Share

BAB. 7 DI ANTARA DUA PILIHAN

"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya.

"Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur.

"Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.

Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku.

"Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai.

"Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan atau tidak rumahmu ditempati sama Mas Ilham?" Pak Kyai langsung memberikanku pilihan.

"Jujur saya senang sekali kalau ada yang berkenan menempati, karena saya tinggal di sini dan tidak bisa rutin membersihkan rumah itu, cuma mohon maaf rumahnya kecil dan tidak bagus, tapi kalau memang Mas Ilham berkenan ya silakan ..., saya sangat berterima kasih." Tanpa pikir panjang aku mengizinkan Mas Ilham untuk menempati rumah itu.

Mereka semua mendukung keputusanku. Mas Ilham sangat berterima kasih karena aku sudah mengizinkannya tinggal di rumah itu. Atas saran Pak Kyai sebagian uang hasil sewa digunakan untuk membenahi bagian-bagian rumah yang sudah rusak, dan sisanya aku simpan sebagai tabungan.

Rencananya selesai renovasi secepatnya Mas Ilham bersama temannya akan pindah ke rumah itu.

***

Sore ini seperti yang dikatakan Bu Nyai, Mas Iqbal pulang ke rumah. Seperti biasa saat baru pulang, dia langsung mencari Bu Nyai. Kebetulan saat itu aku sedang membantu Bu Nyai di dapur.

Aku pangling saat melihat Mas Iqbal, rambut yang biasa tertata rapi dengan potongan cepak kini panjang hampir sebahu. Bahkan jambang dan jenggotnya juga dibiarkan tumbuh tak teratur. Tapi menurutku malah jadi terlihat macho hehe ....

Beberapa saat kami saling menanyakan kabar, tak lupa Mas Iqbal menanyakan tentang sekolahku yang tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Lalu ia bercerita tentang KKN-nya di pelosok desa, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Di desa tempat aku KKN ndak ada tukang cukur, Mi," kilahnya saat Umi protes dengan penampilan Mas Iqbal yang jauh berbeda dari sebelum berangkat KKN.

"Halah ... alasan, kalau penampilanmu begini apa ada gadis yang mau dekat-dekat sama kamu to, Bal ...?" gurau Bu Nyai sambil mengacak-ngacak rambut Mas Iqbal.

"Ya kalau namanya cinta mau model kayak apa juga mau-mau saja, Mi ... hehehe." Mas Iqbal terkekeh menanggapi gurauan Bu Nyai.

Sesaat aku yang sedang mengupas pepaya kaget dengan yang Mas Iqbal katakan. Tapi memang benar sih, Mas Iqbal mau model seperti apa tetap ganteng di mataku, tetap menarik di depanku. Cinta memang membutakan mata. Cinta? Ah, Nisa ... Nisa .... Aku merutuki perasaan sendiri.

Karena kehadiran Mas Iqbal, sore ini berlalu tidak seperti biasanya, tubuhku layaknya mendapatkan asupan vitamin, seperti ada spirit dalam hidupku. Dan tentunya aku harus siap untuk hari-hariku berikutnya. Aku pastikan harus bisa menjaga sikap di depan mereka semua, agar tidak ada yang tahu dengan apa yang aku rasakan.

***

Hari ini tiba saatnya yang ditunggu, Pengumuman Kelulusanku. Dan benar kata pepatah, Tak ada hasil yang menghianati usaha' Pengorbananku belajar mati-matian siang dan malam terbayar sudah saat hasil ujian diumumkan. Aku mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.

Alhamdulillah .... Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur atas keberhasilan ini. Tak lupa berterima kasih pada seluruh guru-guruku dan tidak ketinggalan pada Pak Kyai dan Bu Nyai.

Pak Kyai dan Bu Nyai senang sekali melihat nilai ujianku, bahkan mereka menawariku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya Namun, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga, dengan sopan aku menolaknya.

Aku tidak mau membebani mereka, karena aku paham untuk kuliah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku tidak ingin berhutang budi terlalu banyak pada mereka.

Awalnya Pak Kyai dan Bu Nyai kecewa karena penolakanku. Mas Iqbal juga menyayangkan keputusanku. Skan tetapi setelah aku ungkapkan alasannya, bahwa aku akan kuliah tapi dengan biayaku sendiri, bekerja sambil kuliah, akhirnya mereka mau menerima keputusan itu tapi dengan satu syarat, aku harus mau bekerja mengelola toko pertanian mereka. Untuk kali ini aku tidak bisa menolaknya.

Baru sebulan ini Pak Kyai merambah usaha baru, sebagai penyedia berbagai alat-alat pertanian, pupuk, obat-obatan tanaman dan juga benih. Toko ini ada di salah satu tempat penggilingan padi milik beliau.

***

Hari berganti hari, dan tak terasa sudah hampir setahun aku mengelola toko Pak Kyai. Beliau mempercayakan sepenuhnya pengelolaan padaku. Aku pun berusaha menjaga sebaik mungkin kepercayaan itu, berusaha tidak membuat Pak Kyai kecewa. ‘Jujur' prinsip itu yang selalu aku pegang.

Saat ini aku sangat menikmati aktivitas baru, mengelola toko dan mengambil kelas ekstensi pada sebuah universitas swasta yang membuka kelas jauh di kotaku. Alhamdulillah ... Tidak henti-hentinya aku bersyukur atas nikmat yang sudah Allah limpahkan padaku. Jika Bapak dan Ibu masih hidup, pasti mereka akan sangat senang melihatku bisa bekerja sambil kuliah, ibaratnya pepatah ‘ Berenang Minum Air'.

Dari Senin sampai Jumat aku bekerja di toko, sedangkan hari Sabtu dan Ahad aku gunakan untuk kuliah. Pak Kyai dan Bu Nyai sangat mendukung, begitu juga dengan Mas Iqbal. Hal ini membuatku semakin bersemangat menapaki hidup.

Toko yang kukelola berjarak kurang lebih setengah kilometer dari rumah Pak Kyai. Aku membukanya dari jam delapan pagi sampai empat sore. Ada satu orang yang membantu di toko ini, Syarif namanya. Dia salah satu anak Mak Dijah yang sudah lama bekerja di penggilingan padi ini. Usianya dua tahun di bawahku. Anaknya kocak dan suka bicara ceplas-ceplos. Setamat SMP dia enggan melanjutkan sekolah, dan memilih bekerja. Syarif inilah yang menggantikanku saat hari Sabtu aku kuliah, sedangkan setiap hari Ahad toko tutup.

Sejak bekerja di toko, aku sering bertemu dengan Mas Ilham, Petugas Penyuluh Pertanian yang menempati rumahku. Bukan tanpa alasan jika dekat dengannya, ini atas permintaan Pak Kyai, aku diminta konsultasi dan belajar padanya tentang pupuk dan obat-obatan apa saja yang sekiranya banyak dibutuhkan para petani di sini.

Mas Ilham pribadi yang sederhana, enak diajak ngobrol, humoris dan perhatian. Selain seputar pertanian dia juga banyak bercerita tentang dirinya, tentang keluarganya. Sejak kecil orang tuanya meninggal, dan dia diangkat anak oleh kerabatnya yang kaya raya. Disekolahkan hingga lulus sarjana.

Sebenarnya orang tua angkatnya keberatan dia menjadi PNS, dan sudah menawarinya jabatan yang mentereng pada perusahaan milik keluarga yang bergerak pada bidang perkebunan. Tapi Mas Ilham menolak, tetap kukuh pada keputusannya dan ingin lepas dari bayang-bayang orang tua angkatnya itu.

Karena merasa senasib, kami menjadi semakin akrab. Namun lama-kelamaan sebagai perempuan dewasa aku menangkap ada maksud lain di balik perhatiannya padaku, sepertinya Mas Ilham menaruh hati, jatuh cinta padaku. Bahkan para pegawai di penggilingan padi juga sering meledek kami, terutama Syarif. Dia sering menggodaku dan menurut Syarif kami berdua sangat cocok.

Lalu bagaimana dengan perasaanku padanya? Entahlah aku sendiri tidak tahu ... Bagiku terlalu dini untuk menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Hatiku masih tertaut pada Mas Iqbal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status