari tatapan Edwin.
"Rahasia apa? Soal tumbal pengantin itu, ya?" Tanya Edwin.
"Bukan! Bukan! Enggak ada tumbal pengantin di keluarga ini! Kusumadinata itu nama kakek kalian, kami terhormat dan sama sekali gak pernah main licik!" Gerutunya.
Edwin, Elsa, dan Erwin saling bertatapan. Kemudian, mereka memeluk neneknya sambil menyeka air mata di pipi yang sudah bergelambir itu.
"Saya mau Intan selamat. Tapi, bilang sama saya, apa dulu Papa sempat menikah dengan wanita pertama? Maksud saya apa Papa punya istri pertama yang mati juga?" Tanya Edwin.
Nenek Diah terbelalak, matanya berkaca-kaca.
"Itu sih mau nenek--"
"Kalian, gak kangen sama Oma Layla yang cantik ini? Sini dong cucu-cucuku, Oma pengen meluk." Oma Layla tiba-tiba memotong pembicaraan.
Percakapan itu terhenti gara-gara Oma Layla menyapa dengan nada yang keras.
"Oma," sahut Elsa. Seraya memeluk dengan erat. "Mas Edwin, Erwin, gak kangen sama Oma?"
"Gak apa-apa, Oma mau pulang lagi, ada oleh-oleh tuh di ruang tamu, suruh Nala buat beresin ya, bawa ke dapur, simpen di kulkas biar aman," pinta Oma Layla.
"Makasih ya, Oma. Senang kenalan sama Oma Layla. Bagi-bagi resep cantik dan awet mudanya dong," canda Intan.
"Oh, istri Edwin yang baru ya, senang kenalan sama kamu, nak. Lain kali main ya ke rumah, tapi sekarang saya harus pulang, biasa ada urusan penting. Gak apa-apa kan sayang-sayangku? Oma pergi dulu," pamitnya.
Tanpa bersalaman dahulu dengan cucunya, dia pergi begitu saja. Edwin dan Intan mengantarkan beliau sampai ke depan rumah. Namun, Intan merasa canggung karena ada ibu mertuanya yang sudah lebih dulu menunggu.
"Padahal kita masih kangen sama Oma Layla, lain kali nginep ya, Edwin pengen cerita banyak, apalagi soal program anak," ucapnya.
Oma Layla terdiam sejenak. Seraya membuka topinya dahulu lalu menyentuh kening Edwin.
"Gak salah mau program anak? Kalau begitu, ya kalian berdua mesti tenang, sabar, banyak ikhtiar juga ke dokter," pintanya.
"Udahlah, kan mau berangkat ke Aussie, jangan kelamaan di sini," protes Rani. Dia memeluk ibunya terlebih dahulu sebelum pergi.
"Mudah-mudahan bulan depan kita ketemu dan panjang umur ya. Dadah cucuku," pamit Oma Layla sambil melambaikan tangan.
Intan tertawa terbahak-bahak setelah Oma Layla pergi.
"Aneh banget, panjang umur katanya."
Mereka kembali masuk rumah, menyambangi dapur dan menemukan banyak makanan oleh-oleh dari Oma Layla. Sampai kedua ART kewalahan sibuk membereskan makanan kemasan berisi dodol dan kerupuk.
"Nala, Amel, kalian masukan saja makanan itu ke wadah, kalau di kulkas gak bakalan masuk," suruh Edwin.
"Baik, Pak," sahut Nala.
Kemudian, terdengar suara batuk-batuk dari Nenek Diah sampai berdahak hingga muntah-muntah.
"Nala, tolong bikin air hangat, makanan sama obat batuk buat nenek, bawa ke kamar ya," suruh Edwin.
Mereka lantas ke lantai dua untuk melihat kondisi neneknya. Namun, Intan dan Edwin dikejutkan oleh pemandangan langka. Ayahnya, Erik Kusumadinata rupanya sedang berhadapan dengan ibunya sendiri yaitu Nenek Diah.
Tampak pemandangan yang mengharukan, Nenek Diah mengusap kepala Erik dengan lembut. "Kamu yang sabar, kuat dan harus tangguh. Ada yang mesti kamu katakan sama mereka."
"Nenek, bukannya barusan batuk, ya? Minum obat ya," pinta Edwin.
Tak berselang lama, muncul Nala membawakan air hangat, makanan dan obat di atas baki emas. Seraya menyimpannya di meja, tepat di hadapan Nenek Diah.
"Silahkan dimakan, dodolnya enak," ucap Nala. Dia kembali lagi ke lantai utama.
Intan menghampiri Nenek Diah, memijat tangannya yang sudah bergelambir, ia berkata," Suatu saat aku pasti begini."
Lantas, Nenek Diah meneguk segelas air hangat itu lalu menyantap dodol manis separuhnya saja. Sisanya dia celupkan ke dalam cangkir.
"Obatnya, nek. Biar sembuh," pinta Edwin.
Cucu yang paling besar itu sudi menaruh satu sendok obat batuk lalu dia suapkan ke mulut neneknya.
"Kangen begini lagi, kayak dulu waktu kecil," ucap Edwin. "Oh, iya. Nenek mau bilang apa sama kita? Mumpung ada saya sama Intan di sini."
Nenek Diah berurai air mata, terisak-isak dan menyeka bulir bening yang menetes.
"Kenapa?"
"Edwin, nenek cuma bisa ngasih alamat orang ini dulu," ucap beliau. Nenek Diah menuliskan sesuatu di atas secarik kertas, dia berikan pada cucunya. Lalu, dia berkata dengan berbisik. "Cari alamat Ibu Idah ya, dan ada lubang rahasia di kamar Papa kamu. Cari saja, ada isinya."
Nenek Diah malah batuk-batuk dan hampir muntah sampai memegang perutnya.
"Aduh, boleh nenek istirahat dulu? Nanti saja ceritanya ya," pintanya.
Intan bergegas mengantarkan beliau ke kamar khusus. Sementara itu, Edwin masih melirik alamat yang tertulis di secarik kertas sambil menghadap ayahnya, Papa Erik.
"Ibu Idah itu siapa ya? Papa kenal dia?"
Papa Erik malah menitikkan air mata.
"Kita ke dokter lagi besok, Papa harus sembuh ya, Edwin pasti kasih cucu buat Papa dan Mama," ucapnya sambil memeluk ayahnya.
Sore hari tiba, Edwin mengajak ayahnya ke lantai utama. Dengan murah hati dia mendorong kursi roda untuk menyambangi dapur.
"Mas, mau makan snack dari Oma Layla, gak?" Tanya Intan.
"Mana dong, mau sini!" Teriak Erwin.
"Aku juga, jangan dihabisin lo!" Protes Elsa.
"Makanan dari Ibu Layla sudah saya simpan di wadah," ucap Nala sambil membawa wadah besar berisi makanan itu.
Nahas, Edwin tak sengaja menyenggol panci berisi air lalu menumpahi semua makanan itu.
"Yah, Mas Edwin, gimana ini!" Keluh Elsa.
"Maaf, gak sengaja. Aduh, kalau kalian mau, Mas bisa order, ini udah gak bisa dimakan lagi. Buang saja ke tong sampah," pinta Edwin.
Akhirnya, ART membuang makanan itu ke tong sampah yang ada di depan rumah.
"Kasihan Oma Layla, udah capek-capek bawain makanan buat kita malah kebuang percuma," keluh Elsa.
Malam harinya, Edwin dan Intan menengok Nenek Diah ke kamarnya. Sesepuh yang mereka hormati masih terdengar batuk-batuk dan hampir mau muntah.
"Nenek tidur di kamar saya ya, mau?" Tanya Edwin.
"Kita ke rumah sakit sekarang, nenek udah pucat," pinta Intan. Seraya menyentuh kening wanita tua itu untuk memeriksa suhu badan.
"Enggak usah, nenek mau di sini saja. Minum obat saja sudah bikin nenek tidur, mana obatnya?" Tanya beliau.
Seraya meneguk obatnya langsung dari botol, ditutup dengan seteguk air hangat.
"Nenek mau tidur," pintanya. "Ingat pesan nenek ya, nak."
Edwin tersenyum sambil mengangguk, menyelimuti neneknya sebelum keluar kamar. Beberapa saat kemudian, dia langsung tertidur pulas.
***
Jam dua belas malam, Nenek Diah dibangunkan oleh ketukan pintu yang nyaring disertai dengan suara wanita yang memanggil namanya.
"Nenek, nenek."
Sambil batuk-batuk, Nenek Diah beranjak dan hendak membuka pintu. Sayangnya, kaki terpeleset sampai tersungkur.
Dia batuk-batuk lagi lalu memuntahkan cairan hitam.
"Kenapa aneh ya? Jangan-jangan ini perbuatan si--"
Duk!
Suara hentakan di depan pintu terdengar kencang. Kemudian, terlihat ada bayangan hitam menelusup masuk ke kamar lewat celah-celah lubang udara. Dia merayap seperti ular dan berhenti tepat di hadapan Nenek Diah.
"Apakah ini pertanda bahwa saya akan--"
Wush...
Makhluk itu menerkam.
"Aarrrghhhh!"Suara teriakan itu terdengar menggema sampai seisi rumah terbangun. Edwin beranjak lebih dulu. Tanpa pikir panjang dia berlari menuju kamar Nenek Diah. "Nenek, buka pintunya!" Teriak Edwin sambil menggedor pintu."Mas, barusan ada suara menjerit ya?" Tanya Elsa yang baru saja muncul."Mas, ada apa malam-malam begini, berisik tau!" Protes Erwin."Bantuin buka pintu ini, yang teriak barusan nenek kita," sahutnya. "Ayo, buka, bantuin!""Ada apa ini? Malam begini bikin keributan," protes Rani. "Mama, barusan nenek teriak, kita takut kenapa-kenapa," sahut Elsa. "Kita mau bongkar pintu kamarnya."Rani mengambil kunci serep dari kamarnya, dia berikan pada Edwin. Setelah berhasil membuka pintu, pemandangan mengerikan pun tampak. Sesepuh yang mereka hormati sudah terkapar mengenaskan, mulutnya mengeluarkan darah bercampur belatung dan matanya melotot, bagian hitamnya melirik ke atas."Nenek, kenapa begini?" Gumam Edwin. Perlahan-lahan dia mendekati neneknya yang sudah tak berg
Kemudian Elsa terisak-isak, menutup wajahnya sambil meringis hingga air matanya mengalir melakui celah-celah jarinya."Aku belum sanggup kehilangan nenek," ucapnya lirih. "Kenapa dia pergi secepat itu! Padahal waktu tiba di rumah dia baik-baik saja, kan? Dia sehat, Mas! Nenek kita itu sehat!"Intan memeluk adik iparnya untuk sekedar menenangkan hatinya. "Mas, punya firasat buruk mengenai keluarga ini? Kata dokter setelah nenek meninggal katanya mengeluarkan belatung kecil dari mulutnya? Kalau menurut mitos di Indonesia kan itu santet kiriman orang. Belum lagi kematian Rumi dulu, sekarang kamu udah nikah lagi, bisa juga Intan jadi korban berikutnya, atau gue dan Elsa," terang Erwin. "Sudah cukup! Kita lagi berkabung!" Gertak Edwin. "Gak usah bahas santet segala.""Apa gara-gara setan itu! Mestinya kita usir, kita nyari orang pintar buat usir dia," ucap Elsa. Erwin menatap adiknya dengan pandangan sayu, sambil mengerutkan keningnya ia berkata," Kamu udah pernah lihat dia, ya?""Kan k
Duk! Duk!Suara hentakan terdengar nyaring, bunyi dentumnya membuat mereka tercekat."Itu dari kamar nenek," ucap Edwin. Mereka bergegas menyambangi kamar bekas neneknya yang kini sudah kosong. Sengaja, Edwin membuka pintu lebar-lebar. Dan ternyata kondisi di dalam sudah berantakan. Benda hiasan berupa asbak kayu dan lantai sudah berlumur debu."Siapa pelakunya?" Tanya Intan. "Kamar ini kosong. Kayak udah diterjang badai.""Lihat itu!" Seru Elsa sambil menunjuk ke atap.Atap kamar sudah basah, membentuk lingkaran dan berwarna coklat tua. Tampak retak-retak dan hampir roboh."Bau apa ini, bau banget," keluh Intan sambil menutup hidungnya.Lambat laun noda di atap yang berbentuk lingkaran itu berubah semakin basah dan berwarna hitam. Lalu, Edwin bergegas mengambil sebuah sapu. Dia mendobrak atap itu melalui gagangnya sampai atap itu hancur.Tiba-tiba saja sesuatu yang menjijikkan terjatuh setelah atap itu bolong dan rusak."Ya ampun! Kenapa ada yang beginian!" Elsa terkejut.Sesuatu y
Bruk!Dentuman kembali terdengar nyaring sampai mengejutkan mereka. Dan bunyi tersebut terus menerus hingga hentakkan bunyinya semakin cepat."Dari kamar nenek," gumam Intan.Mereka berlari menyambangi kamar Nenek Diah. Begitu pintu terbuka, muncul puluhan ekor kumbang hitam bertebaran ke seluruh ruangan. "Mas, ada bau lagi," ucap Elsa.Edwin bergegas masuk kamar lagi, ternyata atap langit-langit kamar itu sudah roboh sampai kabel listrik menjuntai dan memercikkan api. Mereka terbelalak karena menyaksikan gumpalan seperti darah beku yang dikerumuni belatung."Apa lagi itu?" Tanya Erwin. "Sialan, siapa yang nyimpen bangke di rumah gue!""Iya, siapa dalangnya dan siapa wayangnya? Siapa yang nyimpen benda itu di sini? Pastinya salah satu orang di rumah ini," gumam Edwin. "Hati-hati buat kalian."Kemudian, Erwin mengambil pemantik api. Dia membakar benda berupa tanah yang dikerumuni belatung, dan berkata," Sekalian atapnya kita bakar aja!""Serius dong, Er! Rumah kita bisa kebakaran!" S
Mang Jajang tercekat. "Serem gimana, Pak? Saya mah merasa baik-baik saja di sini. Dan pastinya saya siap jadi pengurus Pak Erik, dia orang yang dulu ngangkat derajat saya yang bodoh ini."Ketika Intan menghampiri, seraya melirik supir yang selalu menyunggingkan bibirnya itu. Mang Jajang mengangguk pelan sambil memandangnya dengan sayu."Siapa wanita ini?""Istri saya."Mang Jajang terbelalak, menelan ludah dan tangannya gemetaran."Pak Edwin sudah menikah lagi ternyata. Selamat ya, mudah-mudahan segera dikasih anak. Saya mau ke kamar dulu, biasa banyak barang pribadi yang mesti diberesin." Mang Jajang tersenyum lebar sambil melengos."Mas, udah dulu dramanya. Aku mau tidur dulu ya, besok kan ada jadwal ngajar, gak enak sama rektor kalau bolos terus," ucap Intan.Dan ketika hendak tidur, sengaja Intan mengenakan baju tidur warna merah bekas Rumi, pakaian mendiang istri pertama Edwin. Wanita yang satu ini terus bercermin, menjuntaikan rambut hitamnya, memamerkan keindahan lekuk badannya
Intan naik pitam. Wanita cantik ini beranjak dari kursinya lalu bertatapan dengan Mirna. "Apa hubungannya pekerjaan sama pernikahan? Lancang kamu, Mirna!" "Kamu masih kerja di sini, seharusnya gak banyak bolos. Lihat semua jadwalnya!" Tukas Mirna sambil melempar absensi mahasiswa ke wajah Intan. "Oh, absensi, mahasiswa banyak yang gak hadir ternyata," gumam Intan. "Jadi siapa yang lancang! Semua aku yang urus pelajaran, emang gak capek ngasih materi kesenian, mereka bentar lagi UTS, dasar dosen kurang ajar!" Hardik Mirna. Di sela-sela perdebatan itu, muncul seorang pria dewasa yang melerai. "Ada apa ini, Bu Mirna, Bu Intan? Masih pagi udah banyak hiburan," sindirnya. "Pak Zayn, saya sudah lelah sama dia, harusnya kita laporkan saja Bu Intan ke rektorat biar dia dipecat sekalian. Di kampus ini aku yang sibuk ngasih materi kesenian, dia sendiri malah asyik bulan madu," gerutu Mirna. Lalu, dia mendelik pada Intan dan berkata. "Emang dasar suka pasang susuk pengasihan buat pelet
"Itu sudah ketentuan di keluarga ini!" Tukas Rani."Artinya dulu Papa sempat menikah dengan wanita lain sebelum menikahi Mama, dan istri pertamanya pasti mati karena tumbal," sahut Edwin. "Jawab jujur, ada apa di keluarga ini? Apa benar Kusumadinata pelaku pesugihan haram, pemuja setan demi kekayaan?"Rani tak berkutik apapun. Dia malah mendorong kursi roda suaminya lalu melengos sambil berkata," Kalian cari sendiri alasannya apa. Mama gak mau terlibat. Ngurus bapak kalian aja udah capek!""Mas." Intan bekedip, meraih tangan Edwin dan mengajaknya ke kamar pribadi. "Mau apa? Maaf, gak bisa," sangkal Edwin."Bukan itu. Aku mau bilang, hantu ART di rumah ini yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu ngikutin aku ke kampus. Sumpah, aku lihat dia, udah gitu rekan kerja mulai menjelek-jelekkan aku," ungkap Intan.Edwin memeluknya dengan erat. "Kasihan istriku ini. Apa ini pertanda kamu harus resign jadi dosen?""Aku difitnah pake pelet buat menggaet pria kaya. Salah aku apa, ya?" Gumam I
Intan, Erwin dan Elsa sangat menunggu-nunggu isi dari buku yang sudah lusuh itu. Sampulnya berwarna hitam dan kertasnya berwarna kuning.Perlahan-lahan Edwin membuka bukunya, ia mendapati foto kenangan zaman dahulu yang ditempel di atas kertas. Ada sebuah foto pernikahan adat Sunda, tampilannya sudah lecet dan kotor."Ini Papa waktu muda, dia nikah sama siapa ya? Ini foto pernikahan Papa sama wanita lain," ucap Edwin."Benar dugaan aku. Papa sempat nikah sama wanita lain dan pastinya dia meninggal juga," gumam Intan. "Bentar, kalau aku nikah, kira-kira istri pertama aku bakal mati juga atau enggak, ya? Ini yang bikin aku was-was," keluh Erwin. "Lihat foto nikahan Papa sama cewek lain aja udah gemeteran begini."Edwin kembali membuka lembaran baru. Di halaman berikutnya dia menemukan sebuah alamat. "Tasikmalaya, jalan H. Zaenal Mustafa. Ini tertulis alamat punya siapa ya? Tulisannya udah lecet," ucap Edwin.Lalu, Intan dan Elsa membuka halaman lain yang isinya hanya berupa foto kenan