Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut.
Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA.
"Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu.
“Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya.
“Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu.
“Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah.
“Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya.
“Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-geleng kepala dan berdecak kagum melihat penampilan Inayah kala itu.
“Maksudnya apa, sih? Aku tidak paham, Ga?” tanya Inayah mengerutkan kening.
“Perubahan dan penampilan kamu, Nay! Jujur, tadi juga aku sempat ragu, takut kalau ini bukan kamu,” jawab Rangga penuh rasa kagum, bola matanya terus mengamati Inayah.
'Kamu juga berpenampilan beda sekarang,' kata Inayah dalam hati
Kemudian, Rangga berkata lagi, "Kamu benar-benar berubah, Nay."
Inayah hanya tersenyum-senyum saja menanggapi perkataan sahabatnya itu. Memang hampir semua sahabat-sahabatnya selalu berkata seperti itu, setiap kali berjumpa dengannya.
Menurut Inayah itu adalah hal yang wajar, karena dulu penampilannya tidak seperti itu, mereka mengenal Inayah sebagai gadis nakal yang selalu berpenampilan seksi, tidak berhijab seperti sekarang.
“Nay, boleh aku minta nomor ponsel kamu!” pinta Rangga menatap wajah gadis cantik yang ada di hadapannya itu.
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Boleh," jawab Inayah lirih.
Dengan ikhlas ia langsung memberikan nomor ponselnya kepada Rangga. Selang beberapa menit kemudian, Erni sudah tiba dengan menepikan mobilnya di bahu jalan tempat Inayah sedang berbincang dengan Rangga.
"Nay, ayo!" panggil Erni dari dalam mobil.
"Iya, Teh. Tunggu sebentar!" sahut Inayah.
Kemudian, Inayah langsung pamit kepada Rangga, "Kakakku sudah datang, aku pamit, yah."
"Iya, Nay. Senang berjumpa dengan kamu," jawab Rangga sambil tersenyum lebar.
"Assalamualaikum," pungkas Inayah bergegas melangkah menuju ke arah mobil sedan merah yang terparkir di bahu jalan tersebut.
"Walaikum salam," jawab Rangga terus memandangi Inayah.
Inayah langsung masuk ke dalam mobil itu. “Siapa itu, Nay?” tanya Erni mengarah kepada Inayah yang duduk di sampingnya.
“Itu Rangga, temanku waktu sekolah," jawab Inayah lirih.
“Penampilan dan gayanya oke juga, Nay," kata Erni tersenyum-senyum.
“Penampilan itu tidak menjamin, Teh." Inayah melirik ke arah Erni yang tampak sudah mahir dalam mengemudikan mobilnya.
“Iya, sih," desis Erni. "Tapi memang benar, teman kamu itu enak dipandang,” tambah Erni pandangannya terus terarah ke depan jalan.
“Teteh suka sama Rangga?" tanya Inayah sedikit mencubit pipi Erni.
Erni menghela napas dalam-dalam, pandangannya tetap fokus ke depan. “Al uyuun tansa man taro, walaakinna al qolbu laa tansa man tuhibb” jawab Erni dengan menggunakan bahasa Arab.
Inayah hanya diam, tidak bisa menjawab. Karena, Inayah tidak paham dan tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Erni.
“Tidak tahu artinya, 'kan?” tanya Erni menoleh ke arah Inayah sambil tersenyum-senyum.
Inayah tidak menjawab pertanyaan dari Erni, ia hanya diam dengan pandangan lurus ke depan jalan.
“Artinya, mata akan lupa siapa yang ia lihat. Akan tetapi hati tidak akan lupa siapa yang ia cinta,” terang Erni menjelaskan arti kalimat yang tadi diucapkannya.
“Sebenarnya aku tahu sih, hanya malas saja menjawabnya,” ucap Inayah berkelit.
Mendengar perkataan dari Inayah, Erni pun tertawa lepas. Kemudian berkata, "Kamu memang pintar dalam berkelit!"
Sepanjang perjalanan, Inayah dan Erni terus bersenda gurau. Inayah merasa bahagia mempunyai teman curhat seperti Erni, meskipun ia hanya berstatus sebagai asisten pribadinya. Namun, Inayah sudah menganggap Erni sebagai kakaknya sendiri.
Erni adalah bahu tempat Inayah bersandar, Erni selalu paham dan mengerti dengan keadaan Inayah.
Oleh sebab itu, Inayah sangat takut kehilangan Erni yang sudah menjadi seorang sosok kakak yang senantiasa sabar dalam membimbingnya.
Kalimat-kalimat yang sering diucapkan Erni, selalu jadi motivasi, dan nasihat-nasihatnya bagaikan kalimat bertuah yang bisa merubah kepribadian Inayah, hingga pada akhirnya Inayah berubah menjadi seorang gadis berkepribadian baik dan berakhlak mulia.
Tidak terasa, mobil yang dikemudikan Erni sudah tiba di halaman rumah megah peninggalan kedua orang tua Inayah. Rumah yang menyimpan banyak kenangan bagi Inayah dan juga Erni.
“Sudah sampai, Nay. Ayo, kita turun!" ajak Erni sedikit mengagetkan Inayah yang saat itu tengah termenung memikirkan kenangan-kenangan masa lalunya, “Kamu kenapa, Nay?” sambung Erni bertanya dengan menatap bias wajah Inayah.
“Tidak apa-apa, Teh,” jawab Inayah membuka pintu mobil, kemudian bangkit dan melangkah menuju beranda rumah.
Erni pun mengikuti dari belakang sembari memegangi tas kecil milik Inayah.
Tampak Fatimah saat itu sedang berada di beranda rumah. Seperti biasa, ia tengah melakukan aktivitas rutinnya sebagai asisten rumah tangga di kediaman Inayah.
“Assalamu'alaikum,” ucap Inayah lirih melontarkan senyum ke arah Fatimah yang sedang membersihkan lantai depan rumah tersebut.
“Wa'alaikum salam,” jawab Fatimah balas tersenyum menyambut kedatangan sang majikan.
"Sudah makan belum, Teh?" tanya Inayah kepada Fatimah.
"Sudah, Nay," jawab Fatimah lirih.
Kemudian, Inayah langsung masuk ke dalam rumah diikuti Erni di belakangnya.
Setelah berada di dalam rumah, Inayah langsung bersiap untuk segera melaksanakan Salat Magrib.
"Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih.
"Iya, Neng," sahut Fatimah bergegas menghampiri Inayah. "Ada apa, Neng?" sambung Fatimah setelah berada di hadapan majikannya.
"Ayo, siap-siap. Kita Salat Magrib berjamaah, Teh! Sudahlah, tidak usah ngepel lagi, besok saja!"
"Iya, Neng," jawab Fatimah langsung bersiap untuk segera melaksanakan Salat Magrib berjamaah, bersama Inayah dan juga Erni.
Mereka bertiga seperti biasa melaksanakan salat berjamaah di Musala yang ada di dalam rumah.
Mereka tampak khusyu dalam melaksanakan kewajiban mereka.
Usai melaksanakan salat, Inayah kembali belajar mengaji. Saat itu Erni mengajari Inayah tentang pemahaman akhlak.
“Akhlak yang baik adalah tanda kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Tidaklah kebaikan datang atau didapatkan di dunia dan di akhirat kecuali berakhlak dengan akhlak yang baik. Dan tidaklah keburukan-keburukan ditolak kecuali dengan cara berakhlak dengan akhlak yang baik.”
“Maka kedudukan akhlak dalam agama ini sangat tinggi sekali. Bahkan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam Surga, beliau mengatakan:
تَقْوى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Juga beliau Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحِبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang-orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Bukhari).
Erni menerangkan di hadapan Inayah dan Fatimah.
Inayah sangat bersungguh-sungguh, dalam menyimak apa yang diterangkan oleh Erni terkait pemahaman akhlak yang selama itu, Inayah merasa akhlaknya jauh dari harapan yang bisa mencerminkan sebagai akhlak yang baik bagi kaum Muslimah.
Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam
Satu jam kemudian, rombongan dari LBUKD (Lembaga Bantuan Untuk Kaum Dhuafa) dari Purwakarta sudah tiba di lokasi. Mereka membawa ratusan paket sembako untuk diserahkan langsung kepada Kartika sebagai ketua panitia penyelenggra bantuan sosial tersebut. Pak Kades dan Kartika sebagai perwakilan dari panitia, langsung menyambut hangat kedatangan rombongan tersebut. Tampak sosok pemuda berkopiah putih dengan mengenakan kemeja jasko warna biru langit berdiri dan bersalaman dengan Pak Kades. Inayah hanya mengamati pemuda tersebut dari kejauhan, pemuda itu berdiri dalam posisi membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. “Masya Allah! Kok, orang itu mirip dengan Rangga ya, Nay?" desis Erni bertanya kepada Inayah yang duduk di sampingnya. Kemudian Erni bangkit pandangannya terus mengarah kepada orang-orang yang ada di tenda tersebut. Terutama kepada pemuda yang dianggap mirip sekali dengan Rangga. “Ah, Teteh. Hanya mirip saja, Teh!” jawab Inayah lirih sambil meraih ponsel yan
Kemudian, mereka langsung melangkah menuju ke sebuah Masjid terdekat yang ada di desa itu, untuk segera melaksanakan Salat Zuhur. Usai melaksanakan Salat Zuhur, sekitar pukul satu, acara bansos tersebut dimulai dengan membagikan ratusan paket sembako kepada masyarakat yang ada di desa tersebut. Acara berjalan dengan lancar tanpa kericuhan. Pukul setengah empat sore, acara pun sudah selesai dilaksanakan. Inayah dan rekan-rekannya langsung melaksanakan berjamaah Salat Asar. "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," ucap Inayah penuh rasa syukur. Setelah itu, Inayah dan yang lainnya langsung pamit kepada kepala desa setempat dan kepada para panitia yang ada di tempat tersebut, dan langsung kembali ke Bandung. Dalam perjalanan, Inayah terus kepikiran tentang Rangga. Rangga benar-benar sudah berubah dan berpenampilan sebagai pria Muslim sejati. Entah kenapa perasaan Inayah mulai gundah? Ia merasakan getaran-getaran cinta yang perlahan mulai merasuk jiwa dan pikirannya. “Nay, kita mampir
Inayah hanya diam terpaku, menahan rasa haru mendengar kalimat yang diucapkan oleh Rangga. Inayah sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya diam di antara rasa kagumnya terhadap perubahan sikap Rangga. Teman sekolah yang dulu sangat ia benci, berubah menjadi sosok Arjuna yang berbudi pekerti baik. “Kamu mau, 'kan, aku halalkan?” tanya Rangga memandang bias wajah Inayah. “Insya Allah, aku bersedia. Semoga Allah meridhoi niat baik kamu,” jawab Inayah dengan raut wajah berbinar-binar. Rangga tampak semringah mendengar jawaban dari Inayah. "Terima kasih ya, Nay," ucap Rangga lirih. Apa yang Inayah harapkan akhirnya terkabul juga, ia sangat berharap niat baik dari Rangga mendapatkan kemudahan dari Allah, serta hubungan mereka bisa berlanjut hingga jenjang pernikahan. "Simpan baik-baik tasbih itu, karena itu merupakan pemberian dari Ustadz Rafie!" Rangga terus menerus menebar senyum, memandang wajah gadis nakal yang kini sudah berubah menjadi seorang gadis Muslimah yang berbudi pe
Setelah itu Erni kembali masuk ke dalam rumah, membantu Fatimah menyiapkan makanan untuk makan malam mereka bertiga. Inayah hanya duduk termenung, pandangannya menerawang ke atas langit yang tampak indah dengan pancaran sinar bulan dan gemerlapnya bintang-bintang. Seakan-akan alam ikut merayakan dan menyambut hari pertama Inayah menjalin kasih asmara dengan Rangga Al-Fatih. Tak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah menghendaki, terjadi maka terjadilah. Sebagai mana kisah hidup Inayah yang diawali dengan sifat buruk dan tabiat yang tidak terpuji. Namun, Allah telah memberikan hidayah melalui ujian besar dengan meninggalnya kedua orang tua Inayah. Secara perlahan, Inayah mampu merubah segala sifat dan sikap buruknya menjadi sifat dan sikap yang baik. Meskipun masih belum sempurna. Namun, Inayah yakin dengan niat yang sungguh-sungguh, ia bisa menjadi wanita Muslimah yang berakhlak dan tetap bergaul dengan orang-orang yang baik yang selama ini turut andil dalam membimbingnya ke arah
Inayah bangkit dan langsung melangkah menghampiri Fatimah yang saat itu sedang menyetrika pakaian di ruangan yang bersebelahan dengan kamarnya. "Teh!" kata Inayah lirih dengan bola mata berkaca-kaca. "Ada apa, Neng?" tanya Fatimah memandang wajah Inayah. "Tidak apa-apa, Teh." Inayah berusaha menyembunyikan kesedihannya kala itu. Kemudian, ia bertanya tentang Erni, "Teh Erni ke mana ya, Teh?" "Erni tadi berangkat ke butik. Katanya sih hanya sebentar," jawab Fatimah tampak penasaran dan terheran-heran melihat sikap Inayah yang tampak bersedih itu. "Terima kasih, Teh." Inayah kembali melangkah menuju ke lantai dua untuk menenangkan pikiran di sebuah ruangan khusus tempat kerjanya itu. "Ada apa dengan Inayah? Sepertinya ia sedang dalam keadaan sedih?" gumam Fatimah bertanya-tanya. Satu jam kemudian, Erni sudah tiba di rumah. Ia langsung menghampiri Fatimah dan segera menanyakan tentang keberadaan Inayah. "Inayah ke mana, Fat?" "Tadi sih naik ke atas, Er," jawab Fatimah lirih. "Oh