“Ayo, jalan menuju mobil itu!” ucap seorang pria yang menodongkan sesuatu, yang ternyata adalah senjata tajam di pinggang Devan.Devan menoleh ke arah orang yang memerintah dirinya. Dan ternyata ada dua orang di belakang mereka. Pria yang yang menodongkan senjata tajam pada Devan dan yang satunya lagi, berdiri di belakang Nadya. Pria yang di belakang Nadya juga tengah menodongkan senjata tajam pada gadis itu.“Kenapa aku harus menuruti kalian?” tanya Devan dingin.“Sudah lah Pak Kayden, jangan banyak tanya! sekarang jalan ke mobil itu!” titah pria yang ada di belakang Nadya.Devan mengerutkan keningnya. Dia bingung dengan ucapan pria itu, yang memanggil dirinya dengan sebutan nama yang sama sekali tidak dia kenal.‘Kayden,’ batin Devan.Nadya menoleh ke arah Devan yang tengah mengerutkan keningnya. Dia juga bingung, kenapa pria itu memanggil Devan dengan sebutan nama orang lain?“Ayo jalan!” titah pria yang satunya lagi.“Ok, aku akan turuti kemauan kalian, tapi jelaskan dulu ada apa
Suittt...Pria yang sedang memegang telepon genggam milik Devan seketika menghentikan aktivitasnya. Dia lalu berjalan ke arah sumber suara. Dia menghentikan langkahnya ketika dia melihat pintu ruangan sedikit terbuka. Dia lalu mengeluarkan senjata tajam dari balik jaket-nya dan dengan perlahan dia melangkah keluar ruangan.Tepat pada saat dia berada di ambang pintu, tiba-tiba sebuah pukulan yang keras mengenai hidungnya. Dalam sekejap hidung pria itu mengeluarkan darah segar. Dia terhuyung ke belakang beberapa langkah sambil memegang hidungnya yang terasa perih. Dia berusaha untuk berdiri tegak, namun sebuah pukulan yang cukup keras kembali mengenai tubuhnya yang gempal dan akhirnya tubuh pria itu tersungkur di lantai.“Nad! cepat ambil telepon genggam-ku di atas meja itu!” titah Devan. Dia terus menghajar wajah pria yang tersungkur di lantai itu bertubi-tubi, hingga pria itu jatuh pingsan.Nadya dengan cepat meraih telepon genggam milik Devan yang tergeletak di atas meja. Kemudian di
“Maaf. Aku tidak bisa mengendalikan diriku jika berada di dekat kamu, Nad.” Devan mengaku jujur dan menatap wajah Nadya yang kini merona. “Dua tahun nggak ketemu kamu membuat aku tersiksa. Dua tahun terasa seperti dua abad lamanya.”“Aku nggak nyangka kalau kamu jago ngegombal juga ya, Mas. Aku pikir kamu hanya jago beladiri karena kamu dulu tentara dari pasukan elit yang handal.” Nadya tertawa kecil melihat Devan yang membulatkan matanya.“Ini aku nggak ngegombal, Nad. Selama dua tahun aku seperti nggak ada semangat. Kerja hanya karena kewajiban saja, rasanya datar. Beda dengan sekarang, aku ketemu sama kamu lagi rasanya hidupku kembali bersemangat, Sayang.” Devan mengungkapkan isi hatinya dengan tatapan serius ke arah Nadya.Wajah Nadya kembali merona ketika saat ini dia mendengar Devan memanggilnya sayang. Nadya mengulum senyumnya dan dia merasa hatinya kembali berbunga-bunga.“Mas, masak sampai segitu sih dua tahun seperti dua abad, hidup nggak bersemangat karena nggak ketemu aku.
"Arghh, Mass..." Nadya mendesah saat bibir Devan terus menyusuri area leher dan belakang telinganya. Dan desahan Nadya itu membuat Devan semakin bersemangat melancarkan serangannya ke arah tubuh Nadya. Tepat pada saat Devan hendak menarik tali pada blouse yang dikenakan gadis itu, tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh seseorang.Devan seketika menghentikan serangannya dan menatap wajah Nadya yang sayu. Dikecupnya bibir gadis itu sebelum dia melangkah ke arah pintu.Devan membuka pintu dan dilihatnya seorang pelayan losmen membawakan makanan yang dia pesan tadi."Ini sudah datang makanannya, Nad." Devan meletakkan nampan di atas meja."Ya sudah kamu mandi dulu, nggak usah bergerilya lagi." Nadya berkata sambil tertawa, dan tawa itu kemudian menular kepada Devan yang kemudian berjalan ke arah kamar mandi.Nadya segera mengatur makanan itu. Dia pindahkan makanan yang di atas nampan itu ke atas meja.Tak lama Devan keluar dari dalam kamar mandi dengan tubuh yang segar. Dia langsung bergabung
“Kamu seharusnya jangan bersikap seperti itu kepada Reza! Kita kan belum tahu apakah kepergian Amelia karena dipaksa oleh Reza atau memang Amelia dengan suka rela mengikuti Reza? nanti kita bisa tanyakan pada mereka saat sudah tiba di rumahnya.” Devan berusaha menasehati kekasihnya itu agar sedikit bersabar menghadapi masalah ini.“Habis aku kesal dengan mereka berdua. Di suratnya Amelia seolah-olah tidak mau berhubungan dengan keluarganya. Dia seolah ingin hidup sendiri,” keluh Nadya. Dia kemudian memijat keningnya.Devan meraih tubuh Nadya ke dalam pelukannya, berusaha memberikan kenyamanan. Dia mengelus bahu Nadya sambil membisikkan kata sabar berulang kali di telinga wanita itu.“Kamu tidak menyebutkan ada surat padaku sebelumnya. Hanya foto Amelia yang kamu perlihatkan ke aku.” Devan menatap wajah Nadya yang kini sedang terpejam dan tangannya terus memijat keningnya.“Kamu tidak tanya. Kamu cuma tanya soal foto dan aku juga lupa soal surat itu,” sahut Nadya masih dengan mata yang
"Amel, apa kamu tidak ingin minta restu dari orangtua?" tanya Nadya lagi ketika Amelia tidak menjawab pertanyaannya."Untuk saat ini, aku akan menikmati kehidupan rumah tangga yang sedang aku bangun bersama suamiku, tanpa adanya gangguan dari pihak ketiga, termasuk orangtuaku sendiri," ucap Amelia. Dia lalu menggenggam tangan Reza.Nadya terdiam mendengar kata-kata adiknya. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Di dalam lubuk hati yang paling dalam, dia mengagumi keteguhan hati Amelia.Nadya diam-diam melirik ke arah Devan yang ternyata juga sedang menatap dirinya. Devan terlihat sedang mengulum senyumnya, yang entah apa maksud dari senyumannya itu. Atau Devan sedang memperolok dirinya karena kalah langkah dengan Amelia."Mungkin nanti kalau waktunya sudah tepat, aku dan Mas Reza akan menemui Papa dan Mama untuk minta restu mereka. Kalau untuk saat ini, aku takut mereka justru akan memisahkan kami. Aku sekarang sudah bahagia, kak." Amelia tersenyum dan menggenggam tangan Nadya, erat.
“Kak, kok diam saja? jawab dong pertanyaan aku!” pinta Amelia.Nadya hanya mengedikkan bahunya sambil tersenyum tipis. Dia sendiri belum tahu bagaimana hubungannya dengan Devan ke depannya nanti. Masalah hubungan mereka, sepertinya akan dia serahkan sepenuhnya kepada Devan. Dia akan menunggu kekasihnya itu untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi mereka berdua.“Kok malah bengong sih, Kak. Kasih tahu dong gambaran tentang hubungan kalian ke depannya nanti. Apakah kalian akan mengikuti jejak kami? mengingat hubungan kalian juga ditentang oleh orangtua kita.” Amelia tersenyum menatap kakaknya yang biasanya tegas dalam memimpin perusahaan mewakili ayahnya, tapi kini terlihat pasrah apabila sedang membicarakan hubungan cintanya.“Aku dan Mas Devan belum membicarakan lebih jauh lagi mengenai nasib hubungan kami ke depannya. Jadi aku belum tahu bagaimana kelanjutan hubungan aku dan Mas Devan ini, Mel,” sahut Nadya mengangkat bahunya pasrah.“Tapi, aku lihat Kak Devan cinta banget lho sam
"Kita mau langsung kembali ke Jakarta, atau istirahat dulu di hotel yang Doni pesan selama kita di Yogyakarta?" tanya Devan saat sedang memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel.Nadya terdiam sejenak. Dia sedang mempertimbangkan pertanyaan Devan."Aku sepertinya ingin di Yogyakarta dulu sehari. Aku ingin istirahat dulu memulihkan tenaga dan pikiran sebelum menghadapi Papa." Nadya menghela napas ketika teringat ayahnya yang pastinya akan marah besar, mengetahui Amelia sudah menikah dan tidak mau kembali ke rumah dalam waktu dekat ini."Ok," sahut Devan. Dia kemudian menggandeng tangan Nadya keluar kamar untuk check out dan kembali ke Yogyakarta.***Setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih satu jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di hotel tempat mereka menginap sebelumnya, ketika matahari sudah terbenam."Mas, kita makan malam dulu di restoran itu sebelum ke kamar, ya. Aku sudah lapar," ucap Nadya ketika mereka baru tiba di hotel yang Doni pesan untuk mereka.Devan menganggukka