Share

5. Tubuhmu Adalah Milikku

Xinlaire datang mengunjungi Raylene, pria itu menemukan Raylene sedang duduk di taman dengan sebotol arak di tangannya.

Sudah dua minggu dia tidak melihat Raylene, dan malam ini dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mendatangi Raylene.

Cahaya rembulan menyinari wajah Raylene yang menempel di meja. Mata wanita itu tertutup, tapi tangannya masih bergerak mendekatkan botol arak ke mulutnya.

Kelopak matanya terbuka, ia melihat ke arah botol yang berada di depan wajahnya. Tidak ada lagi air dari sana. Raylene segera membuang botol itu ke tanah.

"Melissa, bawakan aku satu botol lagi!" seru Raylene. Dia telah meminum dua botol arak malam ini, tapi dia masih menginginkan arak lagi.

Ia bukan peminum yang hebat, tapi sejak beberapa hari lalu dia sudah mulai berteman dengan arak. Dia berharap dengan arak itu dia bisa melupakan semua yang terjadi padanya walaupun itu hanya dalam waktu yang singkat.

Melissa sudah lama menjauh ketika Xinlaire datang ke sana.

"Melissa!" Raylene bersuara lagi ketika Melissa tidak merespon kata-katanya. Wanita yang sudah mulai mabuk itu bangkit dari tempat duduknya dan berbalik.

Dia tidak menemukan Melissa di belakangnya, melainkan Xinlaire. Meski dia mabuk sekali pun dia tidak mungkin tidak mengenali pria di depannya.

Senyum mengejek tampak di wajah Raylene. "Apa yang membawa Yang Mulia Raja menginjakan kakinya ke tempat menjijikan ini?"

"Ini adalah istanaku, aku bebas pergi ke mana pun akum au."

Raylene melangkah, hendak melewati Xinlaire. "Ah, benar, aku lupa tentang hal itu. Kalau begitu silahkan Anda berada di sini, saya tidak memiliki hak untuk merusak pemandangan Anda."

Xinlaire meraih lengan Raylene, mencengkramnya cukup kuat. Ada kemarahan di tatapan pria itu. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, Putri Raylene?"

Raylene memiringkan wajahnya, menatap Xinlaire dingin. "Yang Mulia, tangan Anda akan kotor karena menyentuh tubuh saya." Dia ingat bahwa bagi Xinlaire dia sangat menjijikan.

Raylene memiliki kepribadian yang keras kepala dan cenderung pemberontak, meski dia murah hati, tapi ketika dia sudah menetapkan minat pada sesuatu maka tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Dan sekarang, Raylene sedang menunjukan kepribadiannya yang sudah sangat diketahui oleh Xinlaire.

Xinlaire tidak membalas kata-kata Raylene, pria itu membungkam bibir Raylene dengan bibirnya.

Tubuh Raylene membeku di tempatnya untuk sejenak, sebelum akhirnya ia mendorong Xinlaire sekuat tenaganya. Tangan wanita itu melayang ke wajah dingin Xinlaire.

Tatapan wanita itu menunjukan kemarahan, apa yang sedang Xinlaire lakukan padanya sekarang? Apakah tidak cukup semua yang pria itu lakukan padanya sehingga dia masih harus mengolok-olok perasaannya seperti ini?

"Jangan pernah berani menyentuh tubuhku lagi!" Raylene memperingati Xinlaire dengan tajam.

Xinlaire memegang sudut bibirnya yang pecah. "Tubuhmu adalah milikku, Putri Raylene. Kau tidak memiliki hak untuk melarangku menyentuhmu."

"Xinlaire, berhenti bermain-main denganku! Apakah tidak cukup kau membunuh seluruh anggota keluargaku dan menyiksa kakakku di penjara sehingga kau masih ingin menyiksaku dengan cara yang lain! Aku lebih baik mati daripada disentuh olehmu!"

Xinlaire tahu bahwa Raylene pasti akan menolaknya, tapi dia punya cara untuk membuat Raylene mengikuti kata-katanya suka atau tidak suka.

"Putri Raylene, apakah kau pikir tubuhmu sangat berharga? Jika aku mau aku bisa menyentuh wanita mana pun di istana ini, aku tidak kekurangan wanita. Namun, bukankah kau adalah istriku? Adalah tugasmu melayaniku."

Dada Raylene seperti akan meledak sekarang. "Setelah semua yang kau lakukan padaku apakah kau berpikir aku sudi melayanimu? Kau bermimpi!"

"Vivian, pergi ke penjara, potong satu jari tangan tahanan Raphael dan bawa ke sini."

"Jangan berani-berani!" raung Raylene.

Vivian tidak mendengarkan kata-kata Raylene, wanita itu berbalik dan melangkah.

"Aku akan melayanimu! Aku akan melayanimu!" Raylene segera berubah pikiran. "Jangan sakiti Kakakku!"

"Putri Raylene, selama kau masih sangat murah hati, jangan pernah menentangku!" Xinlaire meraih pergelangan tangan Raylene dan membawa wanita itu masuk ke dalam kediaman pribadinya.

Malam itu harga diri Raylene kembali terkoyak, dirinya bagi Xinlaire tidak lebih dari sekedar pemuas nafsu saja. Ia membenci Xinlaire sama besar dengan ia mencintai pria itu, tapi meski dia sangat membenci Xinlaire dia masih melayani pria itu karena dia tidak memiliki pilihan lain.

Ini adalah hukuman baginya, hukuman atas dosa-dosa yang dilakukan oleh ayahnya.

**

Pagi harinya Xinlaire berada di bak mandi, dia tidak dilayani oleh pelayan, tapi oleh Raylene. Pria itu memejamkan matanya, menikmati Gerakan tangan raylene yang menggosok punggungnya.

Tangan Raylene berpindah ke dada Xinlaire. Mata Xinlaire yang tadinya tertutup kini terbuka kembali. Pria itu menatap Raylene yang kini berada di depannya.

Kedua tangan Xinlaire meraih pinggang Raylene, meletakan tubuh wanita itu di atas pangkuannya lalu kemudian mencium bibir cemberut Raylene. Ada hal yang lebih menarik dari sekedar mandi.

Xinlaire mendapatkan sarapan yang jauh lebih mengenyangkan daripada makanan yang biasa ia makan.

Setelah puas, Xinlaire meninggalkan kediaman Raylene. Dia yakin Raylene pasti semakin membencinya sekarang, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan tentang hal itu. Dia hanya bisa membiarkan Raylene mengutuknya sampai wanita itu puas.

Sebelum pergi, Xinlaire memberikan perintah pada Vivian bahwa Raylene tidak diizinkan untuk meminum arak lagi. Dia tidak ingin kesehatan Raylene terganggu karena arak, bagaimana pun menjadi pecandu arak tidak akan baik bagi Raylene.

Wajah Raylene semakin terlihat seperti tidak memiliki jiwa. Wanita itu melangkah lesu menuju ke ranjang, ia membiarkan tubuh telanjangnya tetap basah tanpa keinginan untuk mengeringkannya terlebih dahulu. Belum sampai di ranjang, Raylene terduduk di lantai.

"Yang Mulia!" Melissa segera mengambil selimut untuk menutupi tubuh Raylene. Melihat bercak-bercak merah yang ada di leher, punggung dan dada Raylene, Melissa tidak akan sulit menebak apa yang telah terjadi.

Di dalam hatinya Melissa terus mengutuk Xinlaire. Semalam Xinlaire sudah menyiksa majikannya, dan pagi ini pria itu juga melakukannya. Pria kejam itu terus menerus menyiksa Raylene. Ia tidak tahu kapan Xinlaire akan merasa puas.

Raylene tidak memiliki kesalahan apapun pada Xinlaire, haruskan pria itu begitu kejam pada wanita itu?

Raylene sudah kehabisan energinya, dia tidak lagi meratapi nasib buruknya. Hanya saja saat ini dia benar-benar lelah, dia ingin istirahat untuk sejenak saja.

"Yang Mulia, mari saya bantu Anda." Melissa berkata dengan iba.

"Melissa, aku lelah."

"Istirahatlah, Yang Mulia." Melissa membantu Raylene berdiri dan membawanya ke ranjang.

"Tinggalkan aku sendiri, Melissa."

"Baik, Yang Mulia."

Raylene menarik selimut sampai menutupi kepalanya, wanita itu menutup matanya. Dia ingin tidur, dan berharap setelah dia tidur dia tidak terbangun lagi.

Di tempat lain saat ini Charlotte menerima kabar dari pelayan yang menjadi mata-mata di kediaman Raylene memberitahu tentang Xinlaire yang bermalam di tempat pribadi Raylene.

Wajah Charlotte tampak tidak bahagia. Ini masih pagi, tapi dia sudah menerima kabar buruk.

"Pergi dari sini!"Charlotte mengusir pelayan yang memberi laporan padanya.

Pelayan itu segera mundur lalu kemudian berbalik. Dia sudah menyampaikan kabar itu dengan sangat hati-hati, takut jika laporan yang dia berikan akan membuatnya menjadi sasaran kemarahan Charlotte.

Untungnya Charlotte adalah wanita yang masuk akal, dia selalu menjaga sikapnya bahkan terhadap pelayan sekali pun. Charlotte telah dididik sejak kecil sebagai wanita bangsawan yang rendah hati, jadi meski dia ingin meledak sekarang dia tidak melampiaskannya ke sembarang orang.

"Apa yang salah dengan Yang Mulia Raja? Bagaimana bisa dia masih pergi ke putri bajingan yang telah membunuh seluruh keluarganya." Charlotte mengepalkan kedua tangannya geram.

Dia benar-benar tdak mengerti jalan pikiran Xinlaire, seharusnya Xinlaire juga membunuh Raylene.

Apakah mungkin sebenarnya Xinlaire mencintai Raylene? Hanya itu alasan yang masuk akal kenapa Xinlaire tidak membunuh Raylene dan bahkan masih mendatangi Raylene setelah pembalasan dendam usai.

Charlotte menggelengkan kepalanya, tidak, itu tidak mungkin benar. Bagaimana mungkin Xinlaire mencintai putri dari seseorang yang telah membantai seluruh keluarganya.

Wanita itu menolak untuk mempercayai apa yang ada di pikirannya. Namun, meski begitu dia tetap saja merasa sangat khawatir. Xinlaire adalah jodoh yang telah ditetapkan untuknya, bagaimana mungkin dia bisa tahan dengan bayangan Xinlaire bercinta dengan wanita lain. Tidak, dia harus segera menyingkirkan Raylene dengan begitu posisinya akan benar-benar aman.

Ia melangkah meninggalkan kamarnya dan pergi untuk menghadap ayahnya. Saat ini yang bisa membantunya hanyalah ayahnya.

"Selamat pagi, Ayah, Ibu, Nenek." Charlotte menyapa orangtua dan neneknya yang saat ini hendak sarapan bersama.

Charlotte adalah putri tunggal, ayah Charlotte tidak memiliki selir begitu juga dengan kakek Charlotte. Keluarga itu hanya memiliki satu anak sejak beberapa generasi sebelumnya.

"Selamat pagi, Sayang." Nenek Charlotte tersenyum hangat. Wanita tua itu begitu mengasihi cucunya.

Charlotte segera duduk di sebelah neneknya. Wanita itu masih belum mengeluh, dia menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan tentang hal itu.

Sarapan keluarga perdana menteri selesai, Charlotte baru mengutarakan apa yang mengganggu pikirannya.

"Ayah, aku ingin segera menikah dengan Yang Mulia Raja. Aku ingin segera menjadi ratu negeri ini."

"Ada apa, Sayang? Kenapa kau menjadi sangat tidak sabar?" tanya Aegis, ayah Charlotte.

Charlotte memberitahu tentang apa yang dilaporkan oleh orang suruhannya pada keluarganya. Seperti Charlotte, ketiga orang yang mendengar juga tidak senang. Namun, Aegis menanggapinya dengan bijak.

"Putriku, kau tidak perlu cemburu dengan Putri Raylene, dia tidak akan pernah menduduki posisi ratu seumur hidupnya." Aegis berkata dengan yakin, dia telah melihat Xinlaire tumbuh dari waktu ke waktu, jadi dia sangat tahu bahwa Xinlaire tidak akan pernah menjadikan seseorang yang memiliki darah kotor Winston menduduki tahta sebagai ratu.

"Ayah, bantu aku menyingkirkan wanita menjijikan itu. Selama dia masih hidup aku tidak akan bisa merasa tenang." Charlotte tidak ingin dibayangi oleh Raylene. Untuk apa menjadi ratu jika dia tidak bisa memiliki hati suaminya sepenuhnya, pada akhirnya dia masih akan dikalahkan oleh Raylene.

Aegis menatap putrinya lembut. "Ayah tidak bisa membantumu untuk melenyapkan Putri Raylene, Sayang."

"Suamiku." Istri Aegis tidak berharap suaminya mengatakan hal seperti itu. Apalagi ini demi mengamankan posisi putri mereka sendiri.

"Yang Mulia Raja tidak akan mengampuni siapa saja yang melakukan pengkhianatan di belakangnya. Dan aku tidak ingin keluarga kita mengalami hal buruk itu."

"Yang Mulia Raja tidak akan melakukan hal seperti itu pada kita, dia berutang nyawa padamu. Selain itu jika bukan berkat dirimu dia tidak akan bisa membalas dendam dan menduduki tahta seperti sekarang." Nenek Charlotte ikut bicara.

Aegis menatap ketiga anggota keluarganya yang memiliki keinginan yang sama, tapi dia tetap pada pendiriannya. Dia tidak akan membahayakan nyawa keluarganya hanya karena seorang Raylene.

"Jangan membahas mengenai hal ini lagi. Aku akan pergi ke istana untuk melapor pada Yang Mulia Raja." Aegis berdiri, pria itu kemudian meninggalkan ruang makan.

tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status