Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta, tepat pukul tujuh pagi. Terlihat ada banyak orang mengerumuni halaman bandara. Mereka terlihat seperti reporter dengan ciri khas tas kecil, kamera dan perekam suara yang berada dalam genggaman. Sekitar sepuluh orang, mereka duduk sambil berbincang menatap ke arah pintu keluar bandara.
Diluar dugaan, Leo memasang wajah kaget saat menatap ke arah para pencari berita yang kini berdiri menunggu mereka. Tak lagi bisa mengelak, Daffin memutuskan untuk melewati mereka dengan raut wajah tenang. Tak lupa senyuman manis yang menjadi ciri khasnya.
“Daf, apa benar kamu ingin bunuh diri?”
“Kenapa kamu tidak terlihat di panggung para model? Bukannya kamu salah satu juri acara itu?”
“Apa kamu pergi karena tuduhan Gay?”
“Daf, beri kami jawaban!”
Jutaan pertanyaan diabaikan begitu saja, hanya senyum dan sikap santun yang ia perlihatkan. Begitu pula dengan Leo yang tersenyum dan melangkah cepat menuju mobil. Wajah kesal terlihat dari mereka yang sengaja datang begitu pagi demi mewawancarai Daffin. Tak sedikit dari mereka berkomentar pedas karena kesalnya. Tanpa tahu seperti apa kacaunya keadaan hati Daffin saat ini. Namun, sikap hangatnya berhasil menghalangi mereka untuk menciptakan berita buruk.
“Lu punya cara enggak, untuk ngatasi gosip ini?” tanya Leo dengan tatapan kecewa. Ada banyak jalan yang disediakan, namun tak ada satupun yang berniat Daffin lakukan.
“Belum ada,” jawab Daffin dengan suara yang begitu lembut. Jakunnya bergerak naik turun, seakan menahan tangis.
“Mau sampai kapan lu diam aja, Daf? Lu enggak lelah apa, dikejar-kejar media? Gua aja lelah lihatnya,” gerutu Leo yang kini melempar pandang ke arah jalanan kota Jakarta yang terlihat mulai padat.
***
Daffin melangkah masuk ke rumah, wajah lelah tergambar dari balik kacamata hitam yang ia kenakan. Ia menghembuskan napas berat sebelum menemui bibi tercinta.
“Kamu sudah pulang, Nak?” sambut Bibi dengan senyuman bahagia. Tangannya memeluk hangat Daffin dengan penuh kasih. Kerinduan tergambar jelas di wajahnya. Dengan mata berkaca-kaca, ia meminta Daffin menghabiskan sarapan bersamanya.
Roti berisi sayur dan segelas susu menjadi menu pagi ini. Keduanya terlibat perbincangan hangat mengenai keadaan kota yang baru saja Daffin kunjungi. Senyum dan tawa mengiringi pembicaraan, namun seketika keadaan mendadak senyap kala Devi-Bibi Daffin menyodorkan tiga buah foto berisi gadis cantik.
“Nak, mereka cantik yah!” ucap Bibi memulai pembicaraan.
Daffin hanya bisa tersenyum lebar dan mengangguk, wajahnya terlihat kurang senang dan itu tidak dapat ia sembunyikan. Karena kini ia tak lagi menggunakan kacamata hitamnya.
“Mereka anak teman Bibi. Selain cantik, mereka juga anak yang baik. Sebenarnya ... Bibi punya banyak foto gadis cantik lainnya. Tapi ... mereka inilah yang terbaik menurut Bibi. Mungkin kamu mau berkenalan dengan mereka,” jelas Bibi sambil menatap Daffin dengan tatapan penuh harap. Ternyata gosip Daffin yang disebut gay menjadi kerisauan sang bibi. Tidak berniat melangsungkan pernikahan, Devi hanya berharap Daffin membuka hati untuk mendekati seorang gadis. Dari remaja hingga kini, Daffin terus berstatus jomlo dan hanya menemani bibinya seorang.
“Bi, maaf ... Daffin bukan enggak mau berkenalan dengan mereka. Daffin hanya ingin langsung menikah jika menemui gadis yang tepat,” jawabnya dengan suara parau seakan menahan tangis. Ada rasa sakit dihatinya karena harus menolak permintaan sang bibi, setelah sekian lamanya menjadi anak yang penurut.
Mata Devi seketika terbelalak, sepertinya ia kaget akan ucapan yang keluar dari mulut keponakannya. Namun, ia berusaha menghargai apapun yang menjadi keputusan Daffin. Sambil tersenyum dan membelai lembut rambut hitam Daffin, ia berkata, “Bibi yakin ... apapun yang menjadi keputusan kamu, itu yang terbaik. Kamu beristirahatlah, Bibi harus ke rumah sakit untuk periksa.”
“Maafkan Daffin, Bi. Daffin hanya enggak ingin ninggalin Bibi. Daffin mau mengorbankan seluruh hidup Daffin hanya untuk kebahagiaan Bibi,” gumamnya dalam hati, sambil terus melihat tubuh wanita yang mulai terlihat tua. Perlahan tubuh itu menghilang dari pandangan, meninggalkan beban berat di atas pundak Daffin.
***
Sebuah mobil hitam terlihat memasuki area parkiran rumah sakit Sehati. Salah satu pintu mobil terbuka memperlihatkan Devi dan seorang wanita dewasa berjalan beriringan memasuki rumah sakit. Salah seorang pria yang berada di parkiran melihat keberadaannya. Dengan wajah berbinar, pria itu segera menghubungi seseorang dan berjalan mengikuti Devi.
Pemeriksaan berjalan lancar, Devi mengatakan keluhannya berupa sesak yang sering mendadak datang.
“Tidak ada masalah dengan paru-paru anda. Kemungkinan besar sesak itu dipicu oleh kurang tidur atau pikiran saja,” jelas dokter sembari menunjukkan hasil rontgen paru-paru Devi.
“Yah, Dokter benar. Syukurlah ... saya hanya perlu menenangkan diri saja,” ucap Devi yang kemudian pamit untuk pulang.
Saat melangkah keluar menuju parkiran, Devi dijegat oleh beberapa orang pria di tengah lorong yang sepi.
Daffin terlihat bersedih memandangi wajah bibinya. Ia tak menyangka, serangan para media kini mulai merambat hingga keanggota keluarganya. “Bu, sebagai Bibi Daffin apa pendapat anda tentang tuduhan gay yang diberikan pada Daffin?” “Apakah anda yakin kalau Daffin tidak memiliki kelainan seks?” “Daffin tidak pernah mendekati wanita, apa itu benar?” Semua pertanyaan itu sontak membuat Bibi Daffin shok. Napasnya terasa sesak dengan pandangan mata yang perlahan meredup. Tak mampu lagi mengontrol diri, seketika tubuhnya tumbang dan terbaring lemah di atas lantai. Wanita dewasa yang menjadi pelayannya tak mampu berbuat apa-apa, selain meminta perawat mengangkat tubuh Devi ke atas ranjang dan menghubungi Daffin untuk segera datang. Betapa sedih dan hancurnya hati Daffin, air matanya terus mengalir deras menyaksikan sang bibi yang kini terpejam tak sadarkan diri. Rasa bersalah t
“Apa, apa lagi yang mau kau bilang? Aku sudah lelah. Semua uangku habis untuk biayai pengobatanmu. Bukannya sembuh, kau malah kambuh. Kau tau sudah berapa banyak uang yang aku habiskan untuk keluarga ini? Tapi apa yang aku dapatkan? Hah?” cibir ayah Daffin. Bibirnya terus saja berucap sumpah serapah, berisi kekesalan. Amarahnya meledak, kesabarannya telah lenyap. Hatinya begitu panas, tak henti-hentinya ia mengacungkan jari penuh amarah kepada wanita yang kini hanya bisa terduduk dan menangis. Bentakan, hinaan dan makian terlontar jelas. “Menyesal! Kalau aja aku tidak menikahimu, mungkin hidupku sudah bahagia sekarang. Hidup tenang dengan harta yang melimpah. Heh! Nasi sudah menjadi bubur. Aku enggak mau lebih lama hidup di rumah kumuh ini. Kalau aku bertahan di sini, hidupku tidak akan pernah berubah. Mulai sekarang, jangan pernah lagi mengingatku. Jangan pula menegurku jika bertemu. Ingat itu wanita sialan!” Ucap
Sepanjang penerbangan Dira terus saja memejamkan matanya. Bukan karena mabuk kendaraan, melainkan menahan kesedihan hatinya. Kepergian tanpa pamit yang ia lakukan saat ini ternyata menyakiti dirinya sendiri. Takut dan gelisah pun tak henti membayangi. Wajah kedua adik perempuannya selalu terbayang. Meski mereka tak banyak menghabiskan waktu bersama, namun mereka senantiasa bertemu di setiap harinya. Begitu pula wajah sang ayah yang tak pernah lupa memeriksa kamarnya di malam hari. Semua ini menyebabkan kerinduan hadir, meski baru beberapa jam ia meninggalkan kota kelahirannya. “Mba, Mba!” tegur seorang pria yang duduk tepat di samping Dira. “Maaf, Mba. Ini ada sekotak roti untuk Mba,” sambungnya yang hingga saat ini tak mendapat jawaban dari Dira. Dira masih saja diam dan mengabaikan pria itu. Sesungguhnya ia belum tertidur, hanya saja ia takut kalau air matanya mengalir jika ia memaksa untuk
Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan
Jantung Dira berdenyut kencang dengan nada yang lembut, aneh dan membingungkan. Keadaan ini bermula saat ia kembali bertemu Daffin. Kedatangan Daffin yang begitu mendadak membuat Dira terus teringat pada dirinya. Terlebih saat tangan Daffin menyentuh lembut wajahnya. Jarak pandang yang begitu dekat sungguh membuat Dira tak nyaman.Kulit kecokelatan dan hidung yang mancung itu terlihat jelas olehnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh sekitar pipi dan dagu tertata begitu rapi. Meskipun Daffin menggunakan kacamata, namun Dira dapat melihat dengan jelas matanya yang menatap tajam ke arah dirinya. Tatapan penuh rasa hawatir hingga membuat Daffin nekad mengorbankan diri demi melindungi Dira.Jeritan, “Aduh!” nya saja hingga kini masih terngiang di telinga Dira. Hembusan napas dan aroma tubuhnya juga melekat erat dalam ingatan.“Argh ... katanya Jakarta luas, kenapa pulak aku bisa jumpa dia lagi?” gerutu Dira
Pagi yang mengesalkan, Dira tidak menyangka Jakarta begitu macet. Tak seperti kota Medan yang hanya berhenti kala lampu jalan menunjukkan warna merah. Jika saja ia tidak menurut akan ucapan teman serumahnya, mungkin ia akan datang telat pagi ini.“Tak, tuk, tak, tuk!”Suara langkah kaki Dira menggema di sepanjang lorong. Berjalan gagah dengan wajah angkuh Dira menjadi pusat perhatian banyak orang. Bukan karena parasnya yang cantik, melainkan karena rambutnya yang panjang dan terlihat disanggul.“Hei, siapa tuh? Dari mana dia? Tampangnya lumayan juga,” ucap salah satu polisi pria yang lebih dulu melihat Dira memasuki pagar kantor polisi.“Mayan sih, tapi tuh kakinya kok ngentak-ngentak gitu. Udah macam sepatu kuda aja. Tuk, tik, tak, tik, tuk,” sambung polisi pria lainnya diikuti tawa meledek.Menyadari tertawaan itu dilayangkan untuknya, Dira t
Tendakan kuat Dira membuat engsel pintu terlepas, hingga kini pintu terbuka lebar. Sontak saja semua mata menatap ke arah Dira, namun ia tak gentar. Dengan tenang dan penuh keangkuhan Dira berkata, “Ngapain kelen?”Tatapan bingung dan merendahkan pun dilayangkan untuk Dira. Seorang pria bertubuh tegap dengan perut yang buncit menatap tak senang ke arah Dira.“Bukan urusanmu, keluarlah!” pinta Denis dengan sikap mengabaikan.“Hei, kau! Ikut aku!” pinta Dira mengarah kepada Tomi.Terdiam, kini mata Denis dan kedua temannya berbalik menatap ke arah Tomi. Diam dan merasa takut, Tomi masih saja betah menempelkan tubuhnya di dinding.“Tunggu apa lagi? Satu, dua, ti-”Tomi dengan segera menggerakkan tubuhnya mendekati Dira.“Tidak semudah itu teman,” ucap teman Denis. Tangannya bergerak
Dari kejauhan Alia melihat ada keramaian di depan rumahnya. Beberapa orang asing dengan pakaian casual. Menggunakan kaos berlapis jaket dan celana lea. Mereka ramai menanyai beberapa orang tetangga Alia. “Ngapain orang itu? Kok ditanyai? Apa lagi ada shooting TV?” gerutu Alia yang mulai merasa curiga. Mereka membawa alat perekam suara dan kamera kecil yang diduga bisa digunakan untuk merekam video. “Keknya enggak ada yang aneh lah. Enggak ada kejadian apalagi bencana. Apa ini lagi buat konten? Tapi kok ditanyai gitu. Enggak mungkin ah,” ungkapnya yang memilih menjauhi gang rumahnya. Ia merasa resah dan memutuskan untuk menunggu di kedai simpang rumah menunggu kepulangan ayah atau kakaknya. “Buk, ngapain orang itu rame-rame di situ, Buk?” tanya Alia kepada ibu pemilik kedai. “Entah, Ibuk pun baru tau. Kalau enggak si Ucok yang bilang, Ibuk pun enggak tau,” jawab ibu itu cuek sambil terus melih