Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang sangat ku kenal itu.
"Oh ternyata, ini jawaban dari semua. Meski belum semua terkuak." Aku menghela nafas kecewa.
"Feronika!" Aku baru paham kalau ternyata dia mengenal dengan baik siapa Dattan sergio sesha. Bahkan begitu dekat dengan sosok yang baru semalam begitu dekat denganku. Aku tak menyangka kalau mereka bertiga saling mengenal.
Ternyata kehadiran Feronika di perusahaan ini memang sudah diskenario. Motifnya apa? Kenapa harus aku yang mereka jadikan korban konspirasi mereka? Alangkah jahatnya! Benar-benar aku tidak menyangka Ray bisa melakukan ini sama aku.
Hatiku bergemuruh menahan rasa marah dan kecewa tapi tatapanku masih lurus ke depan, dimana orang-orang itu masih terlibat pembicaraan serius.
Aku benar- benar tidak percaya dengan semua ini. Bahkan Dattan, orang yang kukenal bertahun-tahun baik dan ramah juga perduli, kenapa setega itu dibelakang aku?
Dengan berbagai pertanyaan diotakku aku melangkahkan kaki meninggalkan mereka yang tak menyadari kehadiranku. Tapi aku sungguh kecewa sama Dattan lebih-lebih Raya, orang yang akhir-akhir ini sangat kupercaya. Bahkan aku tempatkan di posisi teratas dihatiku sekarang.
Kuhitung langkah demi langkah kakiku. Weekend menyedihkan. Semangatku buyar. Apa yang harus aku lakukan besok di tempat kerja? Berpura-pura tidak tahu kenyataan yang sesungguhnya atau langsung aku tanyakan semua kepada mereka.
Aku sama sekali tidak punya bukti apapun. Kenyataannya, mereka sendirilah yang membuat skenario tentang kasus penggelapan uang itu. Kenapa mereka tega melakukan ini sama aku? hatiku bertanya-tanya tanpa jawaban.
Kubiarkan saja suara dering telpon di ponselku. Aku berjalan dengan gontai. Berkali-kali aku dengar suara poselku bunyi tapi masa bodohlah, aku lagi males banget angkat telpon.
Kuhempaskan pintu rumah dengan keras. Tak lama kemudian aku masuk ke kamar mandi. Menenggelamkan diri di bath-up kamar mandi berharap semua yang terjadi hari ini hilang dari otakku. Selang beberapa menit aku terpejam. Berulang-ulang menarik dan menghembuskan nafas. Agar sesak di dadaku segera hilang. Hingga akhirnya air mata itu mewakili semua perasaanku. Dengan suka rela mengalir begitu saja di pipiku.
Beberapa saat kemudian suara pintu diketuk. Dengan tergesa aku membukanya. Aku terdiam di depan pintu. Tertegun melihat siapa yang datang. Menatapnya dengan mata yang masih sembab.
"Boleh masuk?" suaranya membuyarkan lamunanku. Aku terhenyak. Masih dengan sikap diam, sisihkan badanku memberikan jalan. Dengan sikap tenangnya dia melangkah dan duduk di sofa.
"Kenapa diam saja?" aku sedikit terkejut. Tanpa bicara sepatah katapun aku lewati dia dari tempat duduknya. Kutinggalkan dia sendiri. Aku berdiri di depan cermin. Menyisir rambut dengan kasar. Ada yang menyeruak di dadaku. Rasa marah yang begitu hebat tapi tidak ada tempat untuk melampiaskannya.
Ketika suasana hening itu tercipta, kurasakan sentuhan hangat di pinggangku. Kembali aku terhenyak. Kusadari seseorang itu sudah memelukku. Mencium rambutku yang basah. Dan sesekali mengurainya dengan lembut. Sesaat kunikmati suasana itu dan aku kembali ke alam sadarku. Dengan cepat ku tepis tangan itu.
Dengan reaksi terkejut dia melepasksn pelukannya di pinggangku. Memandangku penuh keheranan. Melihat perubahan sikapku yang tiba-tiba acuh.
"Move, ada apa, dari tadi sikap kamu aneh? Apa kamu marah sama aku?" Pertanyaan itu tak ada satu pun yang ku jawab. Wajahku memerah kesal. Berubah jadi wajah judes dan jutek. Aku berjalan meninggalkan dia di kamar. Tapi baru beberapa langkah.
"Jawab dulu pertanyaanku! Kamu ini kenapa? Dari tadi mengabaikan aku?" suaranya meninggi membuatku terpaksa menghentikan langkahku.
Aku hanya menggeleng. Rasanya malas banget menjelaskan padanya. Karena aku yakin akan banyak pembelaan diri darinya.
"Kamu tahu nggak kenapa aku kesini? Aku khawatir sama kamu, berkali-kali ditelpon nggak diangkat!"
Aku menatapnya tajam. Ingin rasanya membahas tentang apa yang kulihat tadi siang. Ingin mendengar pengakuan tentang kebenaran yang ia bicarakan dengan orang-orang itu. Belum lagi masalah kemarin. Dengan tiba-tiba dia berubah sikapnya. Dan mungkin sebagian pertanyaanku itu sudah ada jawabannya.
"Move ...!" Suaranya kembali meninggi. Mendekatiku dan mencengkram pundakku dengan tangan kekarnya.
"Bilang kamu ini kenapa, hah ...!" sekali lagi suaranya melengking dan menatapku begitu tajam. Aku tak bisa mengelak. Aku pasrah. Percuma melawanpun, dia lebih kuat. Bahkan dia tidak menyadari, kalau semua sikap dan perbuatannya itulah yang membuat aku begini.
Wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Hembusan nafasnya menerpa muka ku, lembut dan memberikan aroma sensual. Pelan dan sangat lembut bibirnya menyentuh bibirku. Lidahnya menerobos masuk menggapai lidahku dan melumatnya. Menghisapnya sepenuh hati. Aku mulai menikmatinya. Kupejamkan mata dan kubalas ciumannya yang menggairahkan.
Dengan nafas terengah dia terus melumat bibirku. Tangannya menarik tanganku keatas dan terus menciumku dengan rakus. Aku tersengal dengan gemuruh nafsu luar biasa. Dengan secepat kilat bibirnya menjalar di leherku,menjilatinya dengan nafsu.
Aku semakin terbuai dengan permainannya. Melupakan segala amarah yang hampir meledak tadi.
"Uhhhhhh ...," Aku kembali tersengal tapi dengan cepat bibirku disambar oleh bibirnya. Dilumatnya dengan rakus. Kuakui laki-laki ini luar biasa. Dia mampu memberikan apa yang perempuan inginkan.
"Uhhhhh, sayangg-gg," desisnya tak karuan.
Aku semakin menggila mengikuti permainannya. Tanganku yang tadinya pasif sekarang menjalar mencari sesuatu.
"Ahhhh ...!" Desahnya panjang ketika tanganku menemukan sesuatu. Dan tanpa jeda lagi dia semakin menggila. Menuntaskan apa yang seharusnya dituntaskan.
Malam ini kembali terjadi. Begitu lemahnya hatiku. Sedikitpun aku tak bisa menolak pria ini. Begitu sangat aku mencintainya.
Keringat belum kering dari badan kami. Masih terasa hangat pelukkannya. Sesekali dia mencium punggungku yang telanjang. Dengan mata terpejam aku menikmati setiap sentuhannya.
"Sayang ...," panggilnya lembut sambil mencium leherku dari belakang. Aku membalikkan badan menghadapnya. Menatap lebih tegas setiap rahang mukanya. Begitu tampan. Begitu mempesona. Mampu menghipnotis perempuan manapun. Aku tersenyum dalam hati. Mungkin saat ini, akulah wanita paling beruntung. Bisa dekat dan dicintai oleh seorang Ray Dinata. Direktur muda yang tampan dan mempesona.
"Tadi kemana? kenapa teloonku nggak diangkat?" Tangannya meraba dadaku dan mngelusnya lembut.
"Aku keluar tadi, nggak dengar kalau ponselnya bunyi." jawabku sambil memejamkan mata menikmati kasih sayang yang ia berikan. Menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. Menyembunyikan kesakitan dan kepedihan yang luar biasa. Yang kurasakan hari ini.
"Kenapa selalu nggak kasih kabar kalau mau pergi?" Aku menelusupkan wajahku ke lehernya. Hal yang paling aku sukai ketika bersama orang yang aku sayangi.
"Tidak mau mengganggu waktumu." bisikku di telinganya dengan lembut. Memberikan keyakinan padanya kalau semua baik-baik saja. Bahkan memberi ketegasan pada diriku sendiri tentang laki-laki ini.
"Tak sedikitpun kamu mengganggu waktuku sayang," Kedua tangannya meraih wajahku dan mengecup lembut bibirku.
"Jangan ulangi yang tadi ya," ucapnya membuatku mengerutkan kening. "Jangan abaikan aku seperti tadi." tandasnya memelukku hangat. Ternyata dia peka kalau tiba-tiba berubah.
Aku mengangguk dalam pelukkannya. Menelusupkan wajahku ke lehernya. Dan mengeratkan hangat pelukannya. Rasanya nyaman, damai dan bahagia.
******
Sepagi ini, semua orang sudah sangat sibuk. Awal bulan yang sangat melelahkan. Aku yang sekarang duduk seruang dengan direktur pimpinan juga tampak sibuk. Dari tadi sosok yang mampu membuatku bertekuk lutut itu menghilang entah kemana.
Sudah kupastikan jadwal hari ini tidak ada meeting keluar. Tapi sosoknya nggak keliatan dari tadi. " Setelah menyelesaikan pekerjaan ini, nanti akan aku cari." ujarku dalam hati sambil terus merapikan file-file yang berantakan.
Disisi lain terjadi pembicaraan antara 2 orang yang sudah tak asing lagi. Tampak serius dan monoton. Sesekali terjadi debat pendapat yang memicu pertengkaran.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini? Sudah cukup semua ini! Apa kamu tidak peduli dengan hubungan kita?" suaranya bergetar. Ada air mata yang dipendam. Rasa tertekan itu begitu tampak di mukanya.
"Aku bingunggg ...!" suara itu tak kalah bergetar. Ada kesedihan yang sulit sekali untuk diungkapkan.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini,harusnya kamu tidak memberi harapan lagi sama dia! harusnya kalian sudah benar-benar mengambil keputusan itu untuk berpisah! Kenapa kamu kembali lagi sama dia? Hari pernikahan kita tinggal beberapa bulan!" Pecah sudah air mata itu. Wanita itu terisak. Tersengal, menahan sesuatu yang sangat menyesak di dadanya.
"Cukup-cukup! Jangan diteruskan lagi, aku pusing!" Memekik suara itu. Ada amarah dan juga kepanikan di dalam teriakannya.
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku sebesar kamu mencintainya, tapi ini yang terbaik buat kamu. Orang tua kamu sudah benar bertindak seperti ini. Ingat dia itu siapa, dia akan lebih menderita kalau kamu memaksakan bersama kamu. Mengertilah," wanita itu semakin terisak dan menghiba. Semakin pecah dan tumpah air mata itu.
"Jangan desak aku lagi. Aku mohon," suara laki-laki itu memohon dengan mata sendunya seraya beranjak meninggalkan perempuan cantik itu. Dengan langkah gontai, wanita itu juga meninggalkan ruang pertemuan mereka. Masih ada sisa air mata yang mengalir di pipinya.
Beberapa saat kemudian di ruang kantor keuangan terjadi kepanikan. CCTV yang kemarin gambarnya terhapus tiba tiba muncul kembali.
"Aneh," gumam Fito manager keuangan. Kenapa bisa ada kembali rekaman cctv ini, bukannya kemarin sudah terhapus? Bahkan berkali-kali dicek sudah tidak ada." sambil menggeleng gelengkan kepala dia melihat rekaman cctv itu. Di dalam rekaman cctv itu terlihat sosok perempuan mengenakan masker berbaju hitam gelap sedang mengotak atik laptop dan membuka akun seseorang. Beberapa menit kemudian sosok bermasker itu sudah berjalan meninggalkan meja ruangan salah satu staf kantor.
Tak disangka diujung seberang pintu keluar kantor sudah menunggu seseorang. Yang mungkin saja itu rekannya. Mereka bekerja sama melakukan penyusupan di kantor.
"Ternyata dia tidak bekerja sendiri. Rupanya ada yang membantunya." berkali-kali Fito memperbesar gambar di cctv itu. Menegaskan siapa sesungguhnya yang jadi penyusup di perusahaan tempat dia bekerja.
"Nggak mungkin orang luar, kan ...?" gumam Fito sambil kembali nmenggeleg-gelengkan kepalanya penasaran. Demi Move, dia akan terus menyelidiki kasus ini . Siapa sebenarnya dalang dibalik semua ini, dia nggak akan membiarkan Move jadi korban fitnah oleh orang-orang yang akan mengeruk keberuntungan dari orang lemah seperti Move.
"Maaf Pak Fito,bisa bantu saya mencari kan karyawan untuk mem- back- up pekerjaan di lapangan? Hari ini ada jadwal hitung stok." suara itu tiba- tiba terdengar dari belakang. Fito yang kaget mendengar suara itu dengan gugup segera menutup laptopnya.
"Eh, Feronika! Kamu butuh bantuan ...? suaranya menetralisir keadaan. Siapapun tidak boleh tahu tentang penyelidikannya ini kecuali Move.
"Iya, Pak. Saya kekurangan anak buah di lapangan. Bisa kirim saya anak buah untuk terjun ke lapangan?" ucap Feronika lagi. Entah dia sadar atau tidak dengan apa yang dilakukan Fito tadi.
"Ok Fe, segera ya, " jawabnya seraya memegang gagang telpon. Feronika beranjak dari kantor manager keuangan dengan diikuti ekor mata Fito. Dia menatap sosok Feronika dengan tajam. Bahkan sampai menyipitkan mata.Ada yang mengganjal di hatinya. Yang ia ingin sampaikan. Tapi entah apa? mulutnya tidak tahu apa yang harus ia katakan.
"Kenapa ya? seperti ada yang janggal dengan Feronika? ucapnya sendiri. " Move harus tahu soal rekaman cctv ini. Ini akan menjadi salah satu bukti dalam peyelidikan nanti." Dengan bergegas Fito menuju ruangan Move. Diurungkannya niatnya ketika teringat kalau Move satu ruangan dengan direktur perusahaan.
Sementara itu aku masih terus mencari Ray keseluruh penjuru gedung. Ada yang mencurigakan dari sikap Ray. Sepertinya ada yang disembunyikan lebih banyak. Mungkinkah berhubungan dengan kasus penggelapan uang kemarin? Aku terus saja bertanya dalam hati sambil terus mencari sosok itu.
"Tut ...
Terdengar nada dering suara telpon di seberang. Tapi tak diangkat. dan ini sudah kesekian kalinya. "Sebenarnya apa yang terjadi sich, bikin khawatir saja!" Aku coba lagi menelponnya sambil mondar-mandir di dalam gedung pertemuan. Sudah capek rasanya aku mengelilingi kantor ini tapi tak kunjung aku temukan juga dia.
"Huft ...!" Aku menghembuskan nafas panjang. Ada rasa khawatir yang begitu hebat di hatiku. Entah khawatir apa? Yang pasti aku panik mencari dia.
Masih dengan kepanikan, aku mencoba menelponya lagi. Masih berdering tapi nggak diangkat. Dering panjang itu segera berakhir. Aku putus asa. Tapi ...,
"Hallo ..." Aku meloncat girang karena orang di seberang sana mengangkat telpon dan suara itu miliknya.
"Hallo, Pak! Bapak ada di mana? Sebentar lagi makan siang. Habis itu Bapak ada pertemuan di Hotel!" suaraku berapi api.
"Iya, Saya tahu. Mari kita makan siang bersama." Agak gugup aku menyadari suara itu terasa begitu dekat. Sebelum membalikkan badan, aku sudah merasakan hembusan nafas itu masuk ke telingaku. Seketika itu juga aku membalikkan badan. Dan kulihat laki-laki tampan itu sudah tepat berada di depanku dengan senyum mautnya.
"Ba-pak! Anda sudah di sini? suaraku gagap antara kaget dan deg-degan. Duh ... jantungku tak karuan rasanya. Selalu begini. Laki-laki itu hanya tersenyum kalem. Dan berjalan melewati tempatku berdiri. Aku melongo. Huft!" Aku mengelus dada melihat sikapnya. "Nyebelin banget sich, dari tadi aku nyari bukannya dihargai malah ditinggal begitu saja ...! Aku ngedumel dalam hati sambil mengikuti langkahnya dari belakang.
Mukaku terasa panas ketika tadi menyadari tiba-tiba dia sudah berada dekat sekali dengan wajahku. Entah sebenarnya hubungan kami ini apa. Tak sekalipun dia menyatakan suka padaku tapi kami sudah melakukan hubungan itu 2 kali.
"Ah sial! Kenapa aku sangat lemah, tidak bisa menolak keinginannya. Bahkan aku yang lebih agresif kalau sudah terpancing. Aku begitu menikmatinya dan begitu tulus dengan perasaanku."
Hanya saja ketika aku bersamanya, aku merasakan seperti bersama dengan Farhan. Mereka banyak kesamaannya. Aku menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali. Tidak mungkinlah, Ray itu sama dengan Farhan. Jelas-jelas mereka berbeda. Aku menepis jauh-jauh pikiran itu. Kupercepat langkahku mengejarnya.
BERSAMBUNG
Sepasang mata itu mengawasi pembicaraan kami. Antara aku dan manager HRD. Saking seriusnya, kami tidak menyadari dari tadi ada sepasang mata itu mungkin sudah mendengar semua yang sedang kami bicarakan. Dattan merangkulku dengan senyum lebar. Sitampan yang ramah. Selalu ceria. Bahkan aku tak begitu memperdulikan dia sudah punya kekasih. Kedekatan kami sudah terjalin 6 tahun yang lalu.jauh sebelum dia mempunyai pasangan. Mungkin dia lah satu satunya manusia yang tidak sedikitpun menghiraukan status aku. Tak pernah sekalipun dia merasa malu kalau sedang berjalan denganku. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Bahkan banyak karyawan yang selalu bilang aku terlalu beruntung dekat dengan dia. Sempat ada yang bilang kami pacaran diam-diam. Karena Dattan begitu perhatian sama aku. Entah apa yang membuat Dattan begitu nyaman berteman denganku. Sampai detik ini aku tak sekali pun ada niat menanyakannya. Masih sambil merangkul pundakku kami melewat
Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya. "Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget! "Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tam
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin laptop. Aku terus menarik cursor laptop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar laptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat. Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord laptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar laptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenyataan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering dan tersambung, tapi panggilanku nggak diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil. "Kamu di mana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada
Mungkin terlalu pagi. Aku sudah membereskan barang-barang di ruanganku. Saat ini aku sedang di ruang manager keuangan. "Move! sudah kamu pertimbangkan baik-baik keputusan kamu ini?" Aku menatap kosong ke depan mendengar pertanyaan itu. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya pertimbangkan, Pak!" jawabku tegas. Meyakinkan hatiku. Berusaha menegaskan pada diriku sendiri bahwa keputusanku untuk risaign dari perusahaan itu benar. "Kamu yakin tidak mau mengetahui apa motif mereka melakukan ini sama kamu? lagi-lagi pak Fito menanyakan keyakinanku. "Saya sudah tidak mau terlibat jauh dengan mereka lagi, Pak. Saya nggak menyangka mereka bisa begitu rapi bikin skenario ini buat saya." keluhku lemah. Tampak dari raut mukaku ada kesedihan mendalam. Fito, sang manager keuangan menarik nafas seraya menggeleng- gelengkan kepala. "Saya nggak menyangka Dattan terlibat dalam masalah iin dan tega melukai kamu. Entah tujuannya apa? Pungkasnya la
Setelah peristiwa terakhir itu. Aku memutuskan pergi menghilang. Menjauh dari segala permasalahan. Dari berhenti kerja sampai pindah kost, akhirnya aku juga mengganti nomor ponsel. Berharap tidak akan muncul lagi suatu hari peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin. Sekilas aku mendengar ada beberapa orang yang mencari kabar tentang kepergianku. Ray Dinata! Dia salah satu orang yang yang sibuk mencari tentang aku. Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja aku melihat sosok Dattan terlihat di cafe tempat baruku bekerja. Dia salah satu pelanggan setia di cafe tempat aku bekerja. Aku sengaja tidak menemuinya ketika siang itu dia datang ke cafe. Penamipilannya lebih santai dibandingkan ketika dia kerja. Karena memang hari itu hari libur. Di depannya duduk seorang wanita yang sudah sangat aku kenal. Feronika Alfarest! Tak kulihat sosok lain selain mereka berdua. Aku pikir akan ada sosok Ray Dinata. Namun dari kejauhan kuperhatikan mereka sibuk membahas sesuatu h