Dua hari sudah berlalu sejak Rani dan Sean berbicara malam itu.
Perubahan emosi Sean saat itu membuat hubungan mereka menjadi canggung.Namun, Rani mencoba tenang dan berpikir mungkin Sean belum siap memberitahu Rani soal sang ibu."Kita sudah dapatkan semua berkas milikmu, Ran. Orang yang kau katakan itu, benar-benar luar biasa! Dia bisa dengan mudah meminta banyak hal dari si bodoh Hendra."Sean segera menunjukkan sebuah map berisi berkas miliknya, termasuk KTP dan kartu keluarga.Hal itu membuat Rani tersadar dari lamunannya,Ia pun tersenyum mendengar informasi itu.Bukan tanpa sebab Rani memberikan nama orang yang dimaksud Sean. Sejak mengenal Hendra, ia tahu benar hanya Antonlah yang Hendra takuti."Preman itu paling tak suka pada Hendra. Sejak dulu, dia menjadi objek pukulan Anton, aku rasa sifat pengecutnya itu tak bisa hilang di depan Anton. Jadi, apa saja yang pria itu minta pasti dia turuti," ucap Rani pelan.Dia lantas membuka map itu dan melihat isinya. Senyum puas terlihat di sudut bibir saat melihat semuanya lengkap, termasuk surat cerai dari pengadilan agama."Aku akan mulai mengurus pernikahan kita. Aku sudah tak sabar untuk membalas perbuatan Hendra dan ibunya,” ucap Sean mendadak, “jadi, aku minta padamu jangan merasa iba ketika membalas mereka."Rani menganggukkan kepala saat mendengar permintaan Sean.Tangannya tanpa sadar terkepal menahan emosi.Dia memang tak akan merasa kasihan pada Hendra dan ibunya. Mereka harus merasakan neraka yang sama sepertinya, saat melihat anaknya meregang nyawa."Jangan cemaskan itu, Sean. Percayalah, rasa iba itu sudah punah dari hatiku, mereka harus merasakan sakit yang sama seperti yang aku alami," ucapnya.Melihat kemarahan Rani, Sean pun tersenyum. Dia yakin kali ini bisa menghancurkan Hendra dan ibunya."Tapi aku masih tak mengerti Sean, bagaimana harus masuk ke tempat kerja Hendra. Aku rasa tak akan mudah dengan statusku sebagai mantan narapidana."Rani menatap Sean karena di belum tau rencana selanjutnya.Miko hanya menjelaskan garis besarnya saja, tapi prosesnya tidak disebutkan sama sekali."Akuisisi perusahaan tempat kerja Hendra. Dia pasti terpukul saat melihat mantan istrinya menjadi pemilik perusahaan,” ucapnya menatap Rani.“Penyesalannya akan terlihat indah bagi kita. Apalagi, saat tau mantan terindah yang dia buang telah menjadi milikku, milik anak wanita yang disengsarakan oleh ibunya.”Rani menarik napas panjang. Ia paham maksud Sean, tetapi merasa rencana tersebut terlalu aneh.Dia saja tak selesai kuliah, bagaimana bisa menjadi pemimpin perusahaan?Lagi-lagi, Sean seperti mengerti kebingungan Rani. Pria itu tiba-tiba berkata,"Karena itu, kau harus melanjutkan kuliahmu. Aku akan membantu mengawasi perusahaan itu bersamamu. Jadi, jangan takut. Anggap saja, kau sedang magang."Rani menepuk jidatnya dengan kuat mendengar rencana itu.Terlebih, ia dapat melihat senyuman di wajah dingin Sean–meski samar.****Di sisi lain, meski seminggu sudah berlalu sejak kebebasan Rani, Hendra baru saja mendengar hal tersebut.Pria itu sontak terkejut setengah mati. Dia masih bingung siapa yang menjamin mantan istrinya.Parahnya lagi, Rani bahkan menjual rumah yang dia tempati.Dalam hatinya, dia menyumpahi mantan istrinya, karena memilih menyelamatkan sertifikat rumahnya daripada nyawa Rara."Sial, ternyata Rani benar-benar serakah. Dia bisa menjual rumah itu tanpa berbagi hasilnya,"gumam Hendra sangat marah, apalagi sang ibu terus menerus mengomel.Wanita itu memintanya untuk mendapatkan uang hasil penjualan rumah Rani, tanpa berpikir ke mana Hendra harus mencari wanita itu."Kau bisa temui Beni. Dia pasti tau cara mengetahui di mana Rani bersembunyi, pasti ada catatan atau alamat orang yang membayar jaminan wanita sial itu."Hendra tersentak saat mendengar ucapan ibunya. Dia tak terpikir sama sekali soal itu.Untunglah, sang ibu bisa mendapatkan solusi dari masalahnya."Ibu benar, besok aku akan mencari Beni. Dia sudah membantu kita menjebloskan Rani ke penjara, sekarang dia pasti mau membantu kita lagi untuk mencari tahu siapa penolong Rani."Hendra tertawa senang, sedangkan sang ibu hanya memutar bola matanya dengan malas. Kadang dia terpikir kenapa bisa punya anak sebodoh Hendra, padahal dia yakin bibit pria yang menghamilinya."Heran, berasal dari satu pohon yang sama. Kenapa hasilnya berbeda yang satu begitu cerdas dan rupawan, tapi yang satu justru kebalikannya," ucap Siti pelan.Dalam pikirannya dia teringat, seorang anak laki-laki yang begitu bersinar. Prestasi yang tak main begitu membanggakan keluarganya."Di mana dia sekarang? Hidup atau sudah mati? Jika masih hidup, tentu dia hidup enak, dengan cara menguasai harta ayahnya. Sial, sampai sekarang aku tak menemukan jejaknya sama sekali, wanita gila itu juga menghilang dari rumah sakit jiwa tempat dia di rawat."Siti menggumam sendiri, tanpa mengetahui kalau Hendra tengah menatapnya dengan heran. Dari tadi ibunya mengomel tanpa dia tau apa yang dia ucapkan."Bu!" panggil Hendra.Prang.Siti terkejut mendengar panggilan Hendra. Piring di tangannya pun meluncur jatuh ke lantai, dengan tangan memegang dada wanita itu melotot ke arah anak laki-lakinya."Apa kau ingin membunuh ibu? Belum bisa menyenangkan hidupku, tapi kau sudah banyak membuat ulah. Apa tak bisa memanggil dengan suara pelan?!"Siti berteriak di wajah Hendra. Rasa sakit di dada membuatnya murka, apalagi saat melihat wajah sang anak yang menatapnya seolah tanpa dosa."Aku tak berniat membunuh ibu. Hanya heran saja, ibu daritadi bicara sendiri tak ada satupun yang bisa aku dengar," ucap Hendra pelan.Namun, ia menatap ibunya dengan menyelidik. Hendra sempat mendengar satu atau dua kata dari gerutuan sang ibu yaitu "harta dan ayah" yang membuatnya semakin curiga. Rahasia apa yang disembunyikan sang ibu?"Tunggu apa lagi? Pergi sana. Dasar menyusahkan saja bisanya."Hendra menarik napas mendengar ibunya mengomel.Kalau begini, kadang membuatnya menyesal mematuhi perintah ibunya, termasuk menikahi Rani demi menguasai hartanya, ternyata hasilnya zonk!Yang ada, Hendra harus kehilangan masa mudanya, termasuk kehilangan satu-satunya anak yang dia miliki."Sebenarnya, di mana perempuan itu berada? Dan siapa yang memberinya jaminan?”Hendra terdiam. Dia mengingat saat menemui petugas yang berkata bahwa Rani dibawa pergi oleh seorang pria tampan dan kaya.Sebuah pemikiran tiba-tiba muncul di pikiran pria tersebut."Jangan-jangan, Rani berselingkuh sebelum bercerai dariku?"Hendra merasakan kepalanya nyaris pecah. Ia rasa bisa gila bila itu ternyata benar. Meski dia pria tak baik, tapi diselingkuhi istri seperti Rani, menjadi sebuah penghinaan baginya dan itu melukai egonya. Bahkan, ia kini tak fokus mengerjakan sesuatu."Hendra, kau membuat kesalahan lagi. Pak Rendi mengamuk, kali ini timmu dalam masalah besar, bisa jadi akan mempengaruhi posisimu sebagai kandidat untuk menempati jabatan Manager," ucap rekan kerja Hendra.Brak ...Terdengar suara meja dipukul. Mendengar ucapan temannya, membuat Hendra pun murka. Bagaimana bisa masalah satu tim dilimpahkan hanya padanya?"Gak masuk akal! Jangan-jangan, kau mencoba menyabotase pemilihan itu, Nisa? Ingat, aku tak akan tinggal diam. Aku sudah bekerja keras untuk posisi ini, jangan mencoba jadi penghalang."Hendra melotot ke arah teman kantornya itu yang hanya dibalas dengan tawa. Nisa tampak tak habis pikir dengan Hendra, bagaimana bisa begitu percaya diri untuk menduduki posisi Manager? Padahal, semua
"Apa, perusahaan diakuisisi. Kok bisa?"Hendra terduduk lemas saat mendengar soal perusahaan tempatnya bekerja. Dia memang tahu sedikit masalah perusahaan dari Ita, sang kekasih. Akan tetapi, dia tak menyangka akan separah ini. Dia seketika takut bila masalah akuisisi ini akan mempengaruhi posisi Manajer yang Ita tawarkan untuknya."Tentu saja benar, dengar-dengar besok pemilik baru perusahaan akan datang dan mulai menduduki perusahaan. Selain itu, aku juga dengar akan ada perombakan besar pada staf seperti kita," ujar Amris."Perombakan staf seperti kita?" tanya Hendra lagi, “apa maksudmu?”"Iya, bos baru kita ini orangnya perfeksionis dan juga jujur. Dia tak suka pekerja yang tak berguna, apalagi yang menjadi beban perusahaan," ucap Amris sembari melirik ke arah Hendra yang terlihat melamun. Jelas saja, pria itu tersadar saat mendengar ucapan Amris. "Kau mau bilang kalau aku salah satu beban perusahaan, Ris?""Tidak,” ucapnya cepat, “tapi, kalau kau sadar syukur sih, Hen. Jangan
"Untung saja anda datang tepat waktu, Pak Miko."Rani kembali berkata sembari duduk berjongkok di lantai. Ia mengamati lift yang sedang naik ke atas menuju ruangan yang akan ditempati oleh Sean nantinya. Sementara itu, Miko hanya menatap Rani datar. Asisten Sean itu bahkan menarik napas panjang kala tak sengaja menatap Rani yang terlihat gemetar."Aku masih tak mengerti, Ran. Kenapa Sean memilih wanita lemah sepertimu untuk menjadi rekan balas dendamnya?" ucap Miko santai, "meski kau mengetahui tentang musuhnya, tapi aku merasa kau tak terlalu berguna sama sekali," Sungguh, dia meragukan kekuatan Rani untuk menghancurkan musuh Sean yang kebetulan mantan suami perempuan itu. Rani saja bahkan tak bisa berbuat apa-apa melihat putri tunggalnya meninggal. Lalu, bagaimana ...?"Kau tak tahu apa yang dilihat Sean, Tuan Miko. Percayalah, kau akan terkejut jika waktunya sudah tiba." Kali ini, Rani langsung berdiri dengan tegak meski kakinya masih gemetar.Mendengar itu, Miko pun memilih diam
"Kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah, kan?" tanya Rani pelan.Namun, bukannya menjawab pertanyaan Rani, Sean justru mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Pria itu lalu menyerahkan sebuah kartu ATM. Rani yang bingung, jelas tak langsung menerimanya. Hal ini membuat Sean langsung meletakkan benda itu ke telapak tangan Rani."Pergunakan itu untuk membeli segala keperluanmu, termasuk kebutuhan rumah tangga. Mulai sekarang, kau masak di rumah karena aku tak mau lagi membeli makanan dari luar," ucap Sean santai, sedangkan Rani kembali menatapnya dengan pandangan bingung."Ada apa dengan tatapanmu itu?" tanya Sean.Rani menarik napas lalu memalingkan wajahnya. Jujur, dia mulai bingung dengan sikap Sean. Apakah pria ini ingin memulai hubungan mereka atau hanya sebatas ingin makan masakannya? Entahlah, Rani tak mengerti dengan hubungan ini."Turun, kita belanja keperluan rumah, termasuk isi kulkas juga."Rani pun tersentak dari lamunan saat mendengar suara Sean. Entah sejak kapan me
"Ada apa dengan wajah kalian?" tanya Miko saat menatap wajah Sean dan Rani keesokan pagi di dalam mobil yang menuju kantor.Namun, kedua orang itu tak menjawab dan hanya menunduk. Alis asisten itu sontak naik dan terus memandang sepasang suami istri yang aneh itu."Kalian--""Bukan urusanmu!" teriak keduanya kompak membuat Miko menggelengkan kepala dan memilih diam. Hanya saja, ia dapat langsung menebak kalau ada sesuatu terjadi pada pasangan aneh ini.Sebuah senyum jahil muncul di wajah Miko. "Kalian baik-baik saja, kan? Apa perlu pergi ke Dokter dulu sebelum ke kantor? Aku rasa ada yang tak beres dengan rona wajah kalian berdua," ucapnya yang sukses membuat Rani dan Sean membelalak."Diam dan jangan banyak bicara. Perhatikan saja jalan di depanmu." Sean memberi perintah dengan nada ketus. Miko pun menurut meski ia semakin yakin ada yang tak beres dengan keduanya.Dengan ahli, pria itu lantas mengemudikan mobil, hingga tak butuh lama mereka tiba di depan gedung kantor."Ehm," deham
"Kau terlalu banyak berpikir, Fitri. Mana mungkin dia simpan pak Sean? Lihat saja penampilannya. Mana mungkin pria kaya dan tampan punya selera pada wanita seperti itu," ucap Ita sinis yang ternyata dapat mendengar ucapan tersebut.Di sisi lain, Hendra terdiam dan hanya menatap kepergian Rani. Dia seketika berpikir soal pria yang menjamin Rani. Apa mungkin itu Sean? Namun, dia segera menepis pikirannya karena tak percaya kalau pemilik perusaan besar ini adalah pria yang membantu Rani. Dari mana mantan istrinya itu bisa mengenal orang hebat?Di tengah kebimbangan Hendra, Rani sudah masuk ke dalam ruangan Sean. Dia melihat pria itu tengah membaca dokumen di hadapannya. Keningnya terlihat berkerut seolah tengah berpikir keras."Berhenti mengerutkan kening seperti itu, Sean. Kau akan terlihat tua jika terus begitu."Rani mengingatkan karena sudah sering ia melihat Sean melakukan itu. Diserahkannya segelas teh hangat karena merasa tadi Sean sudah minum kopi. Tak baik bila minum minuman pe
"Hebat juga kau bisa menjadi simpanan pak Sean, Ran. Bisa kasih tau aku, dukun yang membantumu?"Ita bertanya pada Rani yang sedang menikmati makan siangnya. Wanita itu menahan geram, karena Rani seolah tak perduli pada pertanyaannya.Plak! Tring ....Ita menepis tangan Rani, membuat sendok di tangannya terhempas ke lantai. Tak lama terdengar jeritan Ita, karena Rani menyiramnya dengan kuah soto yang masih panas."Jangan mengganggu orang yang sedang makan. Adab ini pun kau tak mengerti, entah apa isi otakmu itu. Selain selingkuh dengan pria beristri dan melakukan hubungan free seks, tak adakah lagi isi kepalamu itu, Ita!"Semua orang terkejut mendengar teriakan Rani termasuk Hendra. Pria itu terpaku, karena tak menyangka mantan istrinya bisa berbuat begitu. Sedangkan Ita menangis merasakan perih dan panas di kepalanya."Aku sudah terlalu banyak diam selama ini. Sayang kau memang tak tau diri, kau bangga berhasil merebut suamiku, tapi kau lupa pada usiamu itu. Apa kau pikir pria yang
"Sedang apa kau? Duduk di sini seperti orang bodoh," tanya Sean, membuat Rani terdiam dan menunduk. Saat ini Rani sedang duduk di tangga darurat, setelah tadi bertengkar dengan Ita.'Bagaimana caranya aku bilang soal ancaman ku tadi di kantin. Sean pasti akan merasa, aku telah memanfaatkan dirinya. Dasar mulut ember asal mangap.' batin Rani."Sean," panggil Rani pelan. "Um," jawab Sean pendek. Sembari duduk di samping Rani.Mendengar Sean menjawab pendek, membuat Rani makin tertekan. Tiba-tiba wanita itu turun satu tangga dan duduk di depan Sean."Maaf, aku salah. Tadi asal ngomong soal keputusanmu. Tentang posisi staf perusahan."Rani berkata sembari menutup matanya. Dia tak sanggup jika harus melihat wajah Sean, kali ini pria itu pasti muak melihat wajahnya. Namun ucapan Sean selanjutnya membuatnya terkejut setengah mati. Matanya berkedip seolah tak percaya sama sekali, "Kau istriku, apa yang kau inginkan akan aku kabulkan."Rani masih terdiam mematung. Hingga terdengar bunyi dari